Mengenai Saya

Foto saya
Aku hanyalah seoarang manusia yang bisa saja salah dalam setiap kata yang telah aku ucapkan, tulisan yang telah aku buat.jika terdapat kesalahan kata, tanda baca, nama, dsb harap dimaklumi, Sungguh, Allahlah yang maha sempurna dengan segala sesuatu, dan aku hanyalah manusia yang terkadang alfa atas setiap hal yang telah kulalui.

Jumat, 30 Juli 2010

K.H. ABDUL MAJID MA’RUF

AMALAN MENGATASI KESULITAN


Kisah ini sebenarnya berasal dari penuturan Kiai Thawaf; seorang kiai di kota Malang. Suatu hari, menjelang dilaksanakannya ujian akhir nasional, beberapa anak sebuah SMA Katholik di kota berhawa dingin itu mendatangi kediamannya. Mereka bermaksud minta doa untuk menghadapi ujian akhir, agar diberi kemudahan dalam mengerjakan soal-soal ujian sehingga lulus dengan nilai baik.
Kedatangan murid-murid sekolah Katholik itu suatu hal biasa buat pak kiai, karena dia memang biasa membantu kesulitan orang lain di sekitar kediamannya. Maka, mereka pun diterima dan dilayani sebagaimana biasanya. Setelah mendengar maksud kedatangan mereka, pak kiai pun memberikan bacaan tertentu y ujian. Yang harus diamalkan sesuai bilangan tertentu sampai datangnya ujian. Yaitu, Ya Sayyidi Ya Rasulullah, maknanya, “Wahai tuanku, wahai Rasulullah.”
Kalimat itu adalah permohonan kepada Rasulullah SAW, seorang yang diyakini sebagai hamba yang istimewa di hadapan Allah SWT, agar beliau SAW menyampaikan hajat yang diinginkan kehadhirat ALLAH, Tuhan Yang Maha Berkehendak. Ini adalah salah satu cara dalam berdoa, yang di dalam agam dikenal dengan nama tawassul. Dalam hal ini, Rasulullah SAW diyakini sebagai wasila atau perantara unutuk menyampaikan hajat di sisi ALLAH SWT, bukan diyakini sebagai pihak yang menentukan terkabulnya atau terwujudnya hajat tersebut.
Merasa sangat membutuhkan, para siswa itu pun memperhatikan perintah itu dengan seksama dan menjalankan dengan penuh keyakinan.
Ketika ujian tiba, para siswa SMA katholik tersebut dapat mengerjakan soal ujian dengan baik, termasuk dalam mata ujian yang selama itu selalu jadi momok bagi mereka, dan akhirnya mereka lulus dengan nilai yang baik.
Hal ini tentu saja membuat guru dan pendeta yang membimbing mereka merasa heran dan penasaran. Yang menjadikan mereka penasaran, jawaban murid-murid mereka hamper mirip semua, termasuk pelajaran yang mereka anggap sulit. Padahal ketika mereka mengikuti ujuan tersebut, penjagaan sangat ketat, sehingga tidak memungkinkan terjadianya kerja sama dalam mengerjakan soal-soal ujian. Namun, mereka tidak tahu ke mana dan kepada siapa mencari tahunya.
Pada malam harinya salah seorang pendeta yang mengasuh siswa-siwa itu bermimpi didatangi seseorang yang mengenakan jubah serba putih. Pendeta bertanya kepada tamu yang asing baginya itu, “Mengapa para siswa di sekolah saya dapat mengerjakan soal-soal ujian dengan baik dan dengan jawaban yang hamper mirip. Padahal ujian tersebut menjadapat penjagaan yang ketat?”
“Tanyakan pada Kiai Thawaf,” jawab tamunya yang berjubah putih itu. Setelah itu tamunya menghilang dan sang pendeta terbangun.
Esoknya pendeta itu berusaha mencari tahu Kiai Thawaf sesuai pentunjuk yang diterimanya dalam mimpi. Tidak sulit untuk mencari sang kiai, karena ia tokoh terkenal di kota Malang.
Lalu keduanya pun bertemu dan berdialog. Dan tidak lupa sang pendeta bercerita soal mimpinya dan rasa penasaran terhadap para siswa yang ikut ujian.
Kiai Thawaf menjawab singkat, “Mereka mengamalkan bacaab-bacaan shalawat tertentu, yaitu amalan yang biasa diamalkan para pengikut Tarekat Wahidiyah, yakni bacaan Ya Sayyidi ya Rasulullah.”
Sang pendeta merasa heran dengan jawaban itu. Hanya dengan membaca bacaan sederhana itu, para muridnya dapat mengatasai masalah ujian mereka. Dia tidak percaya begitu saja. Tapi buktinya, sukses telah diraih para muridnya.
Memikirkan kejadian irasional itu membuat sang pendeta berkeinginan pula mengamalkan bacaan tersebut. Ia pun minta izin kepada pak kiai.
Meski pendeta itu beragama katholik, Kiai Thawaf mengizinkan untuk membacva sebanyk-banyaknya. Kiai Thawaf juga menerangkan kepada tamunya bahwa bacaan itu adalah amalan K.H. Abdul Majid Ma’ruf, Jedunglo, Kediri, Pimpinan Tarekat wahidiyah.
Beberapa hari kemudian, setelah mengamalkan bacaab tersebut, sang pendeta minta kesediaan Kiai Thawaf untuk mengnantarkan dirinya sowan kepada Kiai Abdul Majdi Ma’ruf di kediamannya.
Kiai Thawaf tidak menolak niat tersebut, berdua mereka pergi ke Kedunglo, yang jaraknya dari Malang tidak terlalu jauh.
Begitu bertemu dengan Kiai Abdul Majid ma’ruf, pak pendeta menjadi kaget. Ternyata kiai berjubah putih yang ditemui saat mimpi tidak lain adalah K.H. Abdul Majdi ma’ruf, pemimpin Tarekat wahidiyah.
Pendeta itu kemudian mengutarakan maksudnya sowan keapda pak kiai, termasuk pengalamannya dalam mimpi. Namun yang paling penting, tanpa piker panjang lagi, dia kemudian minta dibai’at menjadi muslim kepada Kiai Ma’ruf.
“Kalung salib ini akan kulepas,” kata sang pendetasambil berusahamenanggalkan kalung yang melilit di lehernya.
“tidak usah,” kata Kiai Ma’ruf dengan nada datar.”Biar buat kenang-kenangn.”
Maka, Kiai Ma’ruf pun menerima ikrar pendeta itu masuk Islam.
K.H. Abdul Majdi Ma’ruf adalah pendiri Tareka wahidiyah di Kediri yang banyak pengikutnya. Ia lahir pada 1920 dan wafat pada 7 Maret 1989 (29 rajab 1409) di Kedunglo, Kediri, Jawa Timur. Sebagai pemimpin Tarekat Wahidiyah, ia sangat disegani dan dihormati oleh penegikutnya.
Sumber: Al-Kisan bulan Juli-Agustus 2010 hal 146-148

Kamis, 15 Juli 2010

Ketika Cinta Harus Memilih

Ketika cinta harus memilih, akan kupilih yg bisa menerima aku apa adany

Ketika cinta harus melihat, semoga hatiku tak terbutakan oleh hawa nafsu

Ketika hati harus mendengar, ku harap ku mendengar kata hatiku dan mencari yang terbaik yang bisa kutemui..

Ketika cinta harus kucari, kan kucari cinta yang di Ridhoi Ilahi

Ketika manusia terbutakan oleh cinta, kdang mereka tak menyadari bahwa mereka mengikuti hawa nafsu mereka, tak melihat bagaiman cinta membawa mereka ke kehancuran dan kebencian.

Tpi, ktika cinta Karena Ilahi, kita akn mendptkan sebuah cinta hakiki yg di Ridhoi Ilahi

Doa dan Adabnya

DOA DAN ADABNYA
Do’a, adalah salah satu amalan penting bagi seorang sufi.
Adab do’a misalnya disusun oleh ajaran sufi sebagai berikut:
1. Orang-orang sufi harus memlihara waktu-waktu yang dianggap murni dan mulia sebagai saat dan tempat mengucapkan sesuatu do’a. hari Arafat yang hanya dating sekali setahun, dengan tempatnya yang tertentu dekata Mekkah, sebagai tempat permulaan ibadah haji, bagi orang sufi adalah saat yang terpenting tempat mengucapkan do’a, dan oleh karena itu kesempatan ini sedapat mungkin tidak dibiarkan berlalu begitu saja. Kemudian bulan Ramadhan adalah salah satu bulan terbaik di antara bulan-bulan setahun, begitu juga hari jum’at merupakan hari yang terbaik pula dalam seminggu, waktu sahur merupakan saat yang terindah pada waktu malam, dan lain-lainnya, sebagai tempat-tempat berdo’a menghadapkan sesuatu permohonan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.
2. Pada anggapan orang-orang sufi kesempatan waktu yang baik itu harus dipergunakan sungguh-sungguh, dan terutama do’a-do’a itu dianggap baik diucapkan tatkala orang-orang berdesak-desakan dalam barisan sabilillah, tatkala turun hujan, tatkala berdiri dalam shalat lima waktu yang wajib, tatkala puasa dan tatkala sujud.
3. Do’a itu harus diucapkan sambil menghadap kiblat dan sambil mengangkat kedua belah tangannya sehingga keliatan ketiaknya. Hal ini tentu ditujukan kepada latihan badan.
4. Mengucapkan do’a itu hendaklah dengan suara yang sedang tidak terlalu keras dan tidak terlalu rendah. Yang demikian itu mungkin dimaksudkan untuk menenangkan diri dan jiwa orang yang berdo’a itu, dan menyesuaikan dengan ajaran Islam, bahwa Tuhan itu tidak ghaib dan tidak tuli, sebagaimana yang dikemukakan Nabi, tatkala orang-orang berdo’a berteriak-teriak dengan suara yang membumbung ke angkasa.
5. Hendaklah dijaga agar do’a itu tidak tersusun dalam kata-kata yang bersajak berlebihan, untuk menghilangkan kesukaran dalam mengucapkannya, sesuai dengan hadits Nabi, yang mennyuruh meninggalkan gurindam dan sajak itu dalam susunan do’a. Larangan ini dihukumi makruh , karena Nabi sendiri acapkali berdo’a dengan kata-kata bersajak, meskipun dengan cara yang sangat sederhana dan mudah difahami orang.
6. Orang-orang sufi itu di kala ia berdo’a haruslah berada dalam keadaan tadarru’, khusyu’, penuh harapan akan diberi, dan penuh ketakutan untuk ditolak.
7. Orang yang iingin mengucapkan do’a itu haruslah mempunyai keyakinan seyakin-yakinnya, bahwa do’anya itu pasti diterima Tuhan, karena dengan demikian tertanam dalam jiwanya keyakiknan bahwa Tuhan adalah satu-satunya yang dapat melimpahkan kurnia-NYA.
8. Do’a itu harus diucapkan dengan jelas, diulang-ulang, minta segera dipenuhi oleh Tuhan.
9. Do’a itu harus dimulai dengan sebutan nama Allah dan shalawat kepada Nabi-Nya.
10. Sebagai penutup adab do’a dikemukakan, bahwa do’a itu baru diucapkan sesudah taubat membersihkan diri dari segala perbuatan yang keji.
Semua adab ini pernah dibicarakan dalam kitabnya Imam Ghazali…
Sumber: Pengantar Sejarah Sufi dan Tasawuf, Prof. Dr. H. Aboebakar Atjeh, (Semarang : Ramdhani, 1962). Hal. 350-352.

Doa dan Adabnya

DOA DAN ADABNYA
Do’a, adalah salah satu amalan penting bagi seorang sufi.
Adab do’a misalnya disusun oleh ajaran sufi sebagai berikut:
1. Orang-orang sufi harus memlihara waktu-waktu yang dianggap murni dan mulia sebagai saat dan tempat mengucapkan sesuatu do’a. hari Arafat yang hanya dating sekali setahun, dengan tempatnya yang tertentu dekata Mekkah, sebagai tempat permulaan ibadah haji, bagi orang sufi adalah saat yang terpenting tempat mengucapkan do’a, dan oleh karena itu kesempatan ini sedapat mungkin tidak dibiarkan berlalu begitu saja. Kemudian bulan Ramadhan adalah salah satu bulan terbaik di antara bulan-bulan setahun, begitu juga hari jum’at merupakan hari yang terbaik pula dalam seminggu, waktu sahur merupakan saat yang terindah pada waktu malam, dan lain-lainnya, sebagai tempat-tempat berdo’a menghadapkan sesuatu permohonan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.
2. Pada anggapan orang-orang sufi kesempatan waktu yang baik itu harus dipergunakan sungguh-sungguh, dan terutama do’a-do’a itu dianggap baik diucapkan tatkala orang-orang berdesak-desakan dalam barisan sabilillah, tatkala turun hujan, tatkala berdiri dalam shalat lima waktu yang wajib, tatkala puasa dan tatkala sujud.
3. Do’a itu harus diucapkan sambil menghadap kiblat dan sambil mengangkat kedua belah tangannya sehingga keliatan ketiaknya. Hal ini tentu ditujukan kepada latihan badan.
4. Mengucapkan do’a itu hendaklah dengan suara yang sedang tidak terlalu keras dan tidak terlalu rendah. Yang demikian itu mungkin dimaksudkan untuk menenangkan diri dan jiwa orang yang berdo’a itu, dan menyesuaikan dengan ajaran Islam, bahwa Tuhan itu tidak ghaib dan tidak tuli, sebagaimana yang dikemukakan Nabi, tatkala orang-orang berdo’a berteriak-teriak dengan suara yang membumbung ke angkasa.
5. Hendaklah dijaga agar do’a itu tidak tersusun dalam kata-kata yang bersajak berlebihan, untuk menghilangkan kesukaran dalam mengucapkannya, sesuai dengan hadits Nabi, yang mennyuruh meninggalkan gurindam dan sajak itu dalam susunan do’a. Larangan ini dihukumi makruh , karena Nabi sendiri acapkali berdo’a dengan kata-kata bersajak, meskipun dengan cara yang sangat sederhana dan mudah difahami orang.
6. Orang-orang sufi itu di kala ia berdo’a haruslah berada dalam keadaan tadarru’, khusyu’, penuh harapan akan diberi, dan penuh ketakutan untuk ditolak.
7. Orang yang iingin mengucapkan do’a itu haruslah mempunyai keyakinan seyakin-yakinnya, bahwa do’anya itu pasti diterima Tuhan, karena dengan demikian tertanam dalam jiwanya keyakiknan bahwa Tuhan adalah satu-satunya yang dapat melimpahkan kurnia-NYA.
8. Do’a itu harus diucapkan dengan jelas, diulang-ulang, minta segera dipenuhi oleh Tuhan.
9. Do’a itu harus dimulai dengan sebutan nama Allah dan shalawat kepada Nabi-Nya.
10. Sebagai penutup adab do’a dikemukakan, bahwa do’a itu baru diucapkan sesudah taubat membersihkan diri dari segala perbuatan yang keji.
Semua adab ini pernah dibicarakan dalam kitabnya Imam Ghazali…
Sumber: Pengantar Sejarah Sufi dan Tasawuf, Prof. Dr. H. Aboebakar Atjeh, (Semarang : Ramdhani, 1962). Hal. 350-352.

Selasa, 13 Juli 2010

terkabul dan tidaknya sebuah Doa

Pernahkah kamu merasa permohonanku jarang terkabul?? Atau terlkabul tapi tak membuat bahagia?? Atau merasa sia-sia berdoa??
Semua pasti pernah merasakan sebuah kehampaan karena permohonan yang dengan sangat dilakukan tapi tak menghasilkan apa-apa. Itulah manusia , merasa terbaik untuknya tapi akhirnya membuat sesuatu yang buruk.
Dulu pernah aku terjerumus oleh sebuah kepercayaan bahwa apapun yang kuinginkan InsyaALLAh terkabul, tapi aku tak berfikir bahwa itu baik untukku, aku hanya ingin terkabul, titik! Nyatanya, aku kehilangan dan terus kehilangan sampai aku menyadari bahwa semua itu tak berharga dan kudapati bahwa ada hikmah di balik setiap keinginan yang tak bisa terkabul.
Merasa aku berhak atas sesuatu yang belum pasti terbaik adalah hasrat manusia yang ingin sesuatu berjalan atas kehendaknya dan tak ingibn ada sesuatupun menghilangkannya.
Pernah ada yang berkata bahwa yang terbaik untuk kita belum tentu terbaik untuk masa depan dan belum tentun terbaik untuk tujuan Ilahi, itu hanya angan-angan merasa bahwa itu terbaik. Terbaik untuk Ilahi adalah jalan terbaik untuk menerimannya daripada menangis tersedu-sedu karena tidak bisa mendapatkan sesuatu yang sangat kita inginkan. Hilang lebur dan tak membekas lebih baik, menerima dengan lapang adalah jalan kesabaran kita untuk menerima semua yang telah menimpa kita, tak merasa ter-abaikan dan merasa kalut, dan putus asa, itulah jalan Syetan untuk manusia, dan kita menngikutinya karena ketidaktahuan kita?? Itu hanya akan membuat kehancuran untuk kita, semangat dan percayalah bahwa Allah akan menolong kita, membantu dan memberikan yang benar-benar terbaik untuk kita. La tahZan InnaALLAAHa Ma’Ana.