Mengenai Saya

Foto saya
Aku hanyalah seoarang manusia yang bisa saja salah dalam setiap kata yang telah aku ucapkan, tulisan yang telah aku buat.jika terdapat kesalahan kata, tanda baca, nama, dsb harap dimaklumi, Sungguh, Allahlah yang maha sempurna dengan segala sesuatu, dan aku hanyalah manusia yang terkadang alfa atas setiap hal yang telah kulalui.

Kamis, 04 Juni 2009

Dalalah Hanafiyah

I. PENDAHULUAN

Al-Qur’an dan al-Hadits, sebagai sumber hukum, memberikan berbagai pengertian yang dapat di gali dari berbagai dalalat lafz-lafz-nya. Menurut ulama Hanafiyah, sebagai pedoman untuk menggali dan memahami lafz-lafz al-nash tersebut dapat dilakukan dengan melalui pemahaman dalalat al-lafzh dan dalalat ghayr al-fazh.
Dilalah adalah : “memahami sesuatu atas sesuatu”
Kata “sesuatu” yang pertama disebut madlul (yang ditunjuk). Dalam hubngannya dengan hukum, yang disebut madlul itu adalah hukum itu sendiri.
Kata “sesuatu” yang disebut kedua kalinya disebut dalil (yang menjadi petunjuk”. Dalam hubungan dalam hukum, dalil itu disebut “dalil hukum”
Ulama Hanafiyah membagi dilalah kepada dua macam, yaitu dilalah lafzhiyah dan dilalah ghairu lafzhiyah.
Dilalah lafzhiyah dalam pengartian ini, ialah yang menjadi dalil adalah lafaz menurut lahirnya. Dilalah ghairu lafzhiyah ialah yang menjadi dalil bukan melalui lafaz menurut lahirnya. Dilalah ghairu lafzhiyah ini di kalangan Hanafiyah disebut “dilalah sukut” atau disebut juga “bayan al-dharurah”.


II. PEMBAHASAN
Dilalah adalah : “memahami sesuatu atas sesuatu”
Kata “sesuatu” yang pertama disebut madlul (yang ditunjuk). Dalam hubngannya dengan hukum, yang disebut madlul itu adalah hukum itu sendiri.
Kata “sesuatu” yang disebut kedua kalinya disebut dalil (yang menjadi petunjuk”. Dalam hubungan dalam hukum, dalil itu disebut “dalil hukum”
Ulama Hanafiyah membagi dilalah kepada dua macam, yaitu dilalah lafzhiyah dan dilalah ghairu lafzhiyah.
Dilalah lafzhiyah dalam pengartian ini, ialah yang menjadi dalil adalah lafaz menurut lahirnya. Dilalah ghairu lafzhiyah ialah yang menjadi dalil bukan melalui lafaz menurut lahirnya. Dilalah ghairu lafzhiyah ini di kalangan Hanafiyah disebut “dilalah sukut” atau disebut juga “bayan al-dharurah”.

A. Dalalah Lafzi

Dalalah lafziyah terbagi kepada 4 macam yang berbeda tingkat kekuatannya :
a. Dalalah ibarah atau disebut juga ibarat nash yaitu :
1) menurut Abu Zahrah :

وهي المعنى المفهوم من الفظ سواء اكان نصا او ظاهرا
Makna yang dapat dipahami dari apa yang disebut dalam lafaz, baik dalam bentuk nash maupun zhahir.
2) Penulis kitab al-Tharir memberikan definisi :
(دلالته) أي اللفظ (على المعنى) حال كونه مقصودا أصليا ولولازما وهوالمعتبر عندهم فى النص أو غير أصلي

Penunjukkan lafaz makna dalam keadaan sesuai dengan yang dimaksud secara asli, meskipun dalam bentuk lazim (lafaz jenis inilah yang diperhitungkan oleh ulama ushul dalam nash) atau bukan dalam bentuk asli.
Kedua definisi itu mengandung arti bahwa makna yang dimaksud dapat dipahami dari lafaz yang disebutkan, apakah dalam bentuk penggunaan menurut asalnya (nash) atau bukan menurut aslinya (zhahir).

Pemahaman lafaz dalam bentuk ini adalah menurut apa adanya yang dijelaskna dalam lafaz itu. Pemahaman secara “tersurat” dalam lafaz.
Contohnya, firman Allah dalam surat al-Nisa (4) : 3 yang artinya:
“Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), Maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi : dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil. Maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya.”

Ayat ini menurut ‘ibarat nash atau menurut yang tersurat, sesuai dengan tujuan semula yaitu bolehnya mengawini perempuan sampai empat orang, bila terpenuhi syarat adil. Lafaz dalam ayat ini menurut asalnya memang menunjukkan hal tersebut.
Disamping memberi petunjuk secara jelas dan langsung, ayat ini secara tidak langsung (bukan menurut maksud semula atau secara zhahirnya) menunjukkan bahwa perkawinan itu hukumnya adalah mubah, meskipun tujuan ayat ini sebenarnya bukan hanya sekedar untuk itu.
Dilalah ibarah bertingkat-tingkat kekuatannya sesuai dengan kejelasan arti lafaznya. Ibarat dalam bentuk nash lebih kuat penunjukannya dibandingkan dengan ‘barat dalam bentuk zahir. Alasannya, karena penunjukan lafaz nash terhadap apa yang dimaksud adalah secara langsung dan menurut maksud asalnya, sedangkan penunjukan lafaz zahir meskipun jelas tetapi tidak langsung dan tidak untuk meksud yang sebenarnya dari lafaz tersebut.

b. Dilalah isyarah atau disebut juga isyarah al-nash yaitu :
Menurut Abu Zahrah :
ما يدل عليه اللفظ بغير عبارة
Apa yang ditunjuk oleh lafaz melalui ibarahnya.
Ulama Hanafiyah dalam at-Tahrir memberi definisi :
(دلالته)اي اللفظ على ما لم يقصد به اصلا
Lafaz yang dalalahnya terhadap sesuatu, tidak dimaksud untuk itu menurut asalnya.

Al-Sarkhisi dari ulama Hanafiyah memberi definisi:
ما لم يكن السياق لاجله لكنه يعلم بالتأمل فى معني اللفظ من غير زيا دة ولا نقصان
Apa yang terungkap memang bukan ditujukan untuk itu, namun dari perhatian yang mendalam ditemukan suatu makna dari lafaz itu, tidak lebih dan tidak kurang.

Dari beberapa definisi di atas, dapat disimpulkan mengenai hakikat dilalah isyarah itu ialah bahwa lafaz yang diungkapkan memberi arti kepada suatu maksud namun tidak menurut apa yang secara jelas disebutkan dalam lafaz itu. Lafaznya menunjukkan kepada suatu arti tertentu, tetapi arti tersebut bukan merupakan maksud semula dari lafaz tersebut.

Setiap lafaz menurut ‘ibarahnya (ibarat nash) memberi petunjuk kepada maksud tertentu sesuai dengan apa yang dituju oleh lafaz itu.para ulama ushul juga dapat menangkap bentuk lafaz yang demikian untuk memberi petunjuk (isyarat kepada lebih dari satu maksud di luar apa yang ditunjuk menurut ‘ibaratnya.
Contohnya, firman Allah dalam surat al-Baqarah (2) : 187, yang mengisyaratkan kepada beberapa maksud :
“Makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar. “

Ayat di atas menurut ‘ibaratnya (ibarat nash) mengandung arti bolehnya makan dan minum serta hubungan kelamin sepanjang malam. Di samping itu, isyaart ayat tersebut mengandung beberapa maksud antara lain :
Pertama, seseorang yang masuk waktu subuh dalam keadaan junub (sudah berhubungan kelamin tetapi belum mandi) sah puasanya hari itu ; karena sebelum ayat itu ada firman Allah: ثم اتموا الصيام الى اللي yang mengadung arti bahwa bila hubungan kelamin dilakukandi akhir waktu malam, maka mandinya dilakukan setelah terbit fajar. Hal ini berarti ia dalam keadaan junub (berhadas besar).

Kedua, niat puasa yang dilakukan sesudah terbit fajar adalah sah keran lafaz summa adalah untuk maksud “akibat” yang dilakukan kemudian. Bila disuruh melakukan puasa sesudah terbit fajar yang dilakukan dengan niat dan menahan diri, maka dapat diketahui sahnya niat sesudah terbit fajar.
Ketiga, rukun puasa itu adalah menahan dari tuntutan dua nafsu yitu nafsu makan dan nafsu syahwat, karena perbuatan-perbuatan tersebut hanya boleh dilakukan sebelum terbit fajar. Hal ini mengandung arti bahwa semua yang dilakukan sebelum terbit fajar menjadi terlarang; artinya, harus menahan diri dari semua itu.
c. Dilalah al-dilalah

Menurut Abu Zahrah :
دلالةاللفظ عل ثبو ت حكم ما ذكر لما سكت عنه لفهم المنا ط بمجرد فحم اللغة
Dilalah lafazh yang disebutkan dalam penetapan hukum adalah untuk yang tidak disebutkan karena ada hubungannya yang dapat dipahami berdasarkan pemahaman dari segi bahasa.

Definisi yang hampir sama, dikemukakan oleh pengarang at-Tahrir
دلالةاللقظ على حكم منطوق لمسكوت لفهم المنا ط بمجرد فهم اللغة
Dilalah lafaz atas hukum yang dibicarakan untuk sesuatu yang tidak disebutkan karena dapat dipahami ada kaitannya berdasarkan pemahaman dari segi bahasa.

Dari beberapa definisi di atas, dapat disimpulkan bahwa dalalah nash adalah penunjukan oleh lafaz yang “tersurat” terhadap apa yang “tersirat” di balik lafaz itu. Hukum yang terdapat dalam suatu lafaz secara tersurat, berlaku pula pada apa yang tersirat di balik lafaz itu, karena diantara keduanya terdapat hubungan. Untuk sampai pada pemahaman yang tersirat itu cukup hanya dengan menggunakan analisa kebahasaan, tidak memerlukan “ijtihad” dengan mengerahkan kemampuan daya nalar.

D. Dilalahal-Iqtidha atau disebut juga Iqtidha al-nash, yaitu :
1. Menurut sebagian ahli ushul :
دلالةاللقظ على سكوت عنه يتوقف صدقالكلام عليه
Penunjukan lafaz kepada sesuatu yang tidak disebutkan, yang kebenarannya tergantung kepada yang tidak tersebut itu.

2. Secara sederhana Abu Zahrah memberi definisi :
دلالةاللفظ على كل أمر لا يستقيم المعنى الا بتقد يره
Penunjukan lafaz kepada setiap sesuatu yang tidak selaras maknanya tanpa memunculkannya.

Dari beberapa definisi di atas dapat disimpulkan bahwa iqtidah al-nash adalah : dalam suatu ucapan ada suatu makna yang sengaja tidak disebutkan karena adanya anggapan bahwa orang akan mudah mengetahuinya, namun dari susunan ucapan itu terasa ada yang kurang sehingga ucapan itu dirasakan tidak benar kecuali bila yang tidak tersebut itu dinyatakan.
Hal ini berkaitan dengan kefasihan al-Qur’an. Diantaranya adalah dalam penggunaan bahasa dengan ungkapan lafaz singkat (efisien) yang dapat menampung maksud yang luas, sehingga menurut lahirya terlihat ada beberapa makna atau maksud yang tidak disebutkan dalam ungkapan tersebut. Kebenaran ungkapan itu menurut lahirnya dipandang perlu untuk memunculkan apa-apa yang tidak disebutkan itu.

Contohnya, firman Allah dalam surat Yusuf (12) : 82
“Tanyalah (penduduk) negeri yang kami berada disitu, dan kafilah yang kami datang bersamanya”

Menurut zhahir ungkapan ayat tersebut ada yang kurang, karena bagaiman mungkin bertanya kepada “kampung” yang bukan makhluk hidup. Karenanya dirasakan perlu memunculkan suatu kata agar ungkapan dalam ayat itu menjadi benar. Kata yang perlu dimunculkan itu adalah”penduduk” sebelum kata “kampung”, sehingga menjadi : “penduduku kampung”, yang dapat ditanya dan memberi jawaban. Selain itu, juga dianggap perlu memumculkan kata “orang-orang” sebelum kata “kafilah”, sehingga menjadi : “orang-orang dalam kafilah”, yang memungkinkan memberikan jawaban.

Contohnya, sabda Nabi dalam hadits :

رفع عن امتى الخطأ والنسيان
Di cabut dari umatku kesalahan dan lupa.

Kata-kata “mencabut” hanya mungkin berlaku terhadap sesuatu yang kongkrit dan dapat dicabut. Sifat “kesalahan” dan “lupa” tidak mungkin dicabut karena telah terjadi (berlalu). Karenanya kalau hanya melihat kepada lahirnya, maka ucapan hadits itu tidak betul. Dengan demikian, dirasakan ada kata yang perlu dimunculkan dalam ucapan hadits itu supaya kelihatan betul. Kata yang dimaksud adalah “dosa” atas kejahatan yang dilakukan karen akesalahan atau lupa. Maksudnya, Allah memaafkan dosanya.

B. Dalalah ghairu lafziyah

Dilalah ini juga biasa disebut dilalah sukut atau bayan al-dharurah. Menurut ulama Hanafi ada 4 macam, yaitu :
a. Kelaziman dari menyebutkan sesuatu untuk menetapkan hukum terhadap yang tidak disebutkan.
Bila dalam suatu lafaz disebutkan hukum secara tersurat, maka dibalik yang tersurat itu dapat diketahui pula hukum lain meskipun tidak tersurat dalam lafaz itu. Kelaziman itu dapat diketahui dari ungkapan lafaz tersebut.
Umpamanya firman Allah dalam Rutar al-Nisa (4) : 11 :
“Untuk dua orang ibu-bapa, bagi masing-masingnya seperenam dari harta yang ditinggalkan, jika yang meninggal itu mempunyai anak; jika orang yang meninggal tidak mempunyai anak dan ia diwarisi oleh ibu-bapanya (saja), Maka ibunya mendapat sepertiga”

‘Ibarah nash dari ayat ini ialah bila ahli waris hanya dua orang ibu bapak, maka ibu menerima sepertiga. Meskipun dalam ayat ini tidak disebutkan hak ayah, namun dari ungkapan ayat ini kita dapat memahami bahwa hak ayah adalah sisa dari sepertiga, yaitu dua sepertiga.
Sebenarnya pengetahuan kita akan hak ayah hanya dua pertiga itu adalah karena sebelumnya sudah mengetahui bahwa kedudukan ayah bila tidak bersama anak laki-laki adalah berhak atas sisa harta waris.
b. dilalah (penunjukan keadaan diamnya seseorang yang fungsinya adalah untuk memberi penjelasan
Seseorang yang diberi tugas untuk memberikan penjelasan atas sesuatu, namun ia dalam keadaan tertentu diam saja memberikan petunjuk atas sesuatu. Begitu pula seseorang yang diberi tugas untuk melarang suatu perbuatan tapi suatu ketika ia menyaksikan perbuatan yang dilarang itu dilakukan orang, namun ia diam saja. Diamnya itu memberi petunjuk atas usatu hukum. Dalam hal ini adalah izin untuk melakukan perbuatan itu. Sebab kalau perbuatan itu dilarang, tentu ia tidak akan tinggal diam waktu melihat perbuatan tersebut, karena ia bertugas memberikan penjelasan atau melarang perbuatan yang salah. Keadaan diamnya itu memberikan izin untuk berbuat.
c. menganggap diamnya seseorang yang diam sebagai berbicara untuk menghindarkan penipuan.
Dalam definisi lain disebutkan :
اعتباره بيان الضرورة لدفع التغرير
Menganggap bayan al-dharurah untuk menolak penipuan.
Bedanya bentuk ketiga dari bentuk kedua : pada bentuk kedua, diamnya itu sudah cukup dijadikan petunjuk untuk memahami sesuatu. Namun pada bentuk yang ketiga ini diamnya belum berarti apa-apa, tetapi masuh diperlukan ucapannya. Meskipun dalam hal ini hanya diam, tetapi diamnya itu sudah dapat dianggap berbicara.
Umpamanya seorang wali (orang yang melindungi anak di bawah umur) bersikap diam pada saat orang yang berada di bawah perwaliannya melakukan tindakan yang bertalian dengan hartanya, seperti jual beli. Orang yang berada di bawah perwaliannya itu baru sah tindakannya bila secara jelas diizinkan oleh walinya, tidak hanya diam semata. Namun, karena jual beli itu sudah berlangsung dan kalau tidak mendapat persetujuan dari walinya, tentu tindakan itu tidak dianggap sah yang akan merugikan pihak lain. Dalam rangka menghindari kerugian bagi pihak lain, maka meskipun wali itu hanya diam, tetapi sudah dianggap berbicara (mengizinkan)
d. dilalah sukut (penunjukan diam) yang menyatakan ma’dud (sesuatu yang terbilang) namun telah biasa dibuang untuk menghindarkan panjangnya ucapakan kalau disebutkan.
Contoh dalam hal ini biasanya muncul dalam penyebutan angka-angka atau bilangan. Dalam tata bahasa Arab bila seseorang berkata (seratus dan satu gantang beras). Dalam pemakaian bahasa Arab yang lengkap mestinya dijelaskan dengan ucapan : yang kalu kita terjemahkan menjadi “seratus gantang dan satu gantang” untuk maksud bilangan 101 gantang. Namun telah terbiasa membuang kata “gantang” yang pertama dalam rangka menghindarkan panjangnya uacapan.
Dalam bahasa Indonesia, umpamanya dalam menyebutkan tahun 1945. kalau diucapkan dengan huruf atau ucapan yang sempurna, semestinya berbunyi : “Seribu sembilan ratus empat puluh lima”. Tetapi jarang orang yang menyebutkannya secara sempurna. Kebanyakan orang biasa mengatakan 1945 itu dalam pembicaraan sehari0hari adalah “ sembilah belas empat lima”. Meski demikian, namun semua orang sudah mengetahui maksudnya.

KESIMPULAN

Al-Qur’an dan al-Hadits, sebagai sumber hukum, memberikan berbagai pengertian yang dapat di gali dari berbagai dalalat lafz-lafz-nya. Menurut ulama Hanafiyah, sebagai pedoman untuk menggali dan memahami lafz-lafz al-nash tersebut dapat dilakukan dengan melalui pemahaman dalalat al-lafzh dan dalalat ghayr al-fazh.
Dilalah adalah : “memahami sesuatu atas sesuatu”
Kata “sesuatu” yang pertama disebut madlul (yang ditunjuk). Dalam hubngannya dengan hukum, yang disebut madlul itu adalah hukum itu sendiri.
Kata “sesuatu” yang disebut kedua kalinya disebut dalil (yang menjadi petunjuk”. Dalam hubungan dalam hukum, dalil itu disebut “dalil hukum”
Ulama Hanafiyah membagi dilalah kepada dua macam, yaitu dilalah lafzhiyah dan dilalah ghairu lafzhiyah.
Dilalah lafzhiyah dalam pengartian ini, ialah yang menjadi dalil adalah lafaz menurut lahirnya. Dilalah ghairu lafzhiyah ialah yang menjadi dalil bukan melalui lafaz menurut lahirnya. Dilalah ghairu lafzhiyah ini di kalangan Hanafiyah disebut “dilalah sukut” atau disebut juga “bayan al-dharurah”.

Referensi :
Djazuli, H.A. dan Nurol Aen. Ushul Fiqh Metodologi Hukum Islam. (Jakarta : Rajawali Pers, 2000)
Syarifuddin, Amir . Ushul Fiqh jilid 2. (Jakarta : Logos Wacana Ilmu, 1999)

Tidak ada komentar: