Mengenai Saya

Foto saya
Aku hanyalah seoarang manusia yang bisa saja salah dalam setiap kata yang telah aku ucapkan, tulisan yang telah aku buat.jika terdapat kesalahan kata, tanda baca, nama, dsb harap dimaklumi, Sungguh, Allahlah yang maha sempurna dengan segala sesuatu, dan aku hanyalah manusia yang terkadang alfa atas setiap hal yang telah kulalui.

Sabtu, 24 Oktober 2009

GANGGUAN-GANGGUAN MENTAL

I PENDAHULUAN
Pada suatu saat dalam kehidupannya, manusia tentu pernah mengalami suatu kejadian yang begitu membekas dalam seluruh struktur kepribadiannya. Peristiwa tersebut disebut peristiwa traumatis. Contohnya adalah kematian orang yang dicintai, kegagalan dalam menempuh ujian, maupun pengalaman yang tidak menyenangkan yang membuat takut. Peristiwa-peristiwa traumatik seperti itu akan mempengaruhi kondisi psikologis seseorang sehingga pola perilakunya berubah. Salah satu cabang psikologi yang mempelajari gangguan-gangguan psikis, emosional, dan perilaku yang menyimpang disebut Psikopatologi.
Abnormalitas adalah suatu perilaku yang bertentangan dengan suatu keadaan yang normal.
Dari hasil berbagai penyelidikan dapat dikatakan bahwa gangguan jiwa adalah kumpulan dari keadaan-keadaan yang tidak normal, baik yang berhubungan dengan fisik, maupun dengan mental. Keabnormalan tersebut tidak disebabkan oleh salit atau rusak bagian-bagian anggota badan, meskipun kadang-kadang gejalanya terlihat pada fisik.
Keabnormalan itu dapat di bgi atas dua golongan yaitu: golongan jiwa (neurose) dan sakit jiwa (psychose).
Keabnormalan itu terlihat dalasm bermacam-macam gejala, yang terpenting di antaranya adalah: ketegangan batin(tension), rasa putus asa dan murung, gelisah/cemas, perbuatan-perbuatan yang terpaksa (compulsive), hysteria, rasa lemah, dan tidak mampu mencapai tujuan, takut,pikiran-pikiran buruk dan sebagainyas. Semuanya itu menggangu ketenangan hidup, misalnya tidak bisa hidup nyenyak, tidak ada nafsu makan dan sebagainya.






II PEMBAHASAN
A. PENGERTIAN GANGGUAN MENTAL
Penyakit mental, disebut juga gangguan mental, penyakit jiwa, atau gangguan jiwa, adalah gangguan yang mengenai satu atau lebih fungsi mental. Penyakit mental adalah gangguan otak yang ditandai oleh terganggunya emosi, proses berpikir, perilaku, dan persepsi (penangkapan panca indera). Penyakit mental ini menimbulkan stress dan penderitaan bagi penderita (dan keluarganya).
Penyakit mental dapat mengenai setiap orang, tanpa mengenal umur, ras, agama, maupun status sosial-ekonomi. Penyakit mental bukan disebabkan oleh kelemahan pribadi.
Di masyarakat banyak beredar kepercayaan atau mitos yang salah mengenai penyakit mental, ada yang percaya bahwa penyakit mental disebabkan oleh gangguan roh jahat, ada yang menuduh bahwa itu akibat guna-guna, karena kutukan atau hukuman atas dosanya. Kepercayaan yang salah ini hanya akan merugikan penderita dan keluarganya karena si sakit tidak mendapat pengobatan secara cepat dan tepat.
Gangguan mental yang mungkin dialami oleh tiap orang itu berbeda-beda dalam hal jenis, keparahan, lama sakit, frekuensi kekambuhan, dan cara pengobatannya.
Ada lebih dari 400 macam gangguan mental, tetapi yang umum dikenal masyarakat hanya satu saja, yaitu apa yang disebut “gila”. Akibatnya setiap orang yang datang berkonsultasi ke psikolog atau berobat ke psikiater dikatakan gila, sehingga mereka yang sesungguhnya memerlukan pengobatan merasa malu untuk berobat. Padahal, gangguan mental yang berat ini (gila) hanya merupakan bagian yang sangat kecil dari sekian banyak macam penyakit/gangguan mental.
Neurosis memiliki karakteristik yaitu, rendahnya tingkat toleransi terhadp stress, bersifat egosentris dan terganggunya hubungan antar pribadi, kurangnya wawasan atau pengetahuan dan bersikap kaku, merasa tidak puas dan bahagia, cemas dan gelisah, kurang memiliki kemampuan pengendalian diri dalam perilaku, gangguan psikologisa dan somatis, tegang dan mudah marah.

B. GANGGUAN-GANGGUAN KEJIWAAN
Dari hasil berbagai penyelidikan dapat dikatakan bahwa gangguan jiwa adalah kumpulan dari keadaan-keadaan yang tidak normal, baik yang berhubungan dengan fisik, maupun dengan mental. Keabnormalan tersebut tidak disebabkan oleh salit atau rusak bagian-bagian anggota badan, meskipun kadang-kadang gejalanya terlihat pada fisik.
Keabnormalan itu dapat di bgi atas dua golongan yaitu: golongan jiwa (neurose) dan sakit jiwa (psychose).
Keabnormalan itu terlihat dalasm bermacam-macam gejala, yang terpenting di antaranya adalah: ketegangan batin(tension), rasa putus asa dan murung, gelisah/cemas, perbuatan-perbuatan yang terpaksa (compulsive), hysteria, rasa lemah, dan tidak mampu mencapai tujuan, takut,pikiran-pikiran buruk dan sebagainyas. Semuanya itu menggangu ketenangan hidup, misalnya tidak bisa hidup nyenyak, tidak ada nafsu makan dan sebagainya.
Ada perbedaan antara neurose dan pyschose. Orang yang kena neurose, masih mengetahui dan merasakan kesukarannya, sebsaliknya orang yang kena psychose tidak. Disamping itu orang yang kena neurose kepribadiannya tidak jauh beda dai realitas, dan masih hidup dalam alam kenyataan pada umumnya. Sedangkan orang yang kena psychose, kepribadiannya dari segala segi (tanggapan, perasaan/emosi, dan dorongan-dorongannya) sangat terganggu, tidak ada integritas dan ia hidup jauh dari alam kenyataan.
Dalam makalah ini tidak akan dibicarakan tentang gangguan dan penyakit jiwa secara terperinci. Cukup sekedar mengenal beberapa macam saja dengan gejala-gejalanya yang biasa kita temui dalam kehidupan sehari-hari. Gangguan-gangguan jiwa itu adalah sebagai berikut:

1. Neurasthenia
Salah satu gangguan jiwa yang sudah dikenal orang sebagai penyakit saraf, yang dahulu disangka terjadi karena lemahnya saraf. Karena itu pengobatan-pengobatan di waktu itu dilakukan dengan jalan menyeluruh pasien istirahat di tempat tidur, jauh dari keributan dan cahaya, disamping memberikan obat-obat penguat dan penenang.
Penyakit neurasthenia adalah penyakit payah. Orang yang diserangnya akan merasakan antara lain:
Seluruh badan leih, tidak bersemangat, lekas merasa payah, walaupun sedikit tenaga yang dikeluarkan. Perasaan tidak enak, sebentar-sebentar ingin marah, menggerutu dan sebagainya. Tidak sanggup berfikir tentang sesuatu persoalan, sukar mengingat dan memusatkan perhatian. Apatis, acuh tak acuh terhadap persoalan-persoalan luar karena ia merasa seolah-olah akan ambruk saja sewaktu-waktu. Sangat sensitive terhadap cahaya dan suara, sehingga detik, jam tidak bisa diatur.
Bermacam-macam pendapat ahli tentang sebab penyakit ini. Ada yang berpendapat, karena terlalu sering melakukan onani (masturbasi). Ada pula yang mengatakan bahwa penyakit ini adalah akibat gejala-gejala kelakuan yang dipelajari (behaviourism). Akan tetapi pendapat umum adalah bahwa penyakit ini disebabkan oleh karena terlalu lama menekan perasaan, pertentangan batin, kecemasan, terhalangnya keinginan-keinginan dan kebutuhan-kebutuhan. Selain itu terlalu banyak menghadapi kegagalan hidup, sering dihadapkan kepada persaingan-persaingan dalam pekerjaan dan kadang-kadang menjadi objek yang dipertentangkan. Semuanya itu menyebabkan kegelisahan/kecemasan dan tertekannya perasaan.

2. Hysteria
Pada permulaan, orang menyangka bahwa yang dihinggapi penyakit ini hanya kaum wanita. Akan tetapi kemudian pendapat itu berubah setelah Freud menemukan bahwa laki-laki pun dapat dihinggapi penyakit ini.
Seperti gangguan jiwa lainnya hysteria juga terjadi akibat ketidakmampuan seseorang menghadapi kesukaran-kesukaran, tekanan perasaan, kegelisahan, kecemasan dan pertentangan batin. Dalam menghadapi kesukaran itu orang tidak mampu mnghadapinya dengan cara yanh wajar, lalu melepaskan tanggung jawab dan lari secara tidak sadar kepada gejala-gejala hysteteria yang tidak wajar. Diantara gejala-gejalanya ada yang berhubungan dengan fisik dan ada pula yang berhubungan dengan mental.
Termasik gejala-gejala fisik antara lain, ialah:
a) Lumpuh hysteria
b) Cramp hysteria
c) Kejang hysteria
d) Mutism (hilang kesanggupan berbicara)
Termasuk dalam gejalas-gejala yang berhubungan dengan mental antara lain, ialah:
a) Hilang ingatan (amnesiaI
b) Kepribadian kembar (double personality)
c) Mengelana secara tidak sadar (fugue)
d) Jalan-jalan sedang tidur (somnambulism)

3. Psychasthenia
Psychastenia adalah semacam gangguan jiwa yang bersifat, yang berarti kurangnya kemampuan jiwa untuk tetap dalam keadaan integrasi yang normal.
Gejala-gejala penyit ini antara lain:
a) Phobia
b) Obsesi
c) Kompulsi

4. Gagap bebicara (stuttering)
Gejala gangguan jiwa lainnya adalah gagap berbicara, ada yang berbentuk terpuutus-putus, tertahan nafas atau berulang-ulang. Apabila tekanan gagap itu terlalu besar, maka kelihatan orang menekan kedua bibirnya dengan diiringi gerakan-gerakan tangan dan kakinya dan sebagainya.
Bisanya gagap itu mulai pada umur diantara 2 dan 6 tahun. Gejala ini lebih banyak terjadi pada anak laki-laki, anak kembar dan orang kidal, dan mungkin disebabkan karena gangguan fisik seperti kurang sempurnanya alat percakapan, gangguan pada pernapasan, amandel dan sebagainya. Akan tetapi, apabila alat-alat itu sehat dan baik, maka gejala itu timbul akibat pertentangan batin, tekanan perasaan, ketidakmampuan menyesuaiakan diri. Gejala itu adalah akibat dari gangguan jiwa.

5. Ngompol (buang air yang tidak disadari)
Banyak orang tua yang mengeluh karena anaknya yang sudah besar masih ngompol saja. Ngompol adalah salah satu dari gejala gangguan jiwa, ada yang hanya malam hari, ada juga yang siang hari.
Seharusnya dalam perkembangan anak, makin besar, makin dapat menguasai dirinya dan mengatur bila dan dimana ia harus buang air. Akan tetapi sering terjadi bahwa anak yang tadinya sudah dapat menahan dan mengatur, kemudian berubah, atau tidak pernah dapat mengaturnya sampai umur belasan tahun, masih ngompol saja. Biasanya hal ini terjadi, sebagai akibat dari gangguan jiwa, tekanan perasaan, atau ingin diperhatikan. Anak yang dimanjakan dan jadi pusat perhatian ibu-bapak, beubah menjadi kurang diperhatikan oleh karena adiknya sudah lahir.
Ketidakpuasan si anak atas perbuatan orang tua yang berubah itu, akan menyebabkan ia gelisah dan merasa tertekan, disamping ingin kembali mendapat perhatian seperi dahulu. Maka terjadilah secara tidak sadar, ia buang air kecil di waktu ia tidur. Dan mungkin pula yang menderita itu anak yang kecil, karena merasa bahwa kakak-kakaknya lebih mendapat perhatian.

6. Kepribadian psychopathi
Psychopathi adalah ketidaksanggupan menyesuaiakan diri yang mendalam dan kronis. Orang-orang yang psychopathi itu biasanya menimpakan kesalahan yang dibuatnya kepada orang lain. Segala perasaan tidak puas, konflik jiwa dan tekanan perasaandan sebagainya, tidak dapat di tahan atau diatasi dengan wajar, akan tetapi diungkapkannya dalam bentuk kelakuan-kelakuan yang menyebabkan orang lain menderita karennanya. Ia bersifat agresif egois, tidak peduli orang lain.

7. Keabnormalan seksuil
Banyak pula persoalan-persoalan yang ada hubungannnya dengan seksuil baik di kalangana pria maupun wanita, yang timbul akibat gangguan jiwa. Gejala-gejala yang sering dialami antara lain ialah:

a.Onani (masturbasi)
Orang yang diserang gejala ini kencari kepuasan seksuil dengan anggota tubuhnya secara tidak wajar, yang biasanya dilakukan dalam periode tertantu dari hidupnya.
Perbuatan ini mungkin dilalui oleh sementara orang dalam pertumbuhannya sebelum ia berpindah kepada fase kecintaan orang dewasa secara wajar. Dalam hal itu perbuatan tersebut silakukan sekedar untuk memenuhi kebutuhan fisik dengan cepat tanpa menunggu cara yang lazim.
Ada sementara pendapat dalam masyarakat yang mengatakan bahwa perbuatan onani itu akan menyebabkan seseorang menjadi kurang ingatan atau gila. Sebenarnya bahayanya yang terbesar, tidak terletak pada dilakukannya perbuatan itu, tapi pada perasaan dosa yang timbul sesudahnya.

b. Homo seksuil
Orang yang diserang gejala ini berkeinginan untuk berhubungan dengan orang yang sejenis saja. Mungkin cinta sejenis ini beralasan, dan mungkin pula hanya sepihak, yaitu yang melakukan hal itu hanya satu orang saja. Bahkan hubungan itu mengkin lebih jauh dari itu, yaitu dengan ingin melakukan hubungan seksuil dengan orang yang sama jenis kelaminnya. Keadaan seperti ini mungkin terjadi pada orang-orang yang hidup terpisah jauh dari jenis lain, atau tidak mungki berhubungan dengan jenis lain itu, disebabkan tugas, adat kebiasaan atau peraturan yang sangat keras, yang tidak memberi kesempatan untuk berkenalan dengan jenis lain.

c. Sadism
Seeorang tidak dapat merasakan kepuasan seksuil, kecuali apabila ia dapat menimbulkan kesakitan (isik atau perasaan) terhadap orang yang dicintainya. Bahkan mungkin ia melukai, memukul, atau membunuh orang yang dicintainya, demi kepuasan seksuilnya.
yang biasa terjadi adalah yang ringan, di mana orang senang menyakiti hati orang yang dicintai. Ia belum merasa puas, sebelum yang dicintainya itu menangis.
Sseungguhnya banyak sekali keabnormalan seksuil yang menyebabkan terganggunya kebahagiaan, ketengan hidup pribadi dan keluarga, bahkan mengganggu hubungan suami istri. Persoalan itu bersifat khusus dan spesifik pada orang yang menderitanya, yang tidak perlu diuraikan di sini.
Semua persoalan-persoalan itu banyak mempengaruhi kegiatan, sikap dan perbuatan orang dalam hidup. Oleh karena itu, perlu adanya bimbingan yang sehat da wajar bagi anak-anak supaya terhindar dari barbagai gejala-gejala keabnormalan itu.



C.FAKTOR-FAKTOR PENYEBAB TERJADINYA GANGGUAN MENTAL
Ada banyak faktor yang menjadi penyebab terjadinya gangguan mental. Faktor-faktor tersebut adalah :
• Faktor fisiologis dan biologis, seperti terjadinya kerusakan pada otak (brain damage), kegagalan perkembangan otak, ataupun cacat fisik lainnya yang berpengaruh pada kegagalan otak. Faktor-faktor ini biasa disebut dengan Samatogenik
• Faktor psikologis, seperti rasa sepi, stress, kecemasan, dan sebagainya. Faktor ini biasa disebut dengan Psikogenik
• Faktor lingkungan, seperti peperangan, kerusuhan rasial, kelaparan, kehidupan di penjara, lingkungan sekolah yang terlalu kompetitif, dan sebagainya.


















III PENUTUP
Penyakit mental, disebut juga gangguan mental, penyakit jiwa, atau gangguan jiwa, adalah gangguan yang mengenai satu atau lebih fungsi mental. Penyakit mental adalah gangguan otak yang ditandai oleh terganggunya emosi, proses berpikir, perilaku, dan persepsi (penangkapan panca indera). Penyakit mental ini menimbulkan stress dan penderitaan bagi penderita (dan keluarganya).
Penyakit mental dapat me-ngenai setiap orang, tanpa mengenal umur, ras, agama, maupun status sosial-ekonomi. Penyakit mental bukan disebabkan oleh kelemahan pribadi.
Di masyarakat banyak beredar kepercayaan atau mitos yang salah mengenai penyakit mental, ada yang percaya bahwa penyakit mental disebabkan oleh gangguan roh jahat, ada yang menuduh bahwa itu akibat guna-guna, karena kutukan atau hukuman atas dosanya. Kepercayaan yang salah ini hanya akan merugikan penderita dan keluarganya karena si sakit tidak mendapat pengobatan secara cepat dan tepat.
• Macam-macam gangguan-gangguan kejiwaan
• Neurasthenia
• Hysteria
• Gagap bebicara (stuttering )
• Psychasthenia
• Ngompol (buang air yang tidak disadari)
• Kepribadian psychopathi
• Keabnormalan seksuil







DAFTAR PUSTAKA

Daradjat, Zakiah, Kesehatan Mental, Jakarta: PT Gunung Agung, 1996
http://www.iqeq.web.id/art/art10.shtml
http://www.geocities.com/almarams/MentDis_What.htm
Narendrany, Heny Hidayati dan Andri Yudiantoro, Psikologi Agama, Jakarta: UIN Jakarta Press, 2007), Cet-1

ABU HURAIRAH

Abu Hurairah
Abu Hurairah (21 SH – 59 H= 602 M – 679 M)

Nama “Abu Hurairah” adalah nama kunyah atau gelar yang diberikan oleh Rasul SAW, karena sikapnya yang sangat menyayangi kucing peliharaannya. Sedangkan nama aslinya di masa Jahiliyah adalah ‘Abd Syams ibn Sakhr. Kemudian ketika masuk Islam Nabi SAW menggantinya dengan Abdurrahman ibn Sakhr Al-Dausi (dari Bani Daus ibn Adnan) Al-Yamani. Ia adalah salah seorang sahabat Rasul SAW yang diberi gelar kehormatan oleh para ulama dengan Al-Imam, Al-Faqih, AL-Mujtahid, dan Al-Hafidz. Dialah salah satu sahabat yang didoakan Rasulullah agar mempunyai kekuatan hafalan yang tinggi. Ia dilahirkan pada 19 sebelum hijriyah, sedang meninggalnya di Al- ‘Aqiq pada tahun 59 H.
Abu Hurairah dating ke Madinah dan bergabung dengan Nabi Saw pada waktu berlangsungnya kampanye menentang Khaibar pada bulan Muharram tahun 7 H (629). Tapi sumber lain menyebutkan bahwa ia masuk Islam sebelum hijrah atas dorongan Thufail ibn ‘Amir. Sejak memeluk Islam belia selalu beserta Nabi dan menjadi ketua Jama’ah ahli al-shuffah.
Mengenai kredabilitas Abu Hurairah ini, khususnya keterkaitannya dengan periwayatan hadis, banyak yang memberikan penilaian terhadapnya baik yang positif maupun yang negative.
Abu Hurairah dikenal sebagai sosok sahabat yang sangat sederhana dalam kehidupan materi, wara’, dan takwa. Seluruh hidupnya diabdikan untuk selalu beribadah kepada Allah SWT. Ia pernah di angkat menjadi peggawai di Bahrain pada masa khalifah Umar ibn Khattab, akan tetapi ia kemudian diberhantikan karena kebiasaannya yang terlalu bnayak meriwayatkan hadis.kebiasaan ini bertentangan dengan kabijaksanaan Umar ibn Al-Khattab yang pada saat itu memperketat izin periwayatan hadis. Pada masa khalifah Ali bin Abi Thalib ia menolak untuk diangkat menjadi pegawai. Akan tetapi pada masa Muawiyah ia menerima menduduki jabatan sebagai penguasa di Madinah.
Hadis-hadis yang diterimanya, diriwayatkan oleh sekitar 800 orang dari kalangan Sahabat dan Tabi’in. Dari kalangan para Sahabat antara lain, Abdullah bin Abbas, Abdullah ibn Umar, Jabir ibn Abdillah, Anas ibn Malik. Sedang dari kalangan Tabi’in yaitu Sa’id ibn Al-Musayyab, Ibn Sirin, Ikrimah, Atha’, Mujahid, dan Al-Sya’bi. Menurut keterangan Ibnu Jauzy dalam Talqih Fuhumi Ahl Al- Atsar, bahwa hadis yang diriwayatkannya sebanyak 5.347 buah. Beliau adalah perawi dari kalangan Shahaby yang paling banyak meriwayatkan hadis.
Di antara silsilah sanad yang paling shahih untuk hadis-hadis yang diterima dari Abu Hurairah ialah melalui Ibn Syihab Al-Zuhri, dari Sa’id ibn Al-MUsayyab. Sedang silsilah sanad dari yang paling lemah ialah melalui al-Sirri ibn Sulaiman dari Daud ibn Yazid Al-Audi dari Yazid (ayah Al-Sirri).
Dalam beberapa riwayat disebutkan, bahwa ia juga termasuk salah soerang Sahabat yang memiliki catatan beberapa nama yang menulis hadis yang diterima antara lain Abu Shalih Al-Samani, Basyir ibn Huhaik, Abd Al-Aziz ibn Marwan, Muhammad ibn Sirin, dan Marwan ibn Hakam.

DAFTAR PUSTAKA
Munzier Suparta, Ilmu Hadis, Jakarta ; PT Raja Grafindo Persada, 2006

KAIDAH TAFSIR

1. Kaidah tafsir adalah kaidah-kaidah bahasa Arab yang harus diketahui oleh para mufassirun (para mufasir)

2. Kaidah-kaidah tafsir tersebut adalah :
Kaidah isim makrifat
Isim makrifat :
a. untuk menunjukkan satu, seperti pada surat Yasin :20.
b. Untuk menunjukkan macam, seperti satu macam dari dari kehidupan, yaitu
mencari tambahan untuk masa depan, sebab keinginan itu bukan terhadap masa
lalu atau masa sekarang.
c. Untuk menunjukkan datu dan macam sekaligus. Misalnya pada surat an-Nur :45.
maksudnya setiap macam dari segalam macam binatang itu bersal dari saru macam
air dan setiap individu binatang itu bersal dari satu nutfah.
d. untuk membesarkan (memuliakan keadaan).
e. untuk menunjukkan arti banyak.
f. untuk membesarkan dan menunjukkan banyak.
g. untuk meremehkan.
h. Untuk menyatakan sedikit.

3. Ta’rif dengan isim dhamir karena keadaan menghendaki demikian, baik yang dhamir mutakallim, mukhatab ataupun ghaib.

4. Ta’rif dengan alamiah berfungsi :
a. Menghadirkan pemilik nama itu dalam hari pendengar dengan cara menyebutkan
namanya secara khas.
b. memuliakan
c. menghinakan

5. Ta’rif dengan isim isyarah (kata tunjuk) berfungsi untuk :
a. menjelaskan bahwa segala sesuatu yang ditunjuk itu dekat.
b. menjelaskan keadaannya dengan menggunakan kata tunjuk jauh.
c. menghinakan dengan kata tunjuk dekat
d. memuliakan dengan memakai kata tunjuk jauh
e. mengingatkan bahwa sesuatu yang ditunjuk yang diberi beberapa syifat itu
sangat layak dengan sifat yang disebutkan sesudah isim isyarah tersebut.

6. Ta’rif dengan isim mausul berfungsi :
a. karena tidak disukainya menyebutkan nama sebenarnya untuk menutupinya atau
disebabkan hal lain.
b. Untuk menringkas kalimat
c. Untuk menunjukkan arti umum

7. T a’rif dengan alif lam berfungsi :
a. Untuk menunjukkan sesuatu yang sudah diketahui karena telah disebutkan (ma’hud
zikir)
b. Untuk menunjukkan sesuatu yang sudah diketahui bagi pendengar
c. Sesuatu yang sudah diketahui karena ia hadir pada saat itu
d. Untuk mencakup semua satuannya

8. Kaidah mufrad dan jamak
Sebagin lafaz dalam al-Qur’an dimufradkan untuk sesuatu makna tertentu dan di jamakkan untuk sesuatu isyarat khusus, lebih diutamakan jamak dari mufrad atau sebaliknya. Oleh karena itu dalam al-Qur’an sering dijumpai sebagian lfaz yang hanya dalam bneuk jamaknya dan ketika diperluas bentuk mufradnya maka yang digunakan adalah sinonimnya.

9. Kiadah Tanya jawab
Pada dasarnya jawaban itu harus sesuai dengan pertanyaan. Namun terkadang menyimpang dari apa yang dikehendaki pertanyaan. Hal ini untuk mengingatkan bahwa jawaban itulah yang seharusnya dinyatakan.

10. Kaidah dhamir
Dhamir mempunyai kaidah-kaidah tersendiri yang disimpulkan oleh para ahli bahasa dari al-Qur’anul Karim, sumber-sumber asli bahasa Arab, hadis nabawi dan dari perkataan orang-orang Arab yang kata-katanya dapat dijadikan pedoman, baik yang berupa puisi maupun prosa. Pada dasarnya, dhamir diletakkan untuk mempersingkat perkataan, ia berfungsi untuk menggantikan penyebutan kata-kata yang banyak dan menepati kata-kata itu secara sempurna, tanpa merubah makna yang dimaksud dan tanpa pengulangan. Setiap dhamir ghaib memerlukan tempat kembali atau penjelas, yaitu kata-kata yang digantikannya, dan menurut kaidah bahasa Arab tempat kembali itu harus mendahuluinya.

HAJIB MAHJUB DAN DZAWIL ARHAM

PEMBAHASAN

1. HAJIB MAJHUB

Dalam pembagian harta warisan, para ahli waris, baik ahli waris dzawil furud maupun ashabah, terkadang menerima bagia, terkadang pula tidak menerimnya (kecuali lima orang ahli waris yang selalu menerima bagian, yakni anal laki-laki, anak perempuan, bapak, ibu, suami atau istri).
Ahli waris yang tidak menerima bagian adalah ahli waris yang terkena ‘mawani’ul irtse, disebut mahrum atau mamnu’, atau ahli waris yang karena ada ahli waris lain ia tidak dapat menerima bagian, disebut mahjub (terkena hijab).
Ahli waris yang mempunyai kekuatan menutup ahli waris yang lain itu yang disebut hajib dan yang karena ada penutupan itu terkena akibatnya disebut mahjub.
Di dalam bahasa Arab, hijab artinya adalah mencegah, menutup dan menghalangi. Sedangkan orang yang menjadi penghalang disebut hajib, dan yang dicegah atau dihalangi disebut mahjub.
Hijab menurut para ulama mawaris artinya mencegah atau menghalangi orang-orang tertentu dari menerima harta warisan, baik semua maupun sebagian.
Penghalang warisan ada dua:
Hijab adalah menghalangnya seorang ahli waris yang mempunyai sebab-sebab pewarisan atau ahli wris lain yang mempunyai sebab-sebab pewarisan, apakah seluruh atau sebagian, baik itu dalam keadaan menerima bagian maupun dalam keadaan terhijab pula.
Penghalang warisan ada dua:
1. Hajb bi Washfin
Adalah ahli waris yang terhalang mendapat warisan karena adanya salah satu penghalang yang telah disinggung, yaitu penghambaan, pembunuhan dan perbedaan agama. Jenis ini mungkin terjadi pada semua ahli waris. Masing-masing ahli waris mungkin menjadi budak, pembunuh atau berbeda agama dengan si mayit. Keberadaan ahli waris yang terhalang dengan hajb washfin ini dianggap tidak ada. Oleh karena itu, mereka tidak dapat menghalangi ahli waris lain dan tidak juga membuat ahli waris mendapatkan ‘ashabah.

2. Hajb bi Syakhsin
Adalah sebagian ahli waris terhalang mendapatkan warisan karena adanya ahli waris lain.
Penghalang ini ada dua macam:
a) Hajb Nuqshaan
Hajb Nuqshan adalah berkurangnya warisan salah seorang ahli waris karena adanya orang lain. Hajb Nuqshaan ini terjadi pada lima orang.
 Suami terhalang dari separoh menjadi seperempat di waktu ada anak laki-laki.
 Istri terhalang dari seperempat menjadi seperdelapan menjadi di waktu ada anak laki-laki.
 Ibu terhalang dari sepertiga menjadi seperenam di waktu ada keturunan yang mewarisi.
 Anak perempuan dari anak laki-laki.
 Saudara perempuan seayah.
b) Hajb Hirmaan
Hajb Hirman adalah terhalangnya semua warisan bagi seseorang karena adanya orang lain, seperti terhalangnya warisan bagi saudara laki-laki di waktu adanya laki-laki. Hajb Hirman ini tidak termasuk ke dalam warisan dari enam orang pewaris, sekalipun mereka bisa terhalang oleh hajb nuqshaan. Mereka itu adalah:
a. Kedua orang tua yaitu ayah dan ibu.
b. Kedua orang anak, yaitu anak laki-laki dan anak perempaun
c. Dua orang suami istri.
Hijb hirman itu masuk ke dalam ahli waris selain dari keenam ahli waris tersebut di atas.
Hijb hirman itu ditegakan pada dua asas:
a. Bahwa setiap orang yang mempunyai hubungan dengan mayit karena ada orang lain itu, dia tidak mewarisi bila orang tersebut ada. Misalnya anak laki-laki dari anak laki-laki itu tidak mewarisi bersama dengan adanya anak laki-laki, kecuali anak laki-laki dari ibu, padahal mereka mempunyai hubungan dengan si mayit karena dia.
b. Orang yang lebih dekat itu didahulukan atas orang yang lebih jauh, maka anak laki-laki menghalangi anak laki-laki dari saudara laki-laki. Apabila mereka sama dalam derajat, maka ditarjih (diseleksi) dengan kekuatan hubungan kekerabatannya, seperti saudara laki-laki sekandung menghalangi saudara laki-laki seayah.
Perbedaan antara mahrum dan mahjub adalah bahwa mahrum sama sekali tidak berhak untuk mewarisi dan orang yang mahrum dari warisan itu tidak mempengaruhi orang lain, maka ia tidak menghalanginya sama sekali bahkan ia dianggap tidak ada. Sedangkan mahjub berhak mendapatkan warisan, tetapi ia terhalang oleh orang yang lebih utama darinya. Orang yang mahjub juga mempengaruhi orang lain, baik hajb nuqshan maupun hajb hirman.
Masalah hajib dan mahjub sebagai aturan kewarisan yang dibenarkan menurut syariat Islam karena diperoleh kajian dari ayat al-Qur’an dan juga dari sabda Nabi saw. Allah berfirman:

….. dan saudaranya yang laki-laki mempusakai (seluruh harta saudara perempuan), jika ia tidak mempunyai anak. (Q.S. An-Nisa:176)

Ayat ini dapat dipahami dengan ungkapan kalimat sebaliknya, tapi dalam maksud yang masih utuh demikian bunyinya: Sebagai ahli waris, saudara lelaki itu tidak mendapat warisan bagian selagi masih ada anak. Dengan demikian, kedudukan saudara adalah mahjub sedang kedudukan anak adalah hajib. Dalam firman lain kata bukan “lam yakun laha walad” tetapi dengan kata “kalalah” demikian bunyinya:

“ Jika seseorang mati, baik laki-laki maupun perempuan yang tidak meninggalkan ayah dan tidak meninggalkan anak, tetapi mempunyai seorang saudara laki-laki (seibu saja) atau seorang saudara perempuan (seibu saja), Maka bagi masing-masing dari kedua jenis saudara itu seperenam harta”Q.S. An-Nisaa:12)

Ayat ini juga dipahami bisa juga dengan ungkapan lain yang masih utuh maksudnya demikian: Saudara lelaki atau perempuan yang seibu mendapat seperenam kalau tidak ada ahli waris yang menutupnya yaitu ayah dan anak. Dengan demikian menurut ayat ini saudara seibu itu mahjub oleh hajib yang terdiri dari ayah dan anak.
Kedua ayat tersebut di atas mengatur tentang penutupan hak kewarisan yang penuh, sehingga saudara memang tertutup sepenuhnya sampai tidak mendapat sama sekali dan oleh karenanya untuk aturan ini digunakan istilah hajbun-nuqsan, menutup tapi hanya sebagian misalnya dari setengah menjadi seperempat.

Ayat-ayat berikut ini adalah yang mengatur tentang hajbun-nuqsan. Allah berfirman:

jika orang yang meninggal tidak mempunyai anak dan ia diwarisi oleh ibu-bapanya (saja), Maka ibunya mendapat sepertiga…(Q.S.An-nisa:11).

Diantara isi kandungan ayat ini menetapkan ibu mendapat sepertiga bila tidak ada anak,tetapi di dalam bunyi sebelumnya ibu mendapat seperenam dikarenakan ada anak. Dengan demikian maka dapat dikatakan bahwa ibu sebagai ahli waris mendapat hijab-nuqsan karena adanya anak yaitu dari sepertiga menjadi hanya seperenam.
Firman Allah tentang hak waris suami:

Dan bagimu (suami-suami) seperdua dari harta yang ditinggalkan oleh isteri-isterimu, jika mereka tidak mempunyai anak. jika Isteri-isterimu itu mempunyai anak, Maka kamu mendapat seperempat dari harta yang ditinggalkannya … (Q.S. An-Nisa:12).

Kandungan ayat ini juga menunjukkan adanya aturan hijab nuqsan yaitu buat suami seperdua menjadi hanya seperempat dikarenakan adanya anak. Bunyi ayat selanjutnya juga mengandung aturan tersebut tapi untuk istri dari seperempat menjadi hanya seperdelapan dikarenakanan anak. Adapun firman yang berikut ini malah menunjukkan bahwa yang menjadi hajib-nuqsan tidak hanya anak namun bias juga saudara.

jika yang meninggal itu mempunyai beberapa saudara, Maka ibunya mendapat seperenam. (Q.S An-Nisa:11).

Dengan bunyi ayat inimenunjukkan bahwa ibu sebagai ahli waris kecuali mendapat hijab-nuqsan karena adanya anak juga karena adanya dua orang saudara atau lebih.
Dari sejumlah firma Allah yang telah dikutip di atas terdapat sekian ketentuan bahwa hak menjadi hajib baik yang hirman maupun yang hanya nuqsan, kemudian ada ketentuan pula ayah yang menjadi hajib hirman dan menyusul ketentuan bahwa saudara pun bisa menjadi hajib walaupun dalam menutup ibu yang tersebut dalam ayat sebagai hajib nuqsan saja.

2. Dzawil Arham

Dzawil Arham berasal dari bahasa Arab, dzawu dan al-arham. Semula istilah dzawil arham mempunyai arti yang luas, yakni mencakup seluruh keluarga yang mempunyai hubungan kerabat dengan orang yang meninggal.
Arti kata dzawil arham tersebut diambil dari pengertian lafaz al-arham pada firman Allah SWT Al-Anfal 75 :

Orang-orang yang mempunyai pertalian kerabat, sebagian adalah lebih berhak daripada sebagian mereka (orang lain di dalam ketetapan Allah. (Q.S. al-Anfal 75)

Arti kata dzul arhaam juga bisa berarti “orang yang mempunyai hubungan darah dengan pewaris melalui pihak wanita saja”.
Kata Al-Arham sendiri merupakan bentuk jamak dari kata Rahmun, yang menurut bahasa artinya tempat terbentuknya janin dalam perut ibunya. Pengertian tersebut kemudian diperluas sebagai sebutan untuk setiap orang yang dihubungkan nasabnya kepada seseorang akibat adanya hubungan darah.
Dzawil-arham adalah golongan yang tidak termasuk golongan ashcababul-furudh dan ashabah. Kerabat golongan ini baru mewarisi jika tidak ada kerabat yang termasuk kedua golongan ini. Di kalangan ulama Ahlu al-sunnah kata dzaul arham ini dikhususkan penggunaannya dalam kewarisan pada orang-orang yang mempunyai hubungan keturunan yang tidak disebutkan Allah furudhnya dalam al-Qur’an dan tidak pula kelompok orang-orang yang berhak atas sisa harta sebagaimana yang dijelaskan Nabi dengan sunnahnya.
Ahli waris yang berhak atas sisa yang dinamakan ashabah itu dinyatakan oleh Nabi yaitu laki-laki yang dihubungkan kepada pewaris melalui jalur laki-laki. Kalau dzaul arham itu adalah orang yang berhubungan keturunan selain yang disebutkan dalam al-Qur’an dan selain dari laki-laki melaui garis laki-laki, tentunya ia adalah perempuan, baik ia laki-laki atau perempuan. Dengan demikian secara sederhana dikatakan ahli waris ashabah adalah laki-laki dan dzaul arham adalah perempuan (atau memalui perempuan).
Orang-orang yang menolak dan menerima dzawil arham :
Zaid bib Tsabit menolak adanya hak kewarisan golongan zdawil arham. Menurut beliau, apabila tidak ada dzawil furud dan asabah bahkan apabila ada kelebihan dari dzawil furud, warisan itu diserahkan kepada bait al-mal, bukan kepada dzawil al-arham. Pendapat ini diikuti oleh Imam Malik, Imam ady-Syafi’I dan Ibn Hazm.
Sahabat-sahabat lain, yaitu Abu Bakr, ‘Umar, ‘Usman, ‘Ali, Ibn Mas’ud, Mu’az Bin Jabal dan Ibn Abbas (dalam satu riwayat) menetapkan bahwa zawi al-arham berhak mewarisi apabila ahli waris asabah dan zawi al-furud an-nasabiyah sudah tidak ada. Pendapat ini diikuti oleh Imam Abu Hanifah, Abu Yusuf, Muhammad asy-Syaibini, Imam Ahmad dan ulama-ulama muta’akhirin dalam mahzab Syafi’iyah dan Malikiyah.
a. Golongan-golongan dzawil arham
Dzawil Arham terdiri dari empat golongan, sebagiannya didahulukan atas sebahagiaan yang lain di dalam pewarisan, menurut tertib berikut:
1. Golongan yang pertama, yaitu, cucu laki-laki dan perempuan dari anak perempuan dan seterusnya ke bawah, anak laki-laki dari anak perempuan dan dari anak laki-laki dan seterunaya (cicit).
2. Golongan yang kedua, yakni kakek dan nenek yang tidak shahih ke atas.
3. Golongan yang ketiga, yaitu anak dari saudara perempuan kandung atau sebapak walaupun derajat mereka telah jauh, baik anak laki-laki maupun anak perempuan (keponakan), anak-anak perempuan dari saudara laki-laki kandung sebapak atau seibu, anak perempuan dari anak lelaki saudara lelaki kandung, sebapk atau seibu, dan anak lelaki dari saudara laki-laki seibu dan cucu dari saudara laki-laki seibu.
4. Golongan keempat, yakni paman dari si mayit, bibi (dari ayah), paman dan bibi dari ibu, baik sekandung, seayah maupun seibu. Anak perempuan dari paman, basic kandung maupun seayah saja. Paman dari ayah si mayit dan bibinya yang seibu. Paman dan bibi dari ibu, baik kandung, seayah atau seibu. Paman dari kakek yang seibu, paman dari nenek dan bibi-bibi dari keduanya.

b. Syarat-Syarat Pusaka Dzawil Arham
Jumhur fuqaha yang menyetujui kewarisan dzawil arham menetapkasn dua syarat agar mereka dapat menerima harta peninggalan kekerabatannya, yaitu beriku ini:
1) Tidak ada ashabul furud atau ashabah
Apabila masih terdapat ashabul furud dan ashabah walaupun hanya seorang, dzawil arham tidak menerima bagian waris sama sekali. Hal ini karena apabila bagian ashabul furud tidak sampasi habis, maka harus dikembalikan (di-radd) kepada ashabul furud kembali sampai tidak ada sisa harta peninggalan yang bakal diterimanya. Radd kepada ashabul furud harus didahulukan dari pada mewariskan kepada dzawil arham. Apabila kalau fard ashabul furud dapat menghabiskan semua harta peninggalan, atau jumlah saham mereka lebih besar daripada asal masalah hingga sal masalah itu perlu di-aul-kan sehingga tidak ada sisa lebih.
Begitu juga, mereka tidak dapat menerima warisan sama sekali, bila masih ada ashabah baik sendirian maupun bersama-sama dengan ashabul furud sebab sisa lebih itu akan diterima semuanya oleh ashabah sebagai pewaris semua sisa.
2) Bersama salah seorang suami istri
Apabila ashabul furud yang mewarisi bersama-sama dengan dzawil arham itu salah seorang suami istri, salah satu dari suami istri itu mengambil bagian (farad)-nya lebih dahulu kemudian sisanya baru diberikan kepada mereka, tidak boleh di-radd-kan kepada salah seorang suami istri tersebut. Ini karena me-radd-kan sisa lebih kepada salah seorang suami istri harus dikemudiankan daripada menerimakan kepada dzawil arham. Ketiadaan salah seorang suami istri menerima radd tetap berlaku sepanjang masih ada ashabul furud selain dia sendiri atau dzawil arham.
c. Cara Dzawil Arham menerima waris
Para fuqaha yang berpendapat bahwa dzawil arham menerima bagian waris apabila mereka lebih dari seorang yang berlainan rumpun mereka atau bersamaan rumpun, tetapi berbeda kelompok, kekuatan kekerabatan mereka, maka para fuqaha berbeda pendapat tentang cara membagikan harta kepada mereka. Dalam hal ini terdapat tiga golongan.
1. Mazhab Ahlul Qarabah
Adalah asas dalam membagikan harta peninggalan kepada dzawil arham dengan mengutamakan dari keluarga yang terdekat terlebih dahulu dari si mayit.
2. Mazhab Ahlul Tanzil
Adalah asas dalam membagikan harta peninggalan kepada dzawil arham dengan mengutamakan dari garis keturunan secara turun temurun.
3. Mazhab Ahlur Rahim
Adalah suatu asas dalam membagikan harta peninggalan kepada dzawil arham atas dasar pengertian kerabat secara umum yang dapat ditetapkan dan mencakup kepada seluruh dzawil arham tanpa membedakan satu dengan yang lainnya dan tidak mengutamakan salah satu rumpun dari rumpun lainnya karena dekatnya atau kuatnya kekerabatan mereka.



KESIMPULAN
Hijab adalah menghalangnya seorang ahli waris yang mempunyai sebab-sebab pewarisan atau ahli wris lain yang mempunyai sebab-sebab pewarisan, apakah seluruh atau sebagian, baik itu dalam keadaan menerima bagian maupun dalam keadaan terhijab pula.
Penghalang ada dua macam:
a) Hajb Nuqshaan
b) Hajb Hirmaan
Dzawil-arham adalah golongan yang tidak termasuk golongan ashcababul-furudh dan ashabah. Kerabat golongan ini baru mewarisi jika tidak ada kerabat yang termasuk kedua golongan ini.
d. Golongan-golongan dzawil arham
1. Golongan yang pertama, yaitu, cucu laki-laki dan perempuan dari anak perempuan dan seterusnya ke bawah, anak laki-laki dari anak perempuan dan dari anak laki-laki dan seterunaya (cicit).
2. Golongan yang kedua, yakni kakek dan nenek yang tidak shahih ke atas.
3. Golongan yang ketiga, yaitu anak dari saudara perempuan kandung atau sebapak walaupun derajat mereka telah jauh, baik anak laki-laki maupun anak perempuan (keponakan), anak-anak perempuan dari saudara laki-laki kandung sebapak atau seibu, anak perempuan dari anak lelaki saudara lelaki kandung, sebapk atau seibu, dan anak lelaki dari saudara laki-laki seibu dan cucu dari saudara laki-laki seibu.
4. Golongan keempat, yakni paman dari si mayit, bibi (dari ayah), paman dan bibi dari ibu, baik sekandung, seayah maupun seibu. Anak perempuan dari paman, basic kandung maupun seayah saja. Paman dari ayah si mayit dan bibinya
yang seibu. Paman dan bibi dari ibu, baik kandung, seayah atau seibu. Paman dari kakek yang seibu, paman dari nenek dan bibi-bibi dari keduanya.










DAFTAR PUSTAKA

Abu Bakar, Al Yasa, Ahli Waris Sepertalian Darah : Kajian Perbandingan terhadap Penalaran Hazairin dan Penalaran Fikih Mazhab, Jakarta : INIS, 1998

As-Sidieqy, Hasbi, Fiqh Mawaris, Jakarta: Bulan Bintang, 1973.

Fathurahman, Ilmu Mawaris, Bandung: PT. Al-Ma’arif, 1987.

Kuzari, Achmad, Sistem Asabah: Dasar Hak Milik Atas Harta Tinggalan, Jakarta: PT.Rajagrafindo Persada, 1996.

Muhammad bin Shalih al-Utsaimin, Panduan Praktis Hukum Waris’ , Bogor: Pustaka Ibnu Katsir, 2006

Sabiq, Sayyid ,Fiqh Sunnah, Bandung: PT. Al-Ma’arif, 1987.

Salman, Otje dan Mustofa Haffas, Hukum Waris Islam, Bandung, PT Refika Aditama, 2006.

Suparman, Eman, Hukum Waris Indonesia, Bandung, PT Refika Aditama, 2007.

Syarifuddin, Amir, Hukum Kewarisan Islam, Jakarta : Prenada Media, 2004.

Usman, Suparman dan Yusuf Somawinata, Fikih Mawaris Hukum Kewarisan Islam, Jakarta : Gaya Media, 1997.


.

ILMU MA'ANI AL-HADIS

I PENDAHULUAN
Menurut petunjuk al-Qur’an, Nabi Muhammad diutus oleh Allah untuk semua umat manusia sebagai rahmat bagi seluruh alam. Itu berarti, kehadiran Nabi Muhammad membawa kebajikan dan rahmat bagi seluruh umat manusia dalam segala waktu dan tempat. Dalam sejarah, Nabi Muhammad berperan dalam banyak fungsi, antara lain sebagai Rosulullah, kepala Negara, pemimpin masyarakat, panglima perang, hakim, dan pribadi. Sehingga, hadis yang merupakan sesuatu yang berasal dari mengandung petunjuk pemahaman dan penerapannya perlu dikaitkan juga dengan peran Nabi tatkala hadis itu terjadi.
Disamping itu, terjadinya hadis Nabi ada yang bersifat umum dan khusus. Segi-segi yang berkaitan erat dengan diri Nabi dan suasan yang melatarbelakangi ataupun menyebabkan terjadinya hadis tersebut mempunyai kedudukan penting dalam pemahaman suatu hadis. Mungkin saja hadis tersebut dipahami secara tersurat maupun tersirat.
Untuk pemahaman terhadap sejumlah hadis, pada kajian ini melalui tela’ah terhadap bagian dari ma’ani al-hadis, yaitu berupa memahami hadis dari segi matannya. Dan diharapkan muncul bukti-bukti yang jelas bahwa dalam berbagai hadis nabi terkandung ajaran Islam yang bersifat universal, temporal, atau lokal.

II PEMBAHASAN
A. Pengertian Ilmu Ma’ani Al-Hadis
Ilmu Ma’ani al-Hadis adalah ilmu yang berusaha memahami matan hadis secara tepat dengan mempertimbangkan factor-faktor yang berkaitan dengannya atau indikasi yang melingkupinya .

B. Latar Belakang Terjadinya Ilmu Ma’ani Al-Hadis
Sebagian hadis Nabi dikemukakan oleh Nabi tanpa didahulukan oleh sebab tertentu dan sebagian yang lain didahulukan oleh sebab tertentu. Bentuk sebab tertentu yang menjadi latar belakang terjadinya hadis itu dapat berupa peristiwa secara khusus dan dapat berupa suasana atau kedaan yang bersifat umum.
A. Hadis yang tidak mempunyai sebab secara khusus
 Keimanan pezina, pencuri, dan peminum khamar
Hadis Nabi yang artinya :
Pezina tidak akan berzina tatkala ia berzina dalam keadaaan beriman ; Pencuri tidak akan mencuri tatkala dia mencuri dalam keadaan beriman ; dan peminum khamar tidak akan minum khamar tatkala dia minum dalam keadaan beriman… (Hadis riwayat al- Bukhari, Muslim, dan lain-lain, dari Abu Hurairah)

Sabda tersebut dikemukakan oleh Nabi Muhammad tanpa didahului oleh sabda tertentu. Secara tekstual, hadis tersebut menjelaskan bahwa orang yang sedang berzina, mencuri, dan meminum khamar tidak dalam keadaan beriman. Logikanya, orang tersebut bukan lagi orang mukmin.
Al-Qur’an memberi petunjuk bahwa iman itu dapat bertambah; yakni tatkala orang yang beriman sedang dibacakan padanya ayat-ayat al-Qur’an. Kalau begitu, iman sesungguhnya dapat juga berkurang, yakni tatkala perbuatan maksiat dikerjakan. Maksud istilah man bertambah dan berkurang adalah kualitas dan intensitasnya.
Dengan dasar pengertian seperti ini, maka pemahaman secara kontekstual terhadap hadis yang dikutip terakhir di atas adalah bahwa kualitas dan intensitas iman orang yang sedang berziman, mencuri, minum khamar, dan perbuatan maksiat lainnya adalah sangat rendah, bahkan sedang berada dalam titik kulminasi paling bawah. Kandungan petunjun nabi hadis tersebut bersifat universal.
 Kewajiban menunaikan zakat al-Fithr
Dalam riwayat hadis Nabi yang artinya :
(Hadis riwayat) dari Ibnu ‘Umar r.a., dia berkata Rosulullah saw. telah mewajibkan untuk mengeluarkan zakat al-figt (sebanyak) satu sha’ kurma atau gandum atas hamba sahaya, orang merdeka, laki-laki dan perempuan, anak-anak, dan orang dewasa yang beragama Islam. Beliau menyuruh agar zakat al-fitr ditunaikan sebelum orang-orang pergi melaksanakan salat (Idulfitri). (hadis riwayat al-Bukhari, Muslim, dan lain-lain)
Hadis di atas dikemukakan oleh Nabi tanpa didahului oleh sebab secara khusus. Hadis Nbai tentang kewajiban zakat al-fitr tersebut merupakan bayan tasyri’, yakni penjelasan hadis yang dalam al-Qur’an ketentuan itu tidak dikemukakan.
Yang dimaksud pemahaman secara kontekstual terhadap hadis tersebut hanyalah yang berhubungan dengan kewajiban membayar zakat al-fithr. Kewajiban itu bersifat universal.
Adapun yang berhubungan dengan material yang digunakan untuk membayar zakat al-fithr harus diperlakukan pemahaman secara kontektual. Pernyataan hadis yang menyebut kurma dan gandum tersebut harus dipahami sebagai bersifat lokal. Untuk masyarakat yang makanan pokok mereka beras atau sagu, maka zakat al-fithr dibayar dengan jenis makanan pokok tersebut.
 Rukyah dan Hisab
Hadis Nabi menyatakan :

Kami ummat yang ummi, tidak pandai menulis dan tidak pandai menghitung (melakukan hisab). Bulan itu begini dan begini (yakni adakalanya berusia dua puluh sembilan dan adakalanya berusia tiga puluh hari).
(Hadis riwayat al-Bukhari, Muslim, dan lain-lain, dari Ibn ‘Umar)
Secara tekstual, hadis di atas menjelaskan bahwa umat Nabi Muhammad, yakni umat Islam, dalam keadaan buta huruf; Mereka selain (pada umumnya) tidak pandai melakukan hisab awal bulan Qamariyah (perhitungan berdasarkan peredaran bulan). Pernyataan tersebut relevan untuk keadaan umat Islam pada zaman Nabi Muhammad.
Umtuk zaman sesudah Nabi wafat, termasuk zaman sekarang ini, umat Islam telah banyak yang cakap membaca dan menulis, serta melakukan hisab pada awal bulan. Bahkan, dari kalangan umat Islam zaman sekarang telah banyak yang pandai ,memanfaatlan teknologi yang sangat canggih untuk mengetahui saar berlangsungnya awal bulan Qamariyah. Dengan demikian, hadis di atas lebih tepat bila dipahami secara kontekstual sebab apa yang diakatakan oleh Nabi dalam hadis beliau itu bersifat temporal.
 Berpuasa karena melihat bulan
Nabi menyatakan :
Berpuasalah kamu sekalian karena telah melihat bulan (tanggal satu Ramadhan); dan berhari rayalah setelah kamu sekalian melihat bulan (tanggal satu syawal). Apabila (cuaca di langit menjadikan bulan) terlindung dari (pemandangan) kamu sekalian, maka sempurnakanlah (bilangan hari untuk) bulan Sya’ban (menjadi) tiga puluh hari.
(Hadis riwayat al-Bukhari, Muslim, dan lain-lain, dari Abu Hurairah)
Hadis tersebut berkaitan erat dengan hadis yang dikutip sebelumnya. Jadi, perintah Nabi untuk memulai puasa dan berhari raya atas dasar melihat bulan pada tanggal satu Qamariyah dengan penglihatan mata kepala (rukyah al-hilal bi ain) adalah pertimbangan umat Islam pada waktu itu. Mereka belum mampu melaksanakan kegiatan hisab pada awal bulan Qamariyah dan belum mungkin memanfaatkan alat-alat yang berteknologi canggih karena alat-alat yang demukian belum dikenal. Kalau umat Islam telah mampu, maka penyaksian tanggal satu Qamariayah boleh dengan menempuh kegiatan hisab yang sangat teliti dan menggunakan alat yang lebih canggih.
B. Hadis yang mempunyai sebab secara khusus
 Yang tidak menyayangi tidak disayangi
Hadis Nabi menyatakan:
Barang siapa yang tidak menyayangi, mak tidak disayangi.
Hadis tersebut termasuk jawami’ al-kalim. Hadis itu didahului oleh suatu peristiwa. Pada suatu ketika, Nabi mencium cucu beliau yang bernama Hasan bin ‘Ali. Pada saat itu, salah seorang sahabat Nabi yang bernama al-Aqra’ bin Habis al-Tamimi duduk di samping Nabi. Melihat Nabi mencium cucu beliau itu, al-Aqra’ berkata:”Ya Rosulullah, saya ini mempunyai anak sepuluh orang, tetapi tidak ada seorang pun yang pernah saya cium.” Sambil memperhatikan al-Aqra’, Nabi bersabda sebagaimana telah dikutip di atas.
Secara tekstual, hadis Nabi tersebut mengandung petunjuk yang bersifat universal. Ketentuan yang dikemukakan oleh Nabi itu berlaku tanoa batasan waktu dan tempat.
C. Hadis yang berkaitan dengan keadaan yang sedang terjadi (berkembang)
Adakalanya suatu hadis berkaitan erat dengan keadaan yang sedang terjadi. Keadaan itu tidak temuat dalam matan hadis yang bersangkutan. Berikut merupakan contoh hadis:
 Mematikan Lampu tatkala hendak tidur
Hadis Nabi menyatakan :
Matikanlah lampu-lampu pada waktu malam ketika kamu hendak tidur; Kuncilah pintu-pintu; Ikatlah tempat-tempat air minum (yang terbuat dari kulit); Dan tutupilah makanan dan minuman.
Pada zama Nabi, alat penerang waktu malam adalah lampu minyak. Apabila lampu tidak dimatikan tatkala hendak tidur, maka mungkin akan terjadi kebakaran. Penyebabnya mungkin karena lampu minyak itu disentuh oleh binatang, misalnya tikus, atau karena hembusan angina. Untuk keamanan bersama dan untuk pengehamatan, maka penghuni rumah perlu mematikan lampu-lampu terlebih dahulu sebelum tidur.
Pada zaman sekarang, banyak rumah yang menggunakan lampu listrik. Dengan demikian, keamanan lebih terjamin walaupun lampu dinyalakan tatkala penghuni rumah sedanga tidur. Dengan fasilitas lampu seperti itu, maka tidak ada salahnya sekiranya lampu tetap menyala walaupun penghuni telah tidur.
Dengan pertimbangan tersebut, maka hadis di atas harus dipahami secara kontekstual. Ajaran yang terkandung di dalam hadis tersebut bersifat temporal.
C. Beberapa Contoh Hadis di dalam Telaah Ma’ani Al-Hadis
a. Jawami al-Kalim
1. Kemampuan Nabi mengemukakan Jawami’ al-Kalim (ungkapan yang singkat namun padat).
Nabi bersabda :
Artinya : Perang itu siasat
Pemahaman terhadap petunjuk hadis tersebut sejalan dengan teksnya, yakni bahwa setiap perang pastilah memakai siasat perang. Ketentuan yang demikian itu berlaku secara universal sebab tidak terikat oleh tempat dan waktu tertentu. Perang yang dilakukan dengan cara dan apa saja pastilah memerlukan siasat. Perang tanpa siasat sama dengan menyatakan takluk kepada lawan tanpa syarat.
b. Bahasa Tamsil (Berupa perumpamaan)
Hadis Nabi menyatakan :
Orang yang beriman terhadap orang yang beriman lainnya ibarat bangunan; bagian yang satu memperkokoh terhadap bagian yang lainnya.
Hadis tersbut mengemukakan tamsil bagi orang-orang yang beriman sebagai bangunan. Tamsil tersbut sanga logis dan berlaku tanpa terikat oleh waktu dan tempat sebab setiap bangunan pastilah bagian-bagiannya berfungsi memperkokoh bagian-bagian lainnya. Orang-orang yang beriman begitu pula seharusnya, yakni yang satu memperkuat yang lainnya dan tidak berusaha untuk saling menjatuhkan.
c. Ramzi (ungkapan simbolik)
Hadis Nabi berbunyi :
Tuhan kita (Allah) Tabaraka wa Ta’ala setiap malam turun ke langit dunia pada saat malam di pertiga akhir; (Allah) berfirman, “Barang siapa yang berdia kepada-Ku, nisacata Aku kabulkan doanya itu; barang siapa yang meminta (sesuatu) kepada-Ku niscaya Aku memberinya; (dan) barang siapa mminta ampun kepada-Ku, niscaya Aku mengampuninya”.
Ulama yang memahami petunjuk hadis secara tekstual berpendapat bahwa matan hadis tersebut berkualiat lemah (dha’if), bahkan palsu sebab Allah disamakan dengan makhluk. Padahal, matan hadis tersebut berkualitas sahih bila dipahami secara kontekstual.
Maksud matan hadis yang menyebutkan bahwa Allah turun ke langit dunia adalah limpahan rahmat-Nya. Malam pertigaan akhir dipilih karena saat demikian itu adalah saat yang mudah untuk memperoleh suasana khusyuk dalam berdo’a dan beribadah salat. Dalam keadaan yang penuh kekhusyukan itu, maka kehadiran limpahan rahmat Allah mudah diperoleh.
Dengan pemahaman tersebut tidaklah berarti bahwa rahmat Allah tidak turun di luar waktu malam pertiha akhir. Nabi menyebut waktu tertentu itu dengan maksud untuk menunjuk kekhusyusannya.
d. Dialog (bahasa percakapan)
Dalam sebuah matan hadis dikemukakan :

Ada seorang laki-laki bertanya kepada Nabi : “Amalan Islam manakah yang lebih baik:”Nabi menjawab:”Kamu memberi makan orang yang menghajatkannya; dan kamu menyebarkan salam kepada orang orang yang kamu dan orang yang tidak kamu kenal.”
Memberi makan orang yang menghajatkannya dan menyebarkan salam memang salah satu ajaran Islam yang bersifat universal. Namun dalam hal sebagai “amalan yang lebih baik”, maka hadis tersebut dapat berkedudukan sebagai temporal sebab ada beberapa matan hadis lainnya yang memberi petunjuk tentang amalan yang lebih baik, namun jawaban Nabi berbeda-beda sesuai dengan kondisi yang dihadapi oleh orang tersebut. Seperti halnya pada hadis Nabi yang lain.
Bahwa Rosulullah ditanya (oleh seseorang):”Amal apakah yang paling utama?”Beliau menjawab:”Beriman kepada Allah dan Rasul-Nya.” (Beliau ditanya lagi :”Kemudian apa lagi?”Beliau menjawab :”Jihad di jalan Allah.”(Beliau ditanya lagi:”Kemudian apa lagi?”Beliau menjawab:”Haji mabrur.”
e. Qiyas (ungkapan analogi)
Ada seorang laki-laki dari Bani Fazarah mengadu kepada Nabi. Dia berkata : “Sesungguhnya isteri saya telah melahirkan seorang anak laki-laki, kulitnya hitam. Saya menyangkalnya (karena kulitnya berbeda sekali dengan kulit saya). “Lalu terjadilah dialog antara Nabi dan orang tersbut sebagai berikut :
Beliau (Nabi) bertanya : “Apakah kamu mempunyai unta?” Orang itu menjawab :”Ya.” Beliau bertanya lagi :”Apa warna untamu itu?”Dia menjawab:”Merah.” Beliau bertanya lagi:”Apakah (mungkin untamu itu) dari (keturunan unta) yang berkulit abu-abu?”Dia menjawab:”Sesungguhnya (dapat saja) unta itu berasal dari (unta yang) berkulit abu-abu.”Beliau bersabda:”Maka sesungguhnya saya menduga juga (bahwa unta merah milikmu itu) datang (berasal) darinya (unta yang berkulit abu-abu tersebut). “Orang itu berkata:”Ya Rosulullah, keturunan (unta merahku itu) berasal darinya (unta yang berkulit abu-abu tersebut).”Nabi lalu manyatakan:”(Masalah anakmu yang berkulit hitam itu) semoga juga berasal dari keturunan (nenel moyangnya); dan (nenek moyang anakmu yang kulitnya hitam) tidaklah menurunkan keturunan yang menghilangkan (tanda-tanda keturunan) darinya.
Secara tekstual, mata hadis dalam bentuk ungkapan analogi tersebut menyatakan bahwa ada kesamaan antara ras yang diturunkan oleh manusia dan unta. Terjadinya perbedaan warna kulit antara anak dan ayah dapat disebabkan oleh warna kulit yang berasal dari nenek moyang bagi anak tersebut. Ketentuan yang demikian bersifat universal.

D. Perbedaan Antara Ilmu Ma’ani Al-Hadis dan Periwayatan Secara Makna dan Lafal
Ilmu Ma’ani al-Hadis adalah ilmu yang berusaha memahami matan hadis secara tepat dengan mempertimbangkan factor-faktor yang berkaitan dengannya atau indikasi yang melingkupinya . Sedangkan periwayatan secara makna, menurut para ahli hadis, adalah hadis yang redaksinya berbeda tetapi maknanya sama.

E. Pengertian Hadis Targhib, Tarhib, Irsyad, dan Fadhail Al-Amal
HadIs Targhib adalah hadis yang isinya mengenai janji-janji yang menggemarkan.
Hadis Tarhib adalah hadis yang isinya mengenai ancaman yang menakutkan
Hadis Irsyad adalah hadis yang isinya mengenai petunjuk
Hadis Fadail al-Amal adalah hadis yang berisi tentang keutamaan amal.

Thabaqat

1.Thabaqat adalah angkatan, kalangan, kelompok

2.Mufassir dari kalangan sahabat : Abu Bakar, Umat bin Khathab, Usman bin Affan, Ali bin Abi Thalib, Ibnu Abbas, Ibnu Masud, Ubai bin Ka’ab, Zaid bin Tsabit, Abu Musa Al-Asya’ri dam Abdullah bin Zuber ra. Dari kalangan khulafaur Rashidin, yang terbanyak diambil riwayatnya mengenai tafsir, ialah Ali bin Abi Thalib ra, sedangkan dari khalifah yang tiga sebelumnya hanya sedikit. Hal itu disebabkan mereka lebih dahulu wafat, sebelum banyak bertemu dengan masalah-masalah yang memerlukan penafsiran dan penjelasan ayat-ayat al-Qur’an.

3.Dari kalangan sahabat yaitu Ibnu Abbas. Beliau diberi gelar oleh Rosulullah sebagai “Tarjumanul Qur’an” yakni, orang yang pandai dalam memahami maksud-maksud al-Qur’an.

4.Dari kalangan tabi’an terbagi mejadi tiga thabaqat : thabaqat ulama Mekah, Madinah dan Iraq.

5.Thabaqat ulama Mekkah : Mujahid atha ’ibn Abi Rabah, Ikrimah Maula Ibnu Abbas, Sa’id bin Juber dan Thawus.

6.Thabaqat ulama Madinah : Za’id bin Aslant, Abdul Aliyah.

7.Thabaqat ulama Iraq : Masruq bin Al-Ajda, Qatadah bin Di’amah, Abu Sa’id al-Hasan al-Bisry, Atha’ bin Abu Muslim al-Khurasany, Murrah al-Handani al-Kufy.

8.Mufassir dari kalangan Tabi’in : Sufyan bin Uyainah, Waqi’ bin Abi Iyas, Ishaq bin ra Waih, ’Abd Bin Humaid, Rauh bin Ubadah, Abu Bakar bin Abi Syaibah.

9.Syarat-syarat mufassir
a.Memiliki etikat yang benar dan mematuhi segala ajaran agama
b.Mempunyai tujuan yang benar untuk kemaslahatan
c.Seorang penafsir seyogyanya hanya berpegang kepada dalil naql dari nabi,
dari sahabat dan orang-orang yang hidup sezaman dengan mereka, serta
menghindari segala sesuatu yang tergolong bid’ah
d.Seorang mufassir harus menguasai ilmu-ilmu yang sudah semestinya yang
diperlukan oleh penafsir
e.Mempunyai akidah yang benar
f.Bersih dari hawa nafsu
g.Menafsirkan terlebih dahulu dari al-Qur’an ke al-Qu’ran, karena sesuatu yang
masih global pada satu tempat telah diperinci di tempat lain, dan sesuatu yang
dikemukakan secara ringkas di suatu tempat, telah diuraikan di tempat lain.
h.Mencari penafsiran dari sunnah, karena sunnah berfungsi sebagai pensyarah
Qur’an dan penjelas al-Qur’an.
i.Apabila tidak didapatkan penafsiran dari sunnah, hendaklah meninjau dari
pendapat para sahabat, karena mereka lebih mengetahui tentang tafsir al-Qur’an
j.Apabila tidak ditemukan penafsiran dari al’Qur’an, hadis dan para sahabat,
maka sebagian besar ulama hendaklah mencari pendapat dari tabi’in.

10. Kode etik mufassir
a. niat yang baik dan tujuan yang murni
b. karakter yang baik
c. keteladanan
d. kebenaran dan keakuratan dalam periwayatan
e. kerendahan hati dan kelembutan
f. perasaan hormat
g. terus terang dalam kebenaran
h. tingkah laku yang baik
i. katabahan dan keikhlasan

Metode dan Corak Tafsir Al-Qur'an

1) Secara lughawi, kata al-ijmali berarti ringkasan, ikhtisar, global dan penjumlahan. Tafsir al-ijmali ialah penafsiran al-Qur’an yang dilakukan dengan cara mengemukakan isi kandungan al-Qur’an melalui pembahasan yang bersifat umum (global), tanpa uraian apalagi pembahasan yang panjang dan luas, juga tidak dilakukan secara rinci.Contoh tafsir ijmali : Tafsir al-Jalalayn karya Jalal al-Din al-Suyuthi, Tafsir Al-qur’anul al-Azhim karya Farid al-Wajdi, Shafwah al-Bayan li Ma’an al-Qur’an karya Syekh Muhammad Mahlut, Tafsir al-Nuyassar karya Syekh ‘Abd al-Jalil ‘Isa.

2) Tafsir metode tahlili adalah suatu metode tafsir yang bermaksud menjelaskan kandungan ayat-ayat al-qur'an dari seluruh aspeknya. Contoh tafsir tahlili : Kitab Tafasir karya Fachruddin al-Razi dan Tafsir Ibnu Jarir at-Thabari.

3) Tafsir mawdhuiy berarti penafsiran al-Qur’an menurut tema atau topik tertentu. Contoh tafsir mawdhu’iy : Kitab Min Huda Al-Qur’an karya Mahmud Syaltut, al-Mar’ah fi Al-Qur’an karya Mahmud al-‘Aqad, al-Riba fi Al-Qur’an karya Abu al-‘Ala al-Muwdudiy, Muqawwamah al-Insan fi Al-Qur’an karya Ibrahim Mhana, Tafsir Surat al-Fath karya Ahmad Sayyid al-Kumiy, Tafsir Surat Yasin karya Hasan al-Aridh.

4) Tafsir muqarin adalah yafsir yang menafsirkan sekelompok ayat al-Qur’an atau sesuatu surat tertentu dengan cara membandingkan antara ayat dengan ayat, antara ayat dengan hadis, atau antara pendapat para ulama tafsir dengan menonjolkan
aspek-aspek perbedaan tertentu dari obyek yang dibandingkan itu.

5) Tafsir al-Fikhiy atau tafsir al-ahkam adalah corak tafsir yang berorientasi kepada hukum Islam (fiqh). Contoh corak al-fikhiy : Al-Qurthuby Ahkamul Qur’an, As-Shobuny Ahkamul Qur’an dan Ahkamul Qur’an karya al-Jhissas

6) Tafsir lugawi terkadang disebut tafsir adabi, yaitu tafsir al-Qur’an yang dalam menjelaskan ayat-ayat susi al-Qur’an lebih banyak difokuskan kepada bidang bahasa seperti dari segi I’rab dan harakat bacaannya, pembentukan kata, kalimat dan kesusastraan. Contoh tafsir ini : “Al-Kasysyaf” karya Az-Zamakhsyari, Tafsir “Bharul Muhit” karya Al-Andalusi.

7) Tafsir keilmuan adalah penafsiran al-Qur’an tentang berbagai hal yang berhubungan dengan bidang ilmu pengetahuan alam dan pengetahuan umum.Contoh tafsir ini : Imam Fakhr A-Razi di dalam tafsir al-Kabir. Imam Al-Ghazali di dalam Ihya Ulumuddin dan Jawahir al-Qur’a, Imam As-Suyuthi di dalam al-Itqan.

8) Al-Tafsir al-falsafy atau al-tafsir al-rumaziy atau al-tafsir al-‘aqliy adalah tafsir al-Qur’an yang beraliran filsafat, yang pada umumnya difokuskan kepada bidang filsafat dan menyesuaikan paham filsafat melalui petunjuk berupa rumus-rumus. Contoh tafsir ini. Fachruddin al-Razi dengan karyanya Mafatihul Ghaib dab az-Zamakhsyari dengan al-Kasysyaf.

9) Tafsir sufiy di bagi dua yaitu :
1. al-Tafsir al-Shufiy al-Nazhariy (teoritis) adalah tafsir yang disusun oleh ulam-ulama yang dalam menafsirkan al-Qur’an berpegang pada teori-teori tasawuf yang mereka anut dan kembangkan.
2. Tafsir sufi Faidli atau Isyari Yaitu penafsiran al-Qur’an dalam bentuk perwakilan yang sesuai dengan isyarat-isyarat tersembunyi dari ayat-ayat itu dan tampak bagi kaum sufi tatkala mereka melakukan suluk.
 Tafsir yang bercorak shufiy adalah Tafsir Al-Qur’an al-Azhim karya Abdullah al-Tustury, Haqaiq al-Tafsir karya al-‘Alamah al-Sulamiy, ‘Arais al-Bayan fi Haqaiq al-Qur’an karya Imam al-Syiraziy.

10) Tafsir sosiokultur (adabul ijtimia’iy) merupakan penafsiran ayat yang menjelaskan tentang perubahan sosio-budaya yang terjadi di masyarakat dalam perspektif al-Qur’an, menjelaskan tentang fitrah kemanusiaan dan sebab-sebab kemajuan dalam sejarah dan menyimpulkannya dari al-Qur’an untuk kemajuan kaum muslimin. Metode tafsir ini jenis ini adalah Muhammad Abduh dengan Tafsir al-Manar. Rasyid Ridha dengan al-Wahyatul Muhammadie.

PERJANJIAN PERKAWINAN

I PEMBUKAAN

Perjanjian perkawinan adalah persetujuan yang dibuat oleh calon mempelai pada waktu atau sebelum perkawinan dilangsungkan, dan masing-masing berjanji akan menaati apa yang tersebut dalam persetujuan itu, yang disahkan oleh pencatat nikah. perjanjian nikah tersebut mempunyai syarat dan hukum.

Muatan perjanjian tidak boleh bertentangan dengan al-Qur’an, karena perjanjian yang bertentangan dengan ketentuan hukum al-Qur’an, meskipun seratus syarat, hukumnya batal. Demikian juga perjanjian yang tidak bertujuan menghalalkan yang haram atau mengharamkan yang halal.

II PEMBAHASAN

PERJANJIAN PERKAWINAN

1. Pengertian, Syarat, dan Hukum Perjanjian Perkawinan.

Perjanjian perkawinan yaitu “persetujuan yang dibuat oleh kedua calon mempelai pada waktu atau sebelum perkawinan dilangsungkan, dan masing-masing berjanji akan menaati apa yang tersebut dalam persetujuan itu, yang disahkan oleh pegawai pencatat nikah[1].

Perjanjian perkawinan (mithaq az-zauziyyah) dalam at-tanjil al-hakim terdapat dalam firman Allah SWT: “Dan jika kamu ingin mengganti istrimu dengan isteri yang lain, sedang kamu telah memberikan kepada seseorang di antara mereka harta yang banyak, maka janganlah kamu mengambil kembali dari padanya barang sedikit pun. Apakah kamu akan mengambilnya kembali dengan jalan tuduhan yang dusta dan dengan menanggung dosa yang nyata? Bagaimana kamu akan mengambilnya kembali, padahal sebagian telah bergaul dengan yang lain sebagai suami-isteri. Dan mereka (isteri-isterimu) telah mengambil dari kamu perjanjian yang kuat”(QS. An-nisa [4]: 20-21).

Dalam ayat diatas nampak, bahwa dalam perkawinan terdapat sebuah perjanjian yang kuat yang diambil oleh para isteri dari para suami mereka[2].

Muatan perjanjian tidak boleh bertentangan dengan al-Qur’an, karena perjanjian yang bertentangan dengan ketentuan hukum al-Qur’an, meskipun seratus syarat, hukumnya batal. Demikian juga perjanjian yang tidak bertujuan menghalalkan yang haram atau mengharamkan yang halal[3].

Perjanjian perkawinan mempunyai syarat, yakni perjanjian yang dibuat itu tidak bertentangan dengan syari’at islam atau hakikat perkawinan. “Jika syarat perjanjian yang dibuat bertentangan dengan syari’at islam atau hakikat perkawinan apapun bentuk perjanjian itu maka perjanjian itu tidak sah, tidak perlu diikuti, sedangkan akad nikahnya sendiri sah”. Jadi, jika syarat perjanjian perkawinan yang dibuat tidak bertentangn dengan syari’at islam atau hakikat perkawinan, maka hukumnya boleh (sah), tetapi jika syarat itu bertentangan dengan syari’at islam atau hakikat perkawinan maka hukum perjanjian itu tidak boleh (tidak sah).

Contoh syarat yang tidak sesuai dengan syari’at islam, misalnya, dalam perkawinan itu si istri tidak akan kawin lagi. Perkawianan itu sendiri sah, tetapi syaratnya tidak sah. Berdasarkan sabda Nabi SAW:

كل شرة ليس في كتا ب الله فهو باطل و ان كا ن ما ئة شرط

“Segala syarat yang tidak terdapat dalam Kitabullah adalah batal, sekalipun 100 kali syarat”.

Sabdanya pula:

االمسلمون علئ شروطهم الا شر طا احل حراماوحلا لا

“Orang-orang islam itu menurut syarat mereka, kecuali apabila berupa syarat yang menghalalkan yang haram dan mengharamkan yang halal.”[4]

Tentang perjanjian ini, Kholil Rahman menyebutkan macam-macam sifat perjanjian :

a. Syarat-syarat yang menguntungkan istri, seperti syarat untuk tidak dimadu. Para ulama berbeda pendapat dalam masalah ini, ada yang mengatakan sah, dan ada yang mengatakan tidak sah. Sayid Sabiq misalnya, membolehkan si istri menuntut fasakh apabila suami melanggar perjanjian tersebut.

b. Syarat-syarat yang bertentangan dengan apa yang dikehendaki oleh maksud akad itu sendiri. Seperti, tidak boleh mengadakan hubungan kelamin, tidak ada hak waris-mewarisi di antara suami dan istri, tidak boleh berkunjung kepada kedua orang tua, dan lain-lain. Syarat-syarat semacam ini tidak sah, dan tidak mengikat.

c. Syarat-syarat yang bertentangan dengan ketentuan syara’ seperti jika akad nikah sudah dilangsungkan, agar masing-masing pindah agam, harus mau makan daging babi, dan sebagainya. Perjanjian semacam ini tidak sah, dan bahkan akad nikahnya juga tidak sah[5].

2. Bentuk-Bentuk Perjanjian Perkawinan

Bentuk-bentuk perjanjian perkawinan adalah:

1. Ta’lik talak.

2. Perjanjian lain yang tidak bertentangan dengan hukum islam[6].

C. Hukum Perjanjian Perkawinan

Dalam Undang-undang nomor 1 tahun 1974 tentang perkawinan diatur masalah perjanjian perkawinan dalam pasal 29. Bunyi selengkapnya adalah sebagai berikut:

1. Pada waktu atau sebelum perkawinan dilangsungkan, kedua pihak atas persetujuan bersama dapat mengadakan perjanjian tertulis yang disahkan oleh pegawai pencatat perkawina. Setelah masa isinya berlaku juga terhadap pihak ketiga sepanjang pihak ketiga tersangkut.

2. Perjanjian tersebut tidak dapat disahkan bilamana melanggar batas-batas hukum, agama, dan kesusilaan.

3. Perjnajian tersebuat brlaku sejak perkawinan dilangsungkan.

4. Selama perkawinan berlangsung perjanjian tersebut tidak dapat diubah,

kecuali bila dari kedua belah pihak ada persetujuan untuk mengubah dan

perubahan tidak merugika pihak ketiga.

Penjelasan pasal 29 tersebut menyatakan bahwa perjanjian dalam pasal ini tidak termasuk taklik talak. Namun dalam Peraturan Menteri Agama Nomor 3 Tahun 1975 pasal 11 menyebutkan satu aturan yang bertolak belakang.

1. Calon suami isteri dapat mengadakan perjanjian sepanjang tidak bertentangan dengan hukum islam.

2. Perjanjian yang berupa taklik talak dianggap sah kalau perjanjian itu diucapkan dan ditandatangani suami setelah akad nikah dilangsungkan.

3. Sighat taklik talak ditentukan oleh Menteri Agama.

Yang menarik adalah kompilasi menggaris bawahi pasal 11 Peraturan Menteri Agama tersebut. Kompilasi sendiri memuat 8 pasal tentang perjanjian perkawinan yaitu pasal 45 sampai dengan pasal 52.

Kedua calaon mempelai dapat mengadakan perjanjian perkawinan dalam bentuk:

1. Taklik talak, dan

2. Perjanjian lain yang tidak bertentangan dengan hokum islam.

Jadi praktis perjanjian perkawinan seperti dijelaskan dalam penjelasan pasal 29 Undang-undang No. 1 tahun 1974, telah diubah atau setidaknya diterapkan bahwa taklik talak termasuk salah satu macam perjanjian perkawinan, dalam kompilasi dan detail-detailnya dikemukakan.

Pasal 46 kompilasi lebih jauh mengatur:

1. Isi taklik talak tidak boleh bertentangan dengan hukum islam.

2. Apabila keadaan yang disyaratkan dalam taklik talak betul terjadi kemudian tidak dengan sendirinya talak jatuh. Supaya talak sungguh-sungguh jatuh, isteri harus mengjukan persoalannya ke Pengadilan Agama.

3. Perjanjian taklik talak bukan perjanjian yang wajib diadakan pada setiap perkawinan, akan tetapi sekali talak talik sudah diperjanjikan tidak dapat dicabut kembali.

Ayat 3 diatas sepintas bertentangan dengan pasal 29 Undang-undang perkawinan ayat 4 yang mengatur bahwa selama perkawinan berlangsung perjanjian tidak dapat diubah kecuali ada persetujuan kedua belah pihak, dan tidak merugikan pihak ketiga. Dari sinilah maka dalam penjelasannya disebutkan tidak termasuk talik talak. Karena naskah yang sudah ditandatangani suami. Oleh karena itu pula, perjanjian talik talak sekali sudah diperjanjikan tidak dapat dicabut kembali.

Karena itu sebslum akad nikah dilakakukan Pegawai Pencatat perlu meneliti betul perjanjian perkawinan yang dibuat oleh kedua calon mempelai, baik secara material atau isi perjanjian itu, maupun teknis bagai mana perjanjian itu telah disepakati oleh mereka bersama. Sejauh perjanjian itu berupa taklik talak. Menteri agama telah mengaturnya. Adapun teks. (sighat) taklik talak yang diucapkan suami sesudah dilangsungkan akad nikah adalah sebagai berikut:

Sesudah akad nikah, saya…..bin….berjanji dengan sesunguh hati, bahwa saya akan menepati kewajiban saya sebagai seorng suami, dan saya akan pergauli istri saya bernama….binti….dengan baik (mu’asyarah bil ma’ruf) menurut ajarn syari’at Islam.

Selanjutnya saya mengucapkan sighat tklik talak atas isteri saya itu seperti berkut:

Sewaktu-waktu saya:

1. meninggalkan isteri saya tersebut dua tahun berturut-turut,

2. atau saya tidak memberi nafkah wajib kepadanya tiga bulan lamanya,

3. atau saya mengikuti badan/jasmani isteri saya itu,

4. atau saya membiarkan (tidak memperdulikan) isteri saya itu enam bulan lamanya.

Kemudian isteri saya tidak ridha dan mengadukan halnya kepada Pengadilan Agama atau petugas yang diberi hak mengurus pengaduan itu, dan pengaduan dibenarkan serta diterima oleh pengadilan atau petugas tersebut, dan isteri saya itu membayar uang sebesar Rp. 1.000,- (seribu rupiah) sebagai iwadl (pengganti) kepada saya, maka jatuhlah talak saya satu kepadanya. Kepada pengadilan atau petugas tersebut tadi saya kuasakan untuk menerima uang iwadl (pengganti) itu dan kemudian memberikanya untuk ibadah sosial.

Demikian juga menjadi tugas Pengadilan Agama ketika menerima gugatan perceraian dari pihak isteri dengan alasan pelanggaran perjanjian dalam taklik talak atau tidak, haruslah benar-benar meneliti apakah si suami menyetujui dan mengusapkan sighat taklik talak atau tidak. Secara yuridis formal, persetujuan dan pembacaan sighat taklik talak dapat dilihat pada Akta Nikahnya, meski atau belum sepenuhnya dapat dijamin kebenarannya.apabila si suami menandatangani di bawah sight taklik talak, ia dianggap menyatujui dan membaca sight tersebut, kecuali ada keterangan lain.

Memperhatikan muatan sighat taklik talak tersebut, kandungan maksudnya cukup baik dan positif, yaitu melindungi peremuan dari kewenang-wenangan suami dalam memenuhi kewajibannya, sebagai hak-hak yang seharusnya diterima si isteri, meskipun sesungguhnya isteri, telah mendapatkan berupa khulu’ (gugat cerai) maupun hak fasakh. Karena itu sekali lagi, yang perlu diperhatikan adalah pencatatan apakah suami benar-benar menyetujui dan membaca dan menandatangani sighat taklik talak tersebut atau tidak. Ini dimaksudkan agar terjadi keliruan dan kesulitan dalam menyelesaikan persoalan yang timbul[7].

Persoalan harta benda merupakan pokok pangkal yang dapat menimbulkan berbagai perselisihan dan ketegangan rumah tangga atau malahan menghilangkan kerukunan di dalamnya, maka undang-undang Perkawinan memberi peluang ataupun petunjuk mengenai perbuatan perjanjian untk pengaturan hak atas harta benda bersama antara suami dan istri, tercantum dalam pasal 35 sampai dengan pasal 37. isi ketentuan dari pasal-pasal ini ada kaitan atau pengaruh dari prinsip mengenai kecakapan wanita yang telah nikah yang dianut oleh kitab Undang-undang Hukum Perdata. Hanya saja terdapat perbedaan yang bertolak belakang antara kedua sumber hukum itu dan untuk lebih jelasnya bias dibandingkan dua pasal berikut ini. Pasal 119 Kitab Undang-undang Hukum Perdata berbunyi :

Mulai saat perkawinan dilangsungkan, demi hukum berlakulah persatuan bulat antara harta kekayaan suami dan istri, sekedar mengenai itu dengan perjanjian kawin tidak diadakan ketentuan lain. Persatuan itu sepanjang perkawinan tidak boleh ditiadakan atau diubah dengan sesuatu persetujuan antara suami dan istri.

Sedangkan pasal 35 Undang-undang Perkawinan berbunyi :

Harta bawaan dari masing-masing suami dan istri dan harta benda yang diperoleh masing-masing sebagai hadiah atau warisan, adalah di bawah penguasaan masing-masing sepanjamg tidak menentukan lain.

Jadi bertolak belakang yang tampak dari dua pasal tersebut mengenai keadaan bila akad nikah tidak diikuti dengan perjanjian harta benda bersama, yakni pasal awal dikutip menentukan harta di bawah penguasaan bulat dalam satu kesatuan demi hukum, sedangkan pasal berikutnya harta benda tetap di bawah penguasaan masing-masing[8].

Kompilasi yang mengatur perjajian harta bersama dan perjanjian yang berkaitan dengan masalah poligami :

Pasal 47 [9]

1. Pada waktu atau sebelum perkawinan dilangsungkan kedua calon mempelai dapat membuat perjanjian tertulis yang disahkan Pegawai Pencatat Nikah mengenai kedudukan harta dalam perkawinan.

2. Perjanjan tersebut pada ayat (1) dapat meliputi pencampuran harta pribadi dan pemisahan harta pencarian masing-masing sepanjang hal itu tidak bertentangan dengan hukum Islam.

3. Disamping ketentuan dalam ayat (1) dan (2) diatas, boleh juga isi perjanjian itu menetapkan kewenangan masing-masing untuk mengadakan ikatan hipotek atas harta pribadi dan harta bersama atau harta syarikat.

Pasal 48

2. Apabila dibuat perjanjian perkawinan mengenai pemisahan harta bersama atau harta syarikat, maka perjanjian tersebut tidak boleh menghilangkan kewajiban suami untuk memenuhi kewajiban rumah tangga.

3. Apabila dibuat perjanjian perkawinan tidak memenuhi kebutuhan tersebut pada ayat (1) dianggap tetap terjadi pemisahan harta bersama atau harkat syarikat dengan kewajiban suami menanggung kebutuhan rumah tangga.

Pasal 49

1. Perjanjian pencampuran harta pribadi dapat meliputi semua harta, baik yang dibawa masing-masing ke dalam perkawinan maupun yang diperoleh masing-masing selama perkawinan.

2. Dengan tidak mengurangi ketentuan tersebut pada ayat (1) dapat juga diperjanjikan bahwa pencmpuran harta pribadi hanya terbatas pada harta pribadi yang dibawa pada saat perkawinan dilangsungkan, sehingga pecampuran itu tidak meliputi harta pribadi yang diperoleh selama perkawinan atau sebaliknya.

Pasal 50

  1. Perjanjian perkawinan mengenai harta mengikat kepada para pihak dan pihak ketiga terhitung mulai tanggal dilangsungkan perkawinan di hadapan Pegawai Pencatat Nikah.
  2. Sejak pendaftaran tersebut, pencabutan telah meningkat kepada suami istri, tetapi terhadap pihak ketiga pencabutan baru meningkat sejak tanggal pendaftaran itu diumumkan oleh suami isri dalam suatu surat kabar setempat.
  3. Apabila dalm tempo 6 (enam) bulan pengumuman tidak dilakukan bersangkutan, pencabutan dengan sendirinya gugur dan tidak mengikat pada pihak ketiga.
  4. Pencabutan perjanjian perkawinan mengenai harta tidak boleh merugikan perjanjian yang telah diperbuat sebelumnya dengan pihak ketiga.

Pasal 51

Pelanggaran terhadap perjanjian perkawinan memberikan hak kepada istri untuk meminta pembatalan nikah atau mengajukannya sebagai alasan gugatan perceraian ke Pengadilan Agama.

Pasal 52

Pada saat dilangsungkan perkawinan dengan istri kedua, ketiga atau keempat, boleh diperjanjikan mengenai tempat kediaman, waktu giliran dan biaya rumah tangga bagi istri yang akan dinikahinya itu.

Akan halnya mengenai perjanjian perkawinan, apabila telah disepakati oleh kedua mempelai, maka masing-masing wajib memenuhinya. Sepanjang dalam perjanjian tersebut tidak ada pihak-pihak lain yang memaksa. Ini sejalan dengan hadist riwayat al-Bukhori:

من شرط عل نفسه طا ئعا غير مكره فهو عليه

“Barangsiapa mensyaratkan pada dirinya sendiri untuk maksud taat (kepada Allah dan Rosul-Nya), dalam keadaan tidak terpaksa, maka ia wajib memenuhinya” (Riwayat al-Bukhori)

Kata Umar bin al-Khattab

اان مق طع الحقوق الشروط و لك ما شر طت

“Sesunguhnya keputusan hak terletak pada syarat-syarat yang ditetapkan, dan pada kamu apa yang kamu syaratkan” (Riwayat al-Bukhori).

Apabila perjanjian yang telah disepakati bersama antara suami dan istri, tidak dipenuhi oleh salah satu pihak, maka pihak lain berhak mengajukan persoalannya ke Pengadilan Agama untuk menyelesaikannya. Dalam hal pelanggaran dilakukan suami misalnya, istri berhak meminta pembatalan nikah atau sebagai alasan perceraian dalam gugatan. Demikian juga sebaliknya, jika istri yang melanggar perjanjian di luar taklik talak, suami berhak mengajukan perkaranya ke Pengadilan Agama[10].

III PENUTUP

Perjanjian perkawinan adalah persetujuan yang dibuat oleh calon mempelai pada waktu atau sebelum perkawinan dilangsungkan, dan masing-masing berjanji akan menaati apa yang tersebut dalam persetujuan itu, yang disahkan oleh pencatat nikah. perjanjian nikah tersebut mempunyai syarat dan hukum. Bentuk perjanjian ada dua yaitu Ta’lik talak dan perjanjian lain yang tidak bertentangan dengan hukum islam. Hukum mengenai perjanjian di tulis dalam kompilasi hukum islam .

DAFTAR PUSTAKA

Ahmad Rofiq, Hukum Islam di Indonesia, Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 1995.

Abd. Rahman Ghazaly, Fiqih Munakahat, Jakarta : Kencana Prenada Media Group, 2003, cet. ke-2.

Achmad Kuzari, Nikah Sebagai Perikatan, Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 1995, cet ke-1

Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, Departemen Agama RI Deriktorat Jendral Pembinaan Kelembagaan Agama Islam 1997/1998.

Muhammad Shahrur, Metodologi Fikih Kontemporer, Yogyakarta : Eisaq Press, 2004.



[1] Abd. Rahman Ghazali, Fiqih Munakahat, (Jakarta : Kencana Media Group, 2003), hlm. 119

[2] Muhammad Shahrur, Metodologi Fiqih Islam Kontemporer, (Yogyakarta : Eisaq Press, 2004), hlm. 438

[3] Ahmad Rofiq, Hukum islam di Indonesia, (Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 1995), hlm. 160

[4] Abd. Rahman Ghazali, op..cit,. hlm 120

[5] Ahmad Rofiq, op.cit,.hlm. 161

6 Abd. Rahman Ghazali, op..cit,. hlm. 120-121

[7] Ahmad Rofiq, op.cit,.hlm154-157

[8] Achmad Kuzari, Nikah Sebagai Perikatan, (Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 1995) hlm.15

[9] Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, Departemen Agama RI DEriktorat Jendral Pembinaan

Kelembagaan Agama Islam 1997/1998

[10] Ahmad Rofiq, op.cit,.hlm.162-163