Mengenai Saya

Foto saya
Aku hanyalah seoarang manusia yang bisa saja salah dalam setiap kata yang telah aku ucapkan, tulisan yang telah aku buat.jika terdapat kesalahan kata, tanda baca, nama, dsb harap dimaklumi, Sungguh, Allahlah yang maha sempurna dengan segala sesuatu, dan aku hanyalah manusia yang terkadang alfa atas setiap hal yang telah kulalui.

Jumat, 27 Mei 2011

KEKELIRUAN BERFIKIR

KEKELIRUAN BERFIKIR

I. PENDAHULUAN

Berpikir adalah aktivitas yang dilakukan oleh seluruh manusia. Suatu aktivitas yang berhubungan erat dengan kerja akal. Akal manusialah yang menjadi salah satu alat menyerap pengetahuan, menemukan dan membedakan mana yang benar atau keliru.

Namun, manusia yang memiliki pengetahuan terbatas ataupun belum memaksimalkan fungsi akalnya terkadang terjebak kepada kekeliruan atau kerancuan dalam berpikir. Hal ini wajar, karena akal bekerja berdasarkan hukum-hukum universal tertentu. Ketidaktaatan terhadap hukum-hukum universal dalam berpikir, menjadikan seseorang melakukan kekeliruan atau kesalahan. Dalam ungkapan yang lebih ekstrem, seseorang yang tidak menaati hukum berpikir dapatlah dikatakan sebagai seseorang yang tidak rasional (irrasional).

Orang kemudian mengenal hukum-hukum berpikir rasional yang universal itu dengan istilah Logika. Suatu istilah yang diperkenalkan oleh Aristoteles, filsuf Yunani kuno. Di dunia Arab (Islam), Logika kemudian populer dengan istilah Mantiq. Dan kekeliruan berpikir adalah salah satu bagian penting yang dibahas dalam studi tentang logika

Bagi setiap orang, apalagi kaum cendekiawan, menghindari melakukan kekeliruan dalam berpikir ini menjadi suatu keharusan. Sebab dari proses berpikirlah kehidupan, budaya, tradisi, bahkan sebuah peradaban dibangun. Bukankah peradaban yang berakar dan dibangun dari cara berpikir yang salah akan menyengsarakan manusia. Jalaludin Rahmat, cendekiawan muslim Indonesia itu bahkan menempatkan kekeliruan berpikir sebagai salah satu penghambat pertama dan utama proses rekayasa sosial dalam masyarakat.

II. PEMBAHASAN

Dalam logika dikenal istilah strategems atau fallacies; yakni kesalahan argumentasi karena kerancuan menggunakan bahasa atau kekeliruan berpikir. Bila logika mengajarkan kepada kita tehknik berpikir kritis, strategems adalah teknik berpikir tidak kritis.[1]

Banyak pengelompokan yang dilakukan oleh berbagai pemikir terhadap aspek-aspek yang termasuk ke dalam kekeliruan berpikir, baik secara umum maupun secara detail. Tapi dari berbagai pembagian aspek yang berhubungan dengan kekeliruan itu, pembagian oleh Mundiri (Logika, 1994), sepertinya merupakan salah satu pembagian yang cukup akurat dan sederhana. Mundiri membagi jenis-jenis kekeliruan itu ke dalam 3 kelompok besar ; kekeliruan formal yang berhubungan dengan bentuk dari premis-premis dalam silogisme, kekeliruan informal yang berhubungan dengan aspek materi dari suatu kesimpulan logis, dan kekeliruan penggunaan bahasa yang berhubungan dengan pelak-pelik ungkapan dan tata bahasa yang kemudian menyebabkan kesalahan penafsiran. Ketiga kelompok besar ini, memerlukan uraian tersendiri untuk dapat kita ketahui bagian-bagiannya.[2]

A. Kekeliruan Formal

1. Fallacy of Four Terms (Kekeliruan Karena Menggunakan Empat Term)

Kekeliruan berfikir karena menggunakan empat term dalam silogisme. Ini terjadi karena term penengah diartikan ganda, sedangkan dalam patokan diharuskan hanya tiga term, seperti :

Semua perbuatan mengganggu orang lain diancam dengan hukuman. Menjual barang di bawah harga tetangganya adalah mengganggu kepentingan orang lain. Jadi menjual harga di bawah tetangganya diancam dengan hukuman

Orang yang berpenyakit menular harus diasingkan.

Orang berpenyakit panu adalah membuat penularan penyakit, jadi harus diasingkan.

2. fallacy of Unditributed Middle (Kekeliruan Karena Kedua Term Penengah Tidak Mencakup)

Kekeliruan berfikir karena tidak satu pun dari kedua term penengah mencakup, seperti :

Orang yang terlalu banyak belajar kurus. Dia kurus sekali, karena itu tentulah ia banyak belajar. Semua anggota PBB adalah Negara merdeka. Negara itu tentu menjadi anggota PBB karena memang negara merdeka.

3. Fallacy of Illicit Process (Kekeliruan Karena Proses Tidak Benar)

Kekeliruan berfikir karena term premis tidak mencakup (undistributed) tetapo dalam konklusi mencakup, seperti :

Kura-kura adalah binatang melata. Ular bukan kura-kura, karena iitu ia bukan binatang melata.

Kuda adalah binatang, sapi bukan kuda jadi ia bukan binatang.

4. Fallacy of Two Negative Premises (Kekeliruan Karena Menyimpulkan daru Dua Premis yang Negatif)

Kekeliruan berfikir karena mengambil kesimpulan dari dua premis negative. Apabila terjadi demikian sebenarnya tidak bisa ditarik konklusi.

Tidak satu pun drama yang baik mudah dipertontonkan dan tidak sati pun drama Shakespeare mudah dipertontonkan, maka semua drama Shakespeare adalah baik.

Tidak satu pun barang yang baik itu murah dan semua barang di took itu adalah tidak murah, jadi kesemua barang di toko itu adalah baik.

5. Fallacy of Affirming the Consequent (Kekeliruan Karena Mengakui Akibat)

Kekeliruan berfikir dalam silogisme hipoteka karena membenarkan akibat kemudian membenarkan pula akibatnya, seperti :

Bila kita bisa berkendaraan secapat cahaya, maka kita bisa mendarat di bulan. Kit atelah dapat mendarat di bulan berarti kita telah dapat berkendaraan secepat cahaya.

Bila pecah perang harga barang-barang baik. Sekarang harga naik, jadi perang telah pecah.

6. Fallacy of Denying Antecedent (Kekeliruan Karena Menolak Sebab)

Kekeliruan berfikir dalah silogisme hipoteka karena mengingkari sebab kemudian disimpulkan bahwa akibat juga tidak terlaksana, seperti :

Bila permintaan bertambah harga naik. Nah, sekarang permintaan tidak bertambah, jadi harga naik.

Bila datang elang maka ayam berlarian, sekarang elang tidak datang, jadi ayam tidak berlarian.

7. Fallacy of Disjunction (Kekeliruan dalam Bentuk Disyungtif)

Kekeliruan berfikir terjadi dalam silogisme disyungtif karena mengingkari alternative pertama, kemudian membenarkan alternative lain. Padahal menurut patokan, pengingkaran alternative pertama, bisa juga tidak terlaksananya alternative yang lain, seperti :

Dia lari ke Jakarta atau ke Bandung. Ternyata tidak di Bandung, berarti dia ada di Jakarta. (Dia bisa tidak di Bandung maupun di Jakarta)

Dia menulis cerita atau pergi ke Surabaya. Dia tidak pergi ke Surabaya, jadi ia tentu menulis cerita.

8. Fallacy of Inconsistency (Kekeliruan Karena tidak Konsisten)

Kekeliruan berfikir karena tidak runtutnya pernyataan yang satu dengan pernyataan yang diakui sebelumnya, seperti :

Anggarang Dasar organisasi kita sudah sempurna ; kita perlu melengkapi beberapa fasal agar komplit.

Tuhan adalah Maha kuasa, karena itu Ia bisa menciptakan Tuhan lain yang lebih kuasa dari Dia.

B. KEKELIRUAN INFORMAL

1. Fallacy of Hasty Generalization (Kekeliruan Karena Membuat Generalisasi yang Terburu-buru)

Kekeliruan berfikir karena tergesa-gesa membuat generalisasi, yaitu mengambil kesimpulan umum dari kasus individual yang terlampau sedikit, sehinggga kesimpulan yang ditarik melampau batas lingkungannya, seperti :

Dia orang Islam mengapa membunun. Kalau begitu orang Islam memang jahat.

Panen di kabupaten itu gagal, kalau begitu tahun ini Indonesia harus mengimpor beras.

2. Fallacy of Forced Hypothesis (Kekeliruan Karena Memaksakan Praduga)

Kekeliruan berfikir karena menetapkan kebenaran suatu dugaan, seperti :

Seorang pegawai datang ke kantor dengan luka goresan di pipinya. Seseorang menyatakan bahwa istrinyalah yang melukainya dalam suatu percekcokan karena diketahuinya selama ini orang itu kurang harmonis hubungannya dengan istrinya, padahal sebenarnya karean goresan besi pagar

Dua orang tengah berbicara dnegan berbisik-bisik. Kemudian datang seseorang yang kebetulan mempunyai hugungan tidak baik dnegan salah satu di antara mereka. Orang yang datang ini kemudian berkata ; ‘Kau memang tidak suka padaku’. Kejelakanku kau siarkan ke mana-mana. (Padahal dua orang yang berbincang itu tengah merundingkan masalah lain)

3. Fallacy of Begging the Question (Kekeliruan Kerna Mengundang Permasalahan)

Kekeliruan berfikir karena mengambil konklusi dari premis yang sebenarnya harus dibuktikan dahulu kebenarannya, seperti :

Allah itu mesti ada karena ada bumi.

(di sini orang akan membuktikan bahwa Allah itu ada dengan dasar adanya bumi, tetapi tidak dibuktikan bahwa bumi adalah ciptaan Allah).

Surat kabar X merupaka sumber informasi yang reliable, karena beritanya tidak pernah basi. (Di sini orang hendak membuktikan bahwa surat kabar X memang merupakan sumber informasi yang dapat dipercaya berdasarkan pemberitaannya yang up to date, tanpa dibuktikan pemberitaannya memang dapat diuji kebenarannya).

4. Fallacy of Circular Argument (Kekeliruan Karena Menggunakan Argumen yang Berputar)

Kekeliruan berfikir karena menarik konklusi dari satu premis kemudian konklusi tersebut dijadikan premis sedangkan premis semula dijadikan konklusi pada argumen berikutnya, seperti ;

Sarjana-sarjana lulusan perguruan tinggi Omega kurang bermutu Karen organisasinya kurang baik. Mengapa organisasi perguruan tinggi itu kurang baik? Dijawab karean lulusan perguruan tinggi itu kurang bermutu.

Ekonomi Negara X tidak baik karena banyak pegawai yang korupsi. Mengapa banyak pegawai yang korupsi? Jawabnya karena ekonimi Negara kurang baik.

5. Fallacy of Argumentative Leap (Kekeliruan Karena Berganti Dasar)

Kekeliruan berfikir karena mengambil kesimpulan yang tidak diturunkan dari premisnya. Jadi mengambil kesimpuulan melompat dari dasar semula, seperti

Ia kelak menjadi mahaguru yang cerdas, sebab orang tuanya kaya.

Pantas ia cantik Karena pendidikannya tinggi.

Bentuk tulisannya bagus, jadi ia adalah anak yang pandai.

6. Fallacy of Appealing to Authority (Kekeliruan Karena Mendasarakan pada Otoritas)

Kekeliruan berfikir karena mendasarkan diri pada kewibawaan atau kehormatan seseorang tetapi dipergunakan untuk permasalahan di luar otoritas ahli tersebut, seperti:

Pisau cukur ini sangat baik, sebab Rudi Hartono selalu menggunakannya. (Rudi Hartono adalah seorang olah ragawan, ia tidak mempunyai otoritas untuk menilai bagusnya logam yang dipakai untuk membuat pisau cukur).

Bangunan ini sungguh kokoh, sebab dokter Haris mengatakan demikian. (Dokter Haris adalah ahli kesehatan, bukan insinyur bangunan).

7. Fallacy of Appealing to Force (Kekeliruan Karena Mendasarkan Diri pada Kekuasaan)

Kekeliruan berfikir karena berargumen dengan kekuasaan yang dimiliki, seperti menolak pendapat/argumen seseorang dengan menyatakan:

Kau maswih juga membantah pendapatku. Kau baru satu tahun duduk dibangku perguruan tinggi, aku sudah lima tahun.

Ketika ditanyakan kepada Stalin tentang kemungkinan perwakilan Paus dari Roma dalam konferensi-konferensi Internasional, ia menjawab: Berapa divisi tentara yang dimiliki Paus dari Roma itu untuk suatu perang terbuka? (Di sini Stalin hendak menolak usul itu dengan menunjukkan bahwa Paus tidak mempunyai kekuatan militer yang cukup).

8. Fallacy of Abusing (Kekeliruan Karena Menyerang Pribadi)

Kekeliruan berfikir karena menolak argumen yang dikemukakan seseorang dengan menyerang pribadinya, seperti:

Dia adalah seseorang yang brutal, jangan dengarkan pendapatnya.

Jangan dengarkan gagasan dia tentang konsep kemajuan desa ini. Waktu ia menjabat kepala desa di sini ia menyelewengkan uang Bandes (Bantuan Desa).

9. Fallacy of Ignorance (Kekeliruan Karena Kurang Tahu)

Kekeliruan berfikir karena menganggap bila lawan bicara tidak bisa membuktikan kesalahan argumentasinya, dengna sendirinya argumentasi yang dikemukakannya benar, seperti :

Sudah beberapa kali kau kemukakan alasanmu tetapi tidak terbukti gagasanku salah. Inilah buktinya bahwa pendapatku benar.

Kalau kau tidak bisa membuktikan bahwa hantu itu ada maka teranglah pendapatku benar, bahwa hantu itu tidak ada.

10. Fallacy of Complex Question (Kekeliruan Karena Pertanyaan yang Ruwet)

Kekeliruan berfikir karena mengajukan pertanyaan yang bersifat menjebak, seperti :

Jam berapa kau pulang semalam? ;(Yang ditanya sebenarnya tidak pergi. Penanya hendak memaksakan pengakuan bahwa yang ditanya semalam pergi).

Jadi, anda sekarang berhenti dari kebiasaan menganiaya istri anda? (Penanya hendak memaksakan pengakuan bahwa yang ditanya pernah menganiaya istrinya). Jika pertanyaan ini dijawab dengan “ya” berarti orang yang ditanya setidak-tidaknya pernah menganiaya istrinya. Bila dijawab “tidak” berarti yang ditanya terus melaksanakan kebiasaan jeleknya menganiaya istrinya; padahal orang yang ditanya barangkali memang belum pernah melakukan penganiayaan kepada istrinya.

11. Fallacy of Oversimplification (Kekeliruan Karena Alasan Terlalu Sederhana)

Kekeliruan berfikir karena berargumentasi dengan alasan yang tidak kuat atau tidak cukup bukti, seperti :

Kendaraan buatan Honda adalah terbaik, karena paling bnyak peminatnya.

Marilah kita jaga agar pikiran kita yang suci ini jangan sampai dikotori oleh jalan pikiran ahli teologi, karena permasalahn teologi adalah meyesatkan pikiran kita. Coba pikir dalam permasalahan kejahatan berarti Tuhan adalah jahat; sedangkan bika Tuhan tidak menghendaki kejahatan berarti Tuhan itu lemah, karena di dunia ini kejahatan selalu ada. Coba tuan-tuan milih alternatif mana. Inilah bukti ilmu teolog adalah menyesatkan. (di sini seseorang hendak mengajak orang lain agar menjauhi penyelidika di bidang teolog dengan mengajukan bukti yang belum cukup kuat bahwa teolog memang harus dihindari).

12. Fallacy of Accident (Kekeliruan Karena Menetapkan Sifat)

Kekeliruan berfikir karena menetapkan sifat bukan keharusan yang ada pada suatu benda bahwa sifat itu tetap ada selamanya, seperti :

Daging yang kita makan hari ini adalah dibeli kemarin. Daging yang dibeli kemarin adalag daging mentah. Jadi hari ini kita makan daging mentah.

13. Fallacy if Irrelevent Argument (Kekeliruan Karena Argumen yang TIdak Relevan)

Kekeliruan berfikir karena mengajukan argument yang tidak ada hubungannya dengan masalah yang menjadi pokok pembicaraan, seperti :

Pisau silet itu berbahaya daripada peluru, karena tangan kita seringkali teriris oleh pisau silet dan tidak pernah oleh peluru.

Kau tidak mau mengenakan baju yang aku belikan. Apakah engkai mau telanjang berangkat ke perjamuan itu?

14. Fallacy of False Analogy (Kekeliruan Karena Salah Mengambil Analogi)

Kekeliruan berfikir karena menganalogikan dua permasalahan yang kelihatannya mirip, tetapi sebenarnya berbeda secara mendasar, seperti :

Saya heran mengapa banyak orang takut menggunakan kapal terbang dalam bepergian karena banyak orang tewas kerana kecelakaan kapal terbang. Kalau begitu sebaiknya orang jangan tidur di tempat tidur, karena hampir semua orang menemui ajalnya di tempat tidur.

Seniman patung memerlukan bahan untuk menciptakan karya-karya seni, maka Tuhan pun memerlukan bahan dalam menciptakan alam semesta.

15.Fallacy of Appealing to Pity (Kekeliruan Karena Mengundang Belas Kasihan)

Kekeliruan berfikir karena menggunakan uarain yang sengaja menarik belas kasihan untuk mendapatkan konklusi yang diharapkan. Uraian itu sendiri tidak salah tetapi menggunakan uraian-uraian yang menarik belas kasihan agar kesimpulan menjadi lain. Padahal masalahnya berhubungan dengan fakta, bukan dengan perasan inilah letak kekeliruannya. Kekeliruan pikir ini sering digunakan dalam peradilan oleh pembela atau terdakwa, agar hakim memberikan keputusan yang sebaik-baiknya, seperti pmbelaan Clarence Darrow, seorang penasihat hukum terhadap Thomas I Kidd yang dituduh bersekongkol dalam beberapa perbuatan criminal dengan mengatakan sebagai berikut :

Saya sampaikan pada anda (para yuri), bukan untuk kepentingan Thomas Kidd tetapi menyangkut permasalahan yang panjang, ke belakang ke masa yang sudah lampau maupun ke depan masa yang akan datang, yang menyangkut seluruh manusia di bumi. Saya katakan pada anda bukan untuk Kidd, tetapi untuk mereka yang bangun pagi sebelum dunia menjadi terang dan pulang pada malam hari setelah langit diteraingi bintang-bintang, mengorbankan kehidupan dan kesenangnnya, bekerja berat demi terselenggarakannya kemakmuran dan kebesaran, saya sampaikan pada anda demi anak-anak yang sekarang hidup maupun yang akan lahir.

C. KEKELIRUAN KARENA PENGGUNAAN BAHASA

1. Fallacy of Compotition (Kekeliruan Karena Komposisi)

Kekeliruan berfikir karena menetapkan sifat yang ada pada bagian untuk menyifati keseluruhannya, seperti :

Setiap kapal perang telah siap, maka keseluruhan angkatan laut Negara itu sudah siap tempur.

Mur ini sangat ringan, karena itu mesinnya tentu sangat ringan.

2. Fallacy of Division (Kekeliruan dalam Pembagian

Kekeliruan berfikir karena menetapkan sifat yang ada pada keseluruhannya, maka demikian juga setiap bagiannya, seperti :

Kompleks ini dibangun di atas tanah yang luas, tentulah kamar-kamar tidurnya juga luas.

Di perguruan tinggi para mahasiswa belajar hukum, ekonomi, sejarah, sastra, filsafat, teknik, kedokteran, arsitektur, karena itu setiap mahasiswa tentulah mempelajari semua ilmu-ilmu tersebut.

3. Fallacy of Accent (Kekeliruan Karena Tekanan)

Kekeliruan berfikir karena kekeliruan memberikan tekanan dalam pengucapan, seperti :

Ibu, ayah pergi (yang hendak dimaksud adalah ibu dan ayah pembicara sedang pergi. Seharusnya tidak ada penekanan pada ibu, sebab maknanya menjadi pemberitahuan pada ibu bahwa ayah baru saja pergi).

Kita tidak boleh membicarakan kejelekan, kawan. (Yang dimaksud, kita dilarang membicarakan kejelekan kawankita. Tetapi dengan memberi tekanan pada kejelekan, maknanya menjadi lain).

4. Fallacy of Amphiboly (Kekeliruan Karena Amfiboli)

Kekeliruan berfikir karena menggunakan susunan kalimat yang dapat ditafsirkan berbeda-beda, seperti dalam contoh klasik berikut :

Croesus raja Lydia tengah memikirkan untuk berperang melawan kerajan Persia. Sebagai raja yang berhati-hati ia tidak akan melaksanakan peperangan manakala tidak ada jaminan untuk menang. Oleh karena itu ia meminta pertimbangan pendeta Oracle Delphi, untuk mendapatkan sabda dewa. Ia mendapat jawaban berikut : Bila Croesus berangkat melawan Cyrus ia akan menghancurkan sebuah kerajaan besar. Puas dengan ramalan ini ia menyimpulak ia akan menang melawan Cyrus, raja Persia. Ia berangkat ke medan laga dan dalam tempo singkat pasukannya dapat ditumpas oleh Cyrus, dan ia sendiri ditawan. Waktu menunggu dihukum bunuh ia menulis surat, mencela sangat keras para pendeta di Oracle Delphi. Para pendeta menjawab bahwa bagaimanapun juga mereka benar, karena Croesus dalam peperangan telah menghancurkan sebuah kerajaan besar, kerajaannya sendiri.

Seorang anak muda datang kepda seorang peramal apakah judi yang pertama kali ia ikuti nanti malam akan menang atau kalah, ia mendapat jawaban ; Anda akan mendapat pengalaman bagus. Atas jawaban ini ia sangat puas dan menyimpulkan ia akan menang dalam perjudian. Ternyata ia kalah. Waktu ia kembali ke tempat tukang ramal dan menanyakan kenapa ramalannya meleset, tukang ramal itu menjawab ; Saya benar, sebab dengan kekalahan itu anda mendapat pengalaman yang bagus, bahwa judi itu membawa penderitaan.

5. Fallacy of Equivocation (Kekeliruan Karena Menggunakan Kata dalam Beberapa Arti)

Kekeliruan berfikir karena menggunakan kata yang sama dengan arti lebih dari satu, seperti :

Gajah adalah binatang, jadi gajah kecil adalah binatang yang kecil. (Kecil dalam ‘gajah kecil’ berbeda pengertiannya dengan kecil dalam ‘binatang kecil’).

Menunggu satu ¼ jam adalah lama, maka menggarap soal ujian ¼ jam adalah lama.[3]

III KESIMPULAN

Ø strategems atau fallacies; yakni kesalahan argumentasi karena kerancuan menggunakan bahasa atau kekeliruan berpikir.

Ø Mundiri membagi jenis-jenis kekeliruan itu ke dalam 3 kelompok besar ; kekeliruan formal yang berhubungan dengan bentuk dari premis-premis dalam silogisme, kekeliruan informal yang berhubungan dengan aspek materi dari suatu kesimpulan logis, dan kekeliruan penggunaan bahasa yang berhubungan dengan pelak-pelik ungkapan dan tata bahasa yang kemudian menyebabkan kesalahan penafsiran.

Ø A. Kekeliruan Formal

1. Fallacy of Four Terms (Kekeliruan Karena Menggunakan Empat Term)

2. fallacy of Unditributed Middle (Kekeliruan Karena Kedua Term Penengah Tidak Mencakup)

3. Fallacy of Illicit Process (Kekeliruan Karena Proses Tidak Benar)

4. Fallacy of Two Negative Premises (Kekeliruan Karena Menyimpulkan daru Dua Premis yang Negatif)

5. Fallacy of Affirming the Consequent (Kekeliruan Karena Mengakui Akibat)

6. Fallacy of Denying Antecedent (Kekeliruan Karena Menolak Sebab)

7. Fallacy of Disjunction (Kekeliruan dalam Bentuk Disyungtif)

8. Fallacy of Inconsistency (Kekeliruan Karena tidak Konsisten)

Ø B. Kekeliruan informal

1. Fallacy of Hasty Generalization (Kekeliruan Karena Membuat Generalisasi yang Terburu-buru)

2. Fallacy of Forced Hypothesis (Kekeliruan Karena Memaksakan Praduga)

3. Fallacy of Begging the Question (Kekeliruan Kerna Mengundang Permasalahan)

4. Fallacy of Circular Argument (Kekeliruan Karena Menggunakan Argumen yang Berputar

5. Fallacy of Argumentative Leap (Kekeliruan Karena Berganti Dasar)

6. Fallacy of Appealing to Authority (Kekeliruan Karena Mendasarakan pada Otoritas)

7. Fallacy of Appealing to Force (Kekeliruan Karena Mendasarkan Diri pada Kekuasaan)

8. Fallacy of Abusing (Kekeliruan Karena Menyerang Pribadi)

9. Fallacy of Ignorance (Kekeliruan Karena Kurang Tahu)

10. Fallacy of Complex Question (Kekeliruan Karena Pertanyaan yang Ruwet)

11. Fallacy of Oversimplification (Kekeliruan Karena Alasan Terlalu Sederhana)

12. Fallacy of Accident (Kekeliruan Karena Menetapkan Sifat)

13. Fallacy if Irrelevent Argument (Kekeliruan Karena Argumen yang TIdak Relevan)

14. Fallacy of False Analogy (Kekeliruan Karena Salah Mengambil Analogi)

15.Fallacy of Appealing to Pity (Kekeliruan Karena Mengundang Belas Kasihan)

Ø C. Kekeliruan Karena Penggunaan Bahasa

1. Fallacy of Compotition (Kekeliruan Karena Komposisi)

2. Fallacy of Division (Kekeliruan dalam Pembagian

3. Fallacy of Accent (Kekeliruan Karena Tekanan)

4. Fallacy of Amphiboly (Kekeliruan Karena Amfiboli)

5. Fallacy of Equivocation (Kekeliruan Karena Menggunakan Kata dalam Beberapa Arti)

DAFTAR PUSTAKA

H:\LOGIKA DAN LITERATUR_ MODAL BERPIKIR KRITIS « Kajian Islam.mht

http://filsafat-misbah.blogspot.com/2007/10/kekeliruan-berpikir.html

Mundiri, Logika, Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 2003, Cet ke-8,



[1] H:\LOGIKA DAN LITERATUR_ MODAL BERPIKIR KRITIS « Kajian Islam.mht

[2] http://filsafat-misbah.blogspot.com/2007/10/kekeliruan-berpikir.html

[3] Mundiri, Logika, (Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 2003), Cet ke-8, h. 211-224

Sejarah Akhlak

I PENDAHULUAN

Ilmu akhlak sebagai ilmu yang membahas tentang tingkah laku manusia untuk dinilai apakah perbuatan tersebut tergolong baik, mulia, terpuji atau sebaliknya, yakni buruk, hina dan tercela. Selain itu dalam ilmu ini dibahas pula ukuran kebahagiaan, keutamaan, kebijaksanaan, keindahan dan keadilan.

Persoalannya, mulai kapankah munculnya pembicaraan terhadap masalah akhlak tersebut? siapakah tokoh-tokoh yang mengemukakan pembicaraan terhadap berbagai masalah akhlak tersebut? Dan bagaimanakah perkembangannya hingga masa sekarang?

Untuk menjawab pertanyaan tersebut diperlukan data dan fakta sejarah. Namun kenyataan sementara ini menunjukkan bahwa sumber-sumber yang membicarakan masalah akhlak jarang sekali yang menyinggung sejarah pertumbuhan dan perkembangan akhlak tersebut. pembahasan tentang Ilmu Akhlak baru kita jumpai dalam karya Ahmad Amin berjudul al-Akhlak.

Dalam buku tersebut Ahmad Amin membahas pertumbuhan dan perkembangan akhlak menurut pendekatan kebangsaan, religi dan periodisasi. Dengan pendekatan seperti ini Ahmad Amin membehas pertumbuhan dan perkembangan akhlak pada bangsa Yunani, dalam abad pertengahan, pada bangsa Arab, pada agama Islam dan pada zaman baru.[1]

II PEMBAHASAN

A. Akhlak Pada Bangsa Yunani dan Abad Pertengahan

Perkembangan dan pertumbuhan ilmu akhlak pada bangsa Yunani baru terjadi setelah munculnya apa yang disebut Sophisticians, yaitu orang-orang yang bijaksana (500-450 SM). Sedangkan sebelum itu dikalangan bangsa Yunani tidak dijumpai pembicaraan mengenai akhlak, karena pada masa itu perhatian mereka tercurah pada penyelidikannya mengenai alam. Dasar yang digunakan pada pemikir Yunani dalam membangun Ilmu Akhlak adalah pemikiran filsafat tentang manusia, atau pemikiran tentang manusia. Ini menunjukkan bahwa Ilmu Akhlak yang mereka bangun lebih bersifat filosofis, yaitu filsafat yang bertumpu pada kajian secara mendalam terhadap potensi kejiwaan yang terdapat dalam diri manusia atau bersifat anthroposentris, dan mengesankan bahwa masalah akhlak adalah sesuatu yang fitri, yang akan ada dengan adanya manusia itu sendiri, dan hasil yang didapatnya adalah Ilmu Akhlak yang berdasar pada logika murni.

Golongan ahli-ahli filsafat menjadi guru di beberapa negeri. Buah pikiran dan pendapat mereka berbeda-beda akan tetapi tujuan mereka sama, yaitu menyiapkan angkatan muda Yunani, agar menjadi nasionalis yang baik lagi merdeka dan mengetahui kewajiban mereka terhadap tanah airnya.

Pendangan tentang kewajiban-kewajiban ini menimbulkan pandangan mengenai sebagian tradisi lama dan pelajaran-pelajaran yang dilakukan oleh orang-orang dahulu, yang demikian itu membangkitkan kemarahan kaum yang kolot “conservative”. Kemudian datang filsafat yang lain dan ia pun menentang sekaligus mengecam mereka, dan ia pun menuduh mereka suka mempermainkan dan memutarbalikan kenyataan. Oleh sebab itu, buruklah nama mereka, meskipun terkadang ada diantara mereka lebih jauh pandangannya pada zamannya. Kemudian datang pula Socrates (496-399 S.M) dengan menghadapkan perhatiannya kepada penyelidikan di dalam akhlak dan hubungan manusia yang satu dengan yang lain.

Socrates dipandang sebagai pertintis ilmu akhlak, karena ia yang pertama yang mengusahakan dengan sungguh-sungguh membentuk perhubungan dengan dasar ilmu pengetahuan. Dia berpendapat bahwa akhlak dan bentuk perhubungan itu tidak menjadi benar kecuali didasarkan kepada ilmu pengetahuan, sehingga ia berpendapat “keutamaan itu adalah ilmu”[2]

Karena itu tidak diketahuinya pandangan Socrates tentang tujuan yang terakhit tentan akhlak atau ukuran untuk mengetahui baik dan buruk sebuah perbuatan, maka timbullah beberapa golongan yang berbeda-beda pendapatnya tentang tujuan akhlak, lalu muncul beberapa paham mengenai akhlak sejak zaman itu hingga sekaranag ini. “Cynist” dan “Cyrenics” kedua pengikut Socrates; adapun Cynics hidup pada (444-370 S.M).

Diantara pelajaran mereka adalah bahwa ketuhanan itu bersih dari segala kebutuhan dan sebaik-baik manusia adalah yang berperangai dengan akhlak ketuhanan. Diantara pemimpin paham ini yang terkenal adalah Diogenes meninggal pada tahun 323 S.M. dia memberi pelajaran kepada kawan-kawannya supaya membuang beban yang ditentukan oleh ciptaan manusia dan perannya. Adapun Cyrenics, pemimpin mereka adalah Aristippus ia dilahirkan di Crena (kota di Barkah) di utara Afrika. Mereka sebaliknya Cynics berpendapat bahwa mencari kelezatan menjauhi kepedihan ialah satu-satunya tujuan yang benar untuk hidup, dan perbuatan itu dinamai utama bila timbul kelezatan yang lebih besar daripada kepedihan. Tatkala Cynics berpendapat bahwa kebahagiaan itu menghilangkan kejahatan dan menguranginya sedapat mungkin. Cynics berpendapat bahwa kebahagiaan itu dalam mencari kelezatan dan mengutamakannya.

Plato pada (427-347 S.M) seorang ahli filsafat Athena, dan murid Socrates. Pandangannya di dalam akhlak berdasarkan teori contoh ideal, pendapatnya bahwa di belakang yang lahir ini ada alam lain ialah alam rohani dan dia pun berpendapat pula di dalam alam rohani itu ada kekuatan bermacam-macam, dan kekuatan itu timbul dari pertimbangan tunduknya kekuatan pada hukum akal, dia berpendapat bahwa pokok-pokokkeutamaan ada 4. antara lain hikmah/kebijaksanaan, keberanian, keperwiraan, dan keadilan. Keempat-empatnya ini adalah tiang penegak bangsa-bangsa dan perorangan.

Lalu datang Aristoteles (394-322 S.M). dia murid Plato yang membangun suatu paham yang khas, yang mana pengikutnya diberi nama “Paripatetics” karena mereka memberikan pelajaran sambil berjalan. Ia berpendapat bahwa tujuan terakhir yang dikehendaki manusia mengenai segala perbuatannya ialah “bahagia” ia berpendapat bahwa jalan mencapai kebahagiaan ialah mempergunakan kekuatan akal pikiran sebaik-baiknya.[3]

Sebagaimana halnya dengan Plato, Aristoteles juga dikenal sebagai yang membawa teori pertengahan. Menurutnya bahwa tiap-tiap keutamaan adalah tengah-tengah diantara kedua keburukan. Dermawan misalnya adalah tengah-tengah antara boros dan kikir, keberanian adalah tengah-tengah antara membabi buta dan takut. Demikian dengan keutamaan yang lain.

Selanjutnya pemikir akhlak dari kalangan pemikir Yunani ini adalah Stoics dan Epicurus. Keduanya berbeda pendapat dalam hal mengemukakan pandangannya tentang kebaikan. Stoics berpendirian sebagaimana paham Cynics yang pandangannya telah dikemukakan di atas. Pendapatnya ini banyak diikuti oleh ahli filsafat di Yunani dan Romawi, dan pengikut-pengikutnya yang termasyur pada permulaan kerajaan Romawi adalah Seneca (6-65 SM), Epictetus (60-140 M) dan Kaisar Macus Orleus (121-180M).

Adapun Epicurus berdasarkan pemikirannya pada paham Cyrenics sebagaimana telah dikemukakan di atas. Paham mereka banyak diikuti di zaman baru ini, seperti Gassendi, seorang ahli filsafat Perancis (1592-1656). Dia membuka sekolahnya di Perancis dengan menghidupkan kembalipaham Epicurus. Sekolah ini telah melahirkan seorang pemikir bernama Mouliere dan orang-oranf termasyur lainnya.[4]

Pada akhir abad ketiga Masehi, tersiarlah agama Nasrani di Eropa. Ahama itu dapat merubah pikiran manusia dan membawa pokok-pokok akhlak yang tersebut dalam Taurat. Demikian juga memberi pelajaran kepada manusia bahwa Tuhan Allah sumber segala akhlak. Allahlah yang membuat segala patokan yang harus kita pelihara dalam bentuk hubungan kita, dan yangmenjelaskan arti baik dan jahat. Baik menurut arti yang sebenar-benarnya ialah kerelan Tuhan Allah dan melaksanakan perintah-perintahnya. Para pendeta menempati tempat kedudukan para ahli filsafat di Yunani. Sebagian ajaran Yunani cocok dengan ajaran filsafat Yunani terutama Stoics. Tidak banyak perbedaan dua ajaran ini dalam menetukan sesuatu, baik buruknya. Akan tetapi perbedaan itu yang terpenting ialah mengenal hubungan jiwa buat melakukan perbuatan.

Menurut ahli-ahli filsafat Yunani bahwa pendorong buat melakukan perbuatan baik ialah pengetahuan atau kebijaksanaan umpamanya, sedang menurut agama Nasrani bahwa pendorong untuk melakukan perbuatan baik itu ialah cinta kepada Tuhan Allah dan iman kepada-Nya.

Agama Nasrani mengaharap kepada manusia supaya usaha dengan sungguh-sungguh mensucikan dirinya, baik pikiran maupun perbuatan. Dan agama itu menjadi ruh, suatu kekuasaan penuh menganai badan dan keinginan (syahwat). Oleh karena itu kebanyakan pengikut peryama dari agama ini, suka mengabaikan badannya, menyingkir dari dunia yang fana, dan suka kepada yang zuhud, ibadah dan menyendiri.[5]

Keseluruhan ajaran akhlak yang dikemukakan para pemikir Yunani tersebut bersifat Rasionalistik. Penentuan baik dan buruk berdasarkan pada pendapat akal pikiran yang sehat dari manusia. Karenanya tidaklah salah kalau dikatakan bahwa ajaran akhlak yang dikemukakan para pemikir Yunani ini bersifat anthroposentris (memusat pada manusia). Pendapat akal yang demikian iti dapat saja diikuti sepanjang tidak bertentangan dengan al-Qur’an dan al-Sunnah.[6]Pemuka-pemuka yang termasyur adalah Abelard (1079-1142) dan Thomas Aquino (1226-1274).[7]

B. Akhlak Pada Bangsa Arab Sebelum dan Setelah Islam

Bangsa Arab pada zaman jahiliyah tidak ada yag menonjol dalam segi filsafat sebagaiman bangsa Yunani, Tiongkok dan lain-lain. Mungkin karena penyelidikan akhlak terjadi hanya pada bangsa yang sudah maju pengetahuannya. Sekalipun demikian, bangsa Arab waktu itu, mempunyai ahli-ahli hikmah yang menghidangkan syair-syair yang mengandung nilai-nilai akhlak, misalnya: Luqman, Aktsan Shaifi, Zubair bin Abi Sulma dan Hatim at-Thai. Setelah Islam memancar, maka berubahlah suasan laksana sinar matahari menghapus kegelapan malam.[8] Setelah masuknya Islam akhlak itu mesti berrdasarkan pada ajaran al-Qur’an dan Hadits. Sedikit dari bangsa Arab yang telah maju menyelidiki akhlak berdasarkan ilmu pengetahuan. Karena mereka telah mersa puas mengambil akhlak dari agama, mereka tidak merasa butuh kepada penyelidikan ilmiah mengenai dasar nilai baik dan buruk, dari sumber dan terbatas sekali. Oleh karena itu, agama menjadi dasar kebanyakan buku-buku yang ditulis dalam akhlak.

Tokoh yang termasyur dalam penyelidikan tentang akhlak berdasarkan ilmu pengetahuan adalah Abu Al-Farabi meninggal 339 H, Ikhwanus Shofa, Abu Ali Ibn Sina(370-428H). penyelidikan muslim yang tersebar mengenai akhlak disamping al-Ghazali adalah Ibnu Maskawih meninggal pada 421 H, telah menusun kitabnya yang terkenal (Tahzibul Akhlak wa Tathirul a’raaq). Beliau memadukan antara ajaran Plato, Aristoteles, Galinus, dengan ajaran-ajaran Islam.

C. Filsafat Akhlak dalam Zaman Baru

Pandangan filsafat lama, tidak memuaskan ahli-ahli fakir pada zaman baru. Oleh karena itu, timbullah reformasi pemikiran yang menonjolkan identitasnya sendiri, di antaranya adalah sebagai berikut[9] :

A. Decrates (1596-1650) seorang ahli fakir Perancis yang menjadi pembangun mahzab rasionalisme. Segala persangkaan yang bersalah dari adat kebiasaan harus ditolak. Untuk menerima sesuatu akal harus tampil melakukan pemeriksaan. Dari awal akallah yang menjadi pangkal untuk mengetahui dan mengukur segala sesuatu.

B. Spinoza (1632-1677) keturunan Yahudi yang melepaskan diri dari segala ikatan agama dengan menandaskan filsafatnya kepada rasionalisme. Menurut dia, untuk mencapai kebahagiaan manusia haruslah berdasarkan akal (rasio).

C. Herbert Spencer (1820-1903) mengemukakan paham pertumbuhan secara bertahap (evolusi) dalam akhlak manusia.

D. John Stuart Mill (1806-1873) yang memindahkan paham Epicurus ke paham Utilitarisme. Pahamnya tersebar di Eropa dan mempunyai pengaruh besar disana. Utilitarisme adalah paham yang memandang bahwa ukuran baik buruk sesuatu ditentukan gunanya.

E. Immanuel Kant (1724-1804) ahli pikir Jerman terkemuka. Dalam bidang etika ia meyakini adanya kesusilaan. Titik berat etikanya ialah rasa kewajiban (panggilan hati nurani) untuk melakukan sesuatu. Rasa kewajiban melakukan sesuatu berpangkal pada budi.[10]

Dapatlah dikatakan bahwa pada zaman baru ini bermunculan berbagai mahzab etika. Ada yang memperbaharui paham lama ada yang secara radikal mengadakan recolusi pemikiran, tetapi tidak sedikit pula yang mempertahankan etika teologis yaitu ajaran akhlak yang berpangkal pada ketuhanan[11]

III KESIMPULAN

Perkembangan dan pertumbuhan ilmu akhlak pada bangsa Yunani baru terjadi setelah munculnya apa yang disebut Sophisticians, yaitu orang-orang yang bijaksana (500-450 SM).

Dasar yang digunakan pada pemikir Yunani dalam membagun Ilmu Akhlak adalm pemikiran filsafat tentang manusia, atau pemikiran tentang manusia. Ini menunjukkan bahwa Ilmu Akhlak yang mereka bangun lebih bersifat filosofis, yaitu filsafat yang bertumpu pada kajian secara mendalam terhadap potensi kejiwaan yang terdapat dalm diri manusia atau bersifat anthroposentris, dan mengesankan bahwa masalah akhlak adalah sesuatu yang fitri, yang akan ada dengan adanya manusia itu sendiri, dan hasil yang didapatnya adalah Ilmu Akhlak yang berdasar pada logika murni.

Agama Nasrani mengaharap kepada manusia supaya usaha dengan sungguh-sungguh mensucikan dirinya, baik pikiran maupun perbuatan. Dan agama itu menjadi ruh, suatu kekuasaan penuh menganai badan dan keinginan (syahwat). Oleh karena itu kebanyakan pengikut peryama dari agama ini, suka mengabaikan badannya, menyingkir dari dunia yang fana, dan suka kepada yang zuhud, ibadah dan menyendiri.

Setelah masuknya Islam akhlak itu mesti berrdasarkan pada ajaran al-Qur’an dan Hadits. Sedikit dari bangsa Arab yang telah maju menyelidiki akhlak berdasarkan ilmu pengetahuan. Karena mereka telah mersa puas mengambil akhlak dari agama, mereka tidak merasa butuh kepada penyelidikan ilmiah mengenai dasar nilai baik dan buruk, dari sumber dan terbatas sekali. Oleh karena itu, agama menjadi dasar kebanyakan buku-buku yang ditulis dalam akhlak.

DAFTAR PUSTAKA

Amin, Ahmad, Ilmu Akhlak (terj.) K.H. Farid Ma’ruf dari judul asli al-akhlak, Jakarta : Bulan Bintang, 1975.

Ardani, Moh, Dr., Prof., Akhlak Tasawuf (Nilai-Nilai Akhlak/Budipekerti dalam Ibadah dan Tasawuf), Jakarta : CV Karya Mulia, 2005.

Nata, Abuddin, Dr., Prof., Akhlak Tasawuf, Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 2003.

Ya’qub, Hamzah, Etika Islam Pembinaan Akhlakul Karimah (Suatu Pengantar), Bandung : CV Diponegoro, 1988.



[1] Ahmad Amin, Ilmu Akhlak (terj.) K.H. Farid Ma’ruf dari judul asli al-akhlak, (Jakarta : Bulan Bintang,1975, Cet ke-1, h. 141

[2] Moh Ardani, Akhlak Tasawuf (Nilai-Nilai Akhlak/Budipekerti dalam Ibadat dan Tasawuf), (Jakarta : CV. Karya Mulia, 2005) Cet ke-II, h.34

[3] Moh Ardani, Akhlak Tasawuf (Nilai-Nilai Akhlak/Budipekerti dalam Ibadat dan Tasawuf), (Jakarta : CV. Karya Mulia, 2005) Cet ke-II, h.34-35.

[4] Moh Ardani, Akhlak Tasawuf (Nilai-Nilai Akhlak/Budipekerti dalam Ibadah dan Tasawuf), (Jakarta : CV Karya Mulia, 2005), Cet ke-3, h. 36

[5] Ahmad Amin,. Ilmu Akhlak (terj.) K.H. Farid Ma’ruf dari judul asli al-akhlak, (Jakarta : Bulan Bintang),1975, Cet ke-1, h. 141

[6] Abuddin Nata, Akhlak Tasawuf, (Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 2003), Cet ke-5, h.63

[7] Hamzah Ya’qub, Etika Islam Pembinaan Akhlaqulkarimah (Suatu Pengantar), (Bandung : CV Dipenegoro, 1988), Cet ke-4, h. 41

[8] Hamzah Ya’qub, Etika Islam Pembinaan Akhlaqulkarimah (Suatu Pengantar), (Bandung : CV Dipenegoro, 1988), Cet ke-4, h. 40

[9] Hamzah Ya’qub, Etika Islam Pembinaan Akhlakul Karimah (suatu pengantar), (Bandung : CV Diponegoro, 1988), Cet ke-4, h.40.

[10] Hamzah Ya’qub, Etika Islam Pembinaan Akhlakul Karimah (suatu pengantar), (Bandung : CV Diponegoro, 1988), Cet ke-4, h.40-41.

[11] Hamzah Ya’qub, Etika Islam Pembinaan Akhlakul Karimah (suatu pengantar), (Bandung : CV Diponegoro, 1988), Cet ke-4, h.41.