Mengenai Saya

Foto saya
Aku hanyalah seoarang manusia yang bisa saja salah dalam setiap kata yang telah aku ucapkan, tulisan yang telah aku buat.jika terdapat kesalahan kata, tanda baca, nama, dsb harap dimaklumi, Sungguh, Allahlah yang maha sempurna dengan segala sesuatu, dan aku hanyalah manusia yang terkadang alfa atas setiap hal yang telah kulalui.

Jumat, 27 Mei 2011

KEKELIRUAN BERFIKIR

KEKELIRUAN BERFIKIR

I. PENDAHULUAN

Berpikir adalah aktivitas yang dilakukan oleh seluruh manusia. Suatu aktivitas yang berhubungan erat dengan kerja akal. Akal manusialah yang menjadi salah satu alat menyerap pengetahuan, menemukan dan membedakan mana yang benar atau keliru.

Namun, manusia yang memiliki pengetahuan terbatas ataupun belum memaksimalkan fungsi akalnya terkadang terjebak kepada kekeliruan atau kerancuan dalam berpikir. Hal ini wajar, karena akal bekerja berdasarkan hukum-hukum universal tertentu. Ketidaktaatan terhadap hukum-hukum universal dalam berpikir, menjadikan seseorang melakukan kekeliruan atau kesalahan. Dalam ungkapan yang lebih ekstrem, seseorang yang tidak menaati hukum berpikir dapatlah dikatakan sebagai seseorang yang tidak rasional (irrasional).

Orang kemudian mengenal hukum-hukum berpikir rasional yang universal itu dengan istilah Logika. Suatu istilah yang diperkenalkan oleh Aristoteles, filsuf Yunani kuno. Di dunia Arab (Islam), Logika kemudian populer dengan istilah Mantiq. Dan kekeliruan berpikir adalah salah satu bagian penting yang dibahas dalam studi tentang logika

Bagi setiap orang, apalagi kaum cendekiawan, menghindari melakukan kekeliruan dalam berpikir ini menjadi suatu keharusan. Sebab dari proses berpikirlah kehidupan, budaya, tradisi, bahkan sebuah peradaban dibangun. Bukankah peradaban yang berakar dan dibangun dari cara berpikir yang salah akan menyengsarakan manusia. Jalaludin Rahmat, cendekiawan muslim Indonesia itu bahkan menempatkan kekeliruan berpikir sebagai salah satu penghambat pertama dan utama proses rekayasa sosial dalam masyarakat.

II. PEMBAHASAN

Dalam logika dikenal istilah strategems atau fallacies; yakni kesalahan argumentasi karena kerancuan menggunakan bahasa atau kekeliruan berpikir. Bila logika mengajarkan kepada kita tehknik berpikir kritis, strategems adalah teknik berpikir tidak kritis.[1]

Banyak pengelompokan yang dilakukan oleh berbagai pemikir terhadap aspek-aspek yang termasuk ke dalam kekeliruan berpikir, baik secara umum maupun secara detail. Tapi dari berbagai pembagian aspek yang berhubungan dengan kekeliruan itu, pembagian oleh Mundiri (Logika, 1994), sepertinya merupakan salah satu pembagian yang cukup akurat dan sederhana. Mundiri membagi jenis-jenis kekeliruan itu ke dalam 3 kelompok besar ; kekeliruan formal yang berhubungan dengan bentuk dari premis-premis dalam silogisme, kekeliruan informal yang berhubungan dengan aspek materi dari suatu kesimpulan logis, dan kekeliruan penggunaan bahasa yang berhubungan dengan pelak-pelik ungkapan dan tata bahasa yang kemudian menyebabkan kesalahan penafsiran. Ketiga kelompok besar ini, memerlukan uraian tersendiri untuk dapat kita ketahui bagian-bagiannya.[2]

A. Kekeliruan Formal

1. Fallacy of Four Terms (Kekeliruan Karena Menggunakan Empat Term)

Kekeliruan berfikir karena menggunakan empat term dalam silogisme. Ini terjadi karena term penengah diartikan ganda, sedangkan dalam patokan diharuskan hanya tiga term, seperti :

Semua perbuatan mengganggu orang lain diancam dengan hukuman. Menjual barang di bawah harga tetangganya adalah mengganggu kepentingan orang lain. Jadi menjual harga di bawah tetangganya diancam dengan hukuman

Orang yang berpenyakit menular harus diasingkan.

Orang berpenyakit panu adalah membuat penularan penyakit, jadi harus diasingkan.

2. fallacy of Unditributed Middle (Kekeliruan Karena Kedua Term Penengah Tidak Mencakup)

Kekeliruan berfikir karena tidak satu pun dari kedua term penengah mencakup, seperti :

Orang yang terlalu banyak belajar kurus. Dia kurus sekali, karena itu tentulah ia banyak belajar. Semua anggota PBB adalah Negara merdeka. Negara itu tentu menjadi anggota PBB karena memang negara merdeka.

3. Fallacy of Illicit Process (Kekeliruan Karena Proses Tidak Benar)

Kekeliruan berfikir karena term premis tidak mencakup (undistributed) tetapo dalam konklusi mencakup, seperti :

Kura-kura adalah binatang melata. Ular bukan kura-kura, karena iitu ia bukan binatang melata.

Kuda adalah binatang, sapi bukan kuda jadi ia bukan binatang.

4. Fallacy of Two Negative Premises (Kekeliruan Karena Menyimpulkan daru Dua Premis yang Negatif)

Kekeliruan berfikir karena mengambil kesimpulan dari dua premis negative. Apabila terjadi demikian sebenarnya tidak bisa ditarik konklusi.

Tidak satu pun drama yang baik mudah dipertontonkan dan tidak sati pun drama Shakespeare mudah dipertontonkan, maka semua drama Shakespeare adalah baik.

Tidak satu pun barang yang baik itu murah dan semua barang di took itu adalah tidak murah, jadi kesemua barang di toko itu adalah baik.

5. Fallacy of Affirming the Consequent (Kekeliruan Karena Mengakui Akibat)

Kekeliruan berfikir dalam silogisme hipoteka karena membenarkan akibat kemudian membenarkan pula akibatnya, seperti :

Bila kita bisa berkendaraan secapat cahaya, maka kita bisa mendarat di bulan. Kit atelah dapat mendarat di bulan berarti kita telah dapat berkendaraan secepat cahaya.

Bila pecah perang harga barang-barang baik. Sekarang harga naik, jadi perang telah pecah.

6. Fallacy of Denying Antecedent (Kekeliruan Karena Menolak Sebab)

Kekeliruan berfikir dalah silogisme hipoteka karena mengingkari sebab kemudian disimpulkan bahwa akibat juga tidak terlaksana, seperti :

Bila permintaan bertambah harga naik. Nah, sekarang permintaan tidak bertambah, jadi harga naik.

Bila datang elang maka ayam berlarian, sekarang elang tidak datang, jadi ayam tidak berlarian.

7. Fallacy of Disjunction (Kekeliruan dalam Bentuk Disyungtif)

Kekeliruan berfikir terjadi dalam silogisme disyungtif karena mengingkari alternative pertama, kemudian membenarkan alternative lain. Padahal menurut patokan, pengingkaran alternative pertama, bisa juga tidak terlaksananya alternative yang lain, seperti :

Dia lari ke Jakarta atau ke Bandung. Ternyata tidak di Bandung, berarti dia ada di Jakarta. (Dia bisa tidak di Bandung maupun di Jakarta)

Dia menulis cerita atau pergi ke Surabaya. Dia tidak pergi ke Surabaya, jadi ia tentu menulis cerita.

8. Fallacy of Inconsistency (Kekeliruan Karena tidak Konsisten)

Kekeliruan berfikir karena tidak runtutnya pernyataan yang satu dengan pernyataan yang diakui sebelumnya, seperti :

Anggarang Dasar organisasi kita sudah sempurna ; kita perlu melengkapi beberapa fasal agar komplit.

Tuhan adalah Maha kuasa, karena itu Ia bisa menciptakan Tuhan lain yang lebih kuasa dari Dia.

B. KEKELIRUAN INFORMAL

1. Fallacy of Hasty Generalization (Kekeliruan Karena Membuat Generalisasi yang Terburu-buru)

Kekeliruan berfikir karena tergesa-gesa membuat generalisasi, yaitu mengambil kesimpulan umum dari kasus individual yang terlampau sedikit, sehinggga kesimpulan yang ditarik melampau batas lingkungannya, seperti :

Dia orang Islam mengapa membunun. Kalau begitu orang Islam memang jahat.

Panen di kabupaten itu gagal, kalau begitu tahun ini Indonesia harus mengimpor beras.

2. Fallacy of Forced Hypothesis (Kekeliruan Karena Memaksakan Praduga)

Kekeliruan berfikir karena menetapkan kebenaran suatu dugaan, seperti :

Seorang pegawai datang ke kantor dengan luka goresan di pipinya. Seseorang menyatakan bahwa istrinyalah yang melukainya dalam suatu percekcokan karena diketahuinya selama ini orang itu kurang harmonis hubungannya dengan istrinya, padahal sebenarnya karean goresan besi pagar

Dua orang tengah berbicara dnegan berbisik-bisik. Kemudian datang seseorang yang kebetulan mempunyai hugungan tidak baik dnegan salah satu di antara mereka. Orang yang datang ini kemudian berkata ; ‘Kau memang tidak suka padaku’. Kejelakanku kau siarkan ke mana-mana. (Padahal dua orang yang berbincang itu tengah merundingkan masalah lain)

3. Fallacy of Begging the Question (Kekeliruan Kerna Mengundang Permasalahan)

Kekeliruan berfikir karena mengambil konklusi dari premis yang sebenarnya harus dibuktikan dahulu kebenarannya, seperti :

Allah itu mesti ada karena ada bumi.

(di sini orang akan membuktikan bahwa Allah itu ada dengan dasar adanya bumi, tetapi tidak dibuktikan bahwa bumi adalah ciptaan Allah).

Surat kabar X merupaka sumber informasi yang reliable, karena beritanya tidak pernah basi. (Di sini orang hendak membuktikan bahwa surat kabar X memang merupakan sumber informasi yang dapat dipercaya berdasarkan pemberitaannya yang up to date, tanpa dibuktikan pemberitaannya memang dapat diuji kebenarannya).

4. Fallacy of Circular Argument (Kekeliruan Karena Menggunakan Argumen yang Berputar)

Kekeliruan berfikir karena menarik konklusi dari satu premis kemudian konklusi tersebut dijadikan premis sedangkan premis semula dijadikan konklusi pada argumen berikutnya, seperti ;

Sarjana-sarjana lulusan perguruan tinggi Omega kurang bermutu Karen organisasinya kurang baik. Mengapa organisasi perguruan tinggi itu kurang baik? Dijawab karean lulusan perguruan tinggi itu kurang bermutu.

Ekonomi Negara X tidak baik karena banyak pegawai yang korupsi. Mengapa banyak pegawai yang korupsi? Jawabnya karena ekonimi Negara kurang baik.

5. Fallacy of Argumentative Leap (Kekeliruan Karena Berganti Dasar)

Kekeliruan berfikir karena mengambil kesimpulan yang tidak diturunkan dari premisnya. Jadi mengambil kesimpuulan melompat dari dasar semula, seperti

Ia kelak menjadi mahaguru yang cerdas, sebab orang tuanya kaya.

Pantas ia cantik Karena pendidikannya tinggi.

Bentuk tulisannya bagus, jadi ia adalah anak yang pandai.

6. Fallacy of Appealing to Authority (Kekeliruan Karena Mendasarakan pada Otoritas)

Kekeliruan berfikir karena mendasarkan diri pada kewibawaan atau kehormatan seseorang tetapi dipergunakan untuk permasalahan di luar otoritas ahli tersebut, seperti:

Pisau cukur ini sangat baik, sebab Rudi Hartono selalu menggunakannya. (Rudi Hartono adalah seorang olah ragawan, ia tidak mempunyai otoritas untuk menilai bagusnya logam yang dipakai untuk membuat pisau cukur).

Bangunan ini sungguh kokoh, sebab dokter Haris mengatakan demikian. (Dokter Haris adalah ahli kesehatan, bukan insinyur bangunan).

7. Fallacy of Appealing to Force (Kekeliruan Karena Mendasarkan Diri pada Kekuasaan)

Kekeliruan berfikir karena berargumen dengan kekuasaan yang dimiliki, seperti menolak pendapat/argumen seseorang dengan menyatakan:

Kau maswih juga membantah pendapatku. Kau baru satu tahun duduk dibangku perguruan tinggi, aku sudah lima tahun.

Ketika ditanyakan kepada Stalin tentang kemungkinan perwakilan Paus dari Roma dalam konferensi-konferensi Internasional, ia menjawab: Berapa divisi tentara yang dimiliki Paus dari Roma itu untuk suatu perang terbuka? (Di sini Stalin hendak menolak usul itu dengan menunjukkan bahwa Paus tidak mempunyai kekuatan militer yang cukup).

8. Fallacy of Abusing (Kekeliruan Karena Menyerang Pribadi)

Kekeliruan berfikir karena menolak argumen yang dikemukakan seseorang dengan menyerang pribadinya, seperti:

Dia adalah seseorang yang brutal, jangan dengarkan pendapatnya.

Jangan dengarkan gagasan dia tentang konsep kemajuan desa ini. Waktu ia menjabat kepala desa di sini ia menyelewengkan uang Bandes (Bantuan Desa).

9. Fallacy of Ignorance (Kekeliruan Karena Kurang Tahu)

Kekeliruan berfikir karena menganggap bila lawan bicara tidak bisa membuktikan kesalahan argumentasinya, dengna sendirinya argumentasi yang dikemukakannya benar, seperti :

Sudah beberapa kali kau kemukakan alasanmu tetapi tidak terbukti gagasanku salah. Inilah buktinya bahwa pendapatku benar.

Kalau kau tidak bisa membuktikan bahwa hantu itu ada maka teranglah pendapatku benar, bahwa hantu itu tidak ada.

10. Fallacy of Complex Question (Kekeliruan Karena Pertanyaan yang Ruwet)

Kekeliruan berfikir karena mengajukan pertanyaan yang bersifat menjebak, seperti :

Jam berapa kau pulang semalam? ;(Yang ditanya sebenarnya tidak pergi. Penanya hendak memaksakan pengakuan bahwa yang ditanya semalam pergi).

Jadi, anda sekarang berhenti dari kebiasaan menganiaya istri anda? (Penanya hendak memaksakan pengakuan bahwa yang ditanya pernah menganiaya istrinya). Jika pertanyaan ini dijawab dengan “ya” berarti orang yang ditanya setidak-tidaknya pernah menganiaya istrinya. Bila dijawab “tidak” berarti yang ditanya terus melaksanakan kebiasaan jeleknya menganiaya istrinya; padahal orang yang ditanya barangkali memang belum pernah melakukan penganiayaan kepada istrinya.

11. Fallacy of Oversimplification (Kekeliruan Karena Alasan Terlalu Sederhana)

Kekeliruan berfikir karena berargumentasi dengan alasan yang tidak kuat atau tidak cukup bukti, seperti :

Kendaraan buatan Honda adalah terbaik, karena paling bnyak peminatnya.

Marilah kita jaga agar pikiran kita yang suci ini jangan sampai dikotori oleh jalan pikiran ahli teologi, karena permasalahn teologi adalah meyesatkan pikiran kita. Coba pikir dalam permasalahan kejahatan berarti Tuhan adalah jahat; sedangkan bika Tuhan tidak menghendaki kejahatan berarti Tuhan itu lemah, karena di dunia ini kejahatan selalu ada. Coba tuan-tuan milih alternatif mana. Inilah bukti ilmu teolog adalah menyesatkan. (di sini seseorang hendak mengajak orang lain agar menjauhi penyelidika di bidang teolog dengan mengajukan bukti yang belum cukup kuat bahwa teolog memang harus dihindari).

12. Fallacy of Accident (Kekeliruan Karena Menetapkan Sifat)

Kekeliruan berfikir karena menetapkan sifat bukan keharusan yang ada pada suatu benda bahwa sifat itu tetap ada selamanya, seperti :

Daging yang kita makan hari ini adalah dibeli kemarin. Daging yang dibeli kemarin adalag daging mentah. Jadi hari ini kita makan daging mentah.

13. Fallacy if Irrelevent Argument (Kekeliruan Karena Argumen yang TIdak Relevan)

Kekeliruan berfikir karena mengajukan argument yang tidak ada hubungannya dengan masalah yang menjadi pokok pembicaraan, seperti :

Pisau silet itu berbahaya daripada peluru, karena tangan kita seringkali teriris oleh pisau silet dan tidak pernah oleh peluru.

Kau tidak mau mengenakan baju yang aku belikan. Apakah engkai mau telanjang berangkat ke perjamuan itu?

14. Fallacy of False Analogy (Kekeliruan Karena Salah Mengambil Analogi)

Kekeliruan berfikir karena menganalogikan dua permasalahan yang kelihatannya mirip, tetapi sebenarnya berbeda secara mendasar, seperti :

Saya heran mengapa banyak orang takut menggunakan kapal terbang dalam bepergian karena banyak orang tewas kerana kecelakaan kapal terbang. Kalau begitu sebaiknya orang jangan tidur di tempat tidur, karena hampir semua orang menemui ajalnya di tempat tidur.

Seniman patung memerlukan bahan untuk menciptakan karya-karya seni, maka Tuhan pun memerlukan bahan dalam menciptakan alam semesta.

15.Fallacy of Appealing to Pity (Kekeliruan Karena Mengundang Belas Kasihan)

Kekeliruan berfikir karena menggunakan uarain yang sengaja menarik belas kasihan untuk mendapatkan konklusi yang diharapkan. Uraian itu sendiri tidak salah tetapi menggunakan uraian-uraian yang menarik belas kasihan agar kesimpulan menjadi lain. Padahal masalahnya berhubungan dengan fakta, bukan dengan perasan inilah letak kekeliruannya. Kekeliruan pikir ini sering digunakan dalam peradilan oleh pembela atau terdakwa, agar hakim memberikan keputusan yang sebaik-baiknya, seperti pmbelaan Clarence Darrow, seorang penasihat hukum terhadap Thomas I Kidd yang dituduh bersekongkol dalam beberapa perbuatan criminal dengan mengatakan sebagai berikut :

Saya sampaikan pada anda (para yuri), bukan untuk kepentingan Thomas Kidd tetapi menyangkut permasalahan yang panjang, ke belakang ke masa yang sudah lampau maupun ke depan masa yang akan datang, yang menyangkut seluruh manusia di bumi. Saya katakan pada anda bukan untuk Kidd, tetapi untuk mereka yang bangun pagi sebelum dunia menjadi terang dan pulang pada malam hari setelah langit diteraingi bintang-bintang, mengorbankan kehidupan dan kesenangnnya, bekerja berat demi terselenggarakannya kemakmuran dan kebesaran, saya sampaikan pada anda demi anak-anak yang sekarang hidup maupun yang akan lahir.

C. KEKELIRUAN KARENA PENGGUNAAN BAHASA

1. Fallacy of Compotition (Kekeliruan Karena Komposisi)

Kekeliruan berfikir karena menetapkan sifat yang ada pada bagian untuk menyifati keseluruhannya, seperti :

Setiap kapal perang telah siap, maka keseluruhan angkatan laut Negara itu sudah siap tempur.

Mur ini sangat ringan, karena itu mesinnya tentu sangat ringan.

2. Fallacy of Division (Kekeliruan dalam Pembagian

Kekeliruan berfikir karena menetapkan sifat yang ada pada keseluruhannya, maka demikian juga setiap bagiannya, seperti :

Kompleks ini dibangun di atas tanah yang luas, tentulah kamar-kamar tidurnya juga luas.

Di perguruan tinggi para mahasiswa belajar hukum, ekonomi, sejarah, sastra, filsafat, teknik, kedokteran, arsitektur, karena itu setiap mahasiswa tentulah mempelajari semua ilmu-ilmu tersebut.

3. Fallacy of Accent (Kekeliruan Karena Tekanan)

Kekeliruan berfikir karena kekeliruan memberikan tekanan dalam pengucapan, seperti :

Ibu, ayah pergi (yang hendak dimaksud adalah ibu dan ayah pembicara sedang pergi. Seharusnya tidak ada penekanan pada ibu, sebab maknanya menjadi pemberitahuan pada ibu bahwa ayah baru saja pergi).

Kita tidak boleh membicarakan kejelekan, kawan. (Yang dimaksud, kita dilarang membicarakan kejelekan kawankita. Tetapi dengan memberi tekanan pada kejelekan, maknanya menjadi lain).

4. Fallacy of Amphiboly (Kekeliruan Karena Amfiboli)

Kekeliruan berfikir karena menggunakan susunan kalimat yang dapat ditafsirkan berbeda-beda, seperti dalam contoh klasik berikut :

Croesus raja Lydia tengah memikirkan untuk berperang melawan kerajan Persia. Sebagai raja yang berhati-hati ia tidak akan melaksanakan peperangan manakala tidak ada jaminan untuk menang. Oleh karena itu ia meminta pertimbangan pendeta Oracle Delphi, untuk mendapatkan sabda dewa. Ia mendapat jawaban berikut : Bila Croesus berangkat melawan Cyrus ia akan menghancurkan sebuah kerajaan besar. Puas dengan ramalan ini ia menyimpulak ia akan menang melawan Cyrus, raja Persia. Ia berangkat ke medan laga dan dalam tempo singkat pasukannya dapat ditumpas oleh Cyrus, dan ia sendiri ditawan. Waktu menunggu dihukum bunuh ia menulis surat, mencela sangat keras para pendeta di Oracle Delphi. Para pendeta menjawab bahwa bagaimanapun juga mereka benar, karena Croesus dalam peperangan telah menghancurkan sebuah kerajaan besar, kerajaannya sendiri.

Seorang anak muda datang kepda seorang peramal apakah judi yang pertama kali ia ikuti nanti malam akan menang atau kalah, ia mendapat jawaban ; Anda akan mendapat pengalaman bagus. Atas jawaban ini ia sangat puas dan menyimpulkan ia akan menang dalam perjudian. Ternyata ia kalah. Waktu ia kembali ke tempat tukang ramal dan menanyakan kenapa ramalannya meleset, tukang ramal itu menjawab ; Saya benar, sebab dengan kekalahan itu anda mendapat pengalaman yang bagus, bahwa judi itu membawa penderitaan.

5. Fallacy of Equivocation (Kekeliruan Karena Menggunakan Kata dalam Beberapa Arti)

Kekeliruan berfikir karena menggunakan kata yang sama dengan arti lebih dari satu, seperti :

Gajah adalah binatang, jadi gajah kecil adalah binatang yang kecil. (Kecil dalam ‘gajah kecil’ berbeda pengertiannya dengan kecil dalam ‘binatang kecil’).

Menunggu satu ¼ jam adalah lama, maka menggarap soal ujian ¼ jam adalah lama.[3]

III KESIMPULAN

Ø strategems atau fallacies; yakni kesalahan argumentasi karena kerancuan menggunakan bahasa atau kekeliruan berpikir.

Ø Mundiri membagi jenis-jenis kekeliruan itu ke dalam 3 kelompok besar ; kekeliruan formal yang berhubungan dengan bentuk dari premis-premis dalam silogisme, kekeliruan informal yang berhubungan dengan aspek materi dari suatu kesimpulan logis, dan kekeliruan penggunaan bahasa yang berhubungan dengan pelak-pelik ungkapan dan tata bahasa yang kemudian menyebabkan kesalahan penafsiran.

Ø A. Kekeliruan Formal

1. Fallacy of Four Terms (Kekeliruan Karena Menggunakan Empat Term)

2. fallacy of Unditributed Middle (Kekeliruan Karena Kedua Term Penengah Tidak Mencakup)

3. Fallacy of Illicit Process (Kekeliruan Karena Proses Tidak Benar)

4. Fallacy of Two Negative Premises (Kekeliruan Karena Menyimpulkan daru Dua Premis yang Negatif)

5. Fallacy of Affirming the Consequent (Kekeliruan Karena Mengakui Akibat)

6. Fallacy of Denying Antecedent (Kekeliruan Karena Menolak Sebab)

7. Fallacy of Disjunction (Kekeliruan dalam Bentuk Disyungtif)

8. Fallacy of Inconsistency (Kekeliruan Karena tidak Konsisten)

Ø B. Kekeliruan informal

1. Fallacy of Hasty Generalization (Kekeliruan Karena Membuat Generalisasi yang Terburu-buru)

2. Fallacy of Forced Hypothesis (Kekeliruan Karena Memaksakan Praduga)

3. Fallacy of Begging the Question (Kekeliruan Kerna Mengundang Permasalahan)

4. Fallacy of Circular Argument (Kekeliruan Karena Menggunakan Argumen yang Berputar

5. Fallacy of Argumentative Leap (Kekeliruan Karena Berganti Dasar)

6. Fallacy of Appealing to Authority (Kekeliruan Karena Mendasarakan pada Otoritas)

7. Fallacy of Appealing to Force (Kekeliruan Karena Mendasarkan Diri pada Kekuasaan)

8. Fallacy of Abusing (Kekeliruan Karena Menyerang Pribadi)

9. Fallacy of Ignorance (Kekeliruan Karena Kurang Tahu)

10. Fallacy of Complex Question (Kekeliruan Karena Pertanyaan yang Ruwet)

11. Fallacy of Oversimplification (Kekeliruan Karena Alasan Terlalu Sederhana)

12. Fallacy of Accident (Kekeliruan Karena Menetapkan Sifat)

13. Fallacy if Irrelevent Argument (Kekeliruan Karena Argumen yang TIdak Relevan)

14. Fallacy of False Analogy (Kekeliruan Karena Salah Mengambil Analogi)

15.Fallacy of Appealing to Pity (Kekeliruan Karena Mengundang Belas Kasihan)

Ø C. Kekeliruan Karena Penggunaan Bahasa

1. Fallacy of Compotition (Kekeliruan Karena Komposisi)

2. Fallacy of Division (Kekeliruan dalam Pembagian

3. Fallacy of Accent (Kekeliruan Karena Tekanan)

4. Fallacy of Amphiboly (Kekeliruan Karena Amfiboli)

5. Fallacy of Equivocation (Kekeliruan Karena Menggunakan Kata dalam Beberapa Arti)

DAFTAR PUSTAKA

H:\LOGIKA DAN LITERATUR_ MODAL BERPIKIR KRITIS « Kajian Islam.mht

http://filsafat-misbah.blogspot.com/2007/10/kekeliruan-berpikir.html

Mundiri, Logika, Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 2003, Cet ke-8,



[1] H:\LOGIKA DAN LITERATUR_ MODAL BERPIKIR KRITIS « Kajian Islam.mht

[2] http://filsafat-misbah.blogspot.com/2007/10/kekeliruan-berpikir.html

[3] Mundiri, Logika, (Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 2003), Cet ke-8, h. 211-224

Tidak ada komentar: