I PENDAHULUAN
Ilmu akhlak sebagai ilmu yang membahas tentang tingkah laku manusia untuk dinilai apakah perbuatan tersebut tergolong baik, mulia, terpuji atau sebaliknya, yakni buruk, hina dan tercela. Selain itu dalam ilmu ini dibahas pula ukuran kebahagiaan, keutamaan, kebijaksanaan, keindahan dan keadilan.
Persoalannya, mulai kapankah munculnya pembicaraan terhadap masalah akhlak tersebut? siapakah tokoh-tokoh yang mengemukakan pembicaraan terhadap berbagai masalah akhlak tersebut? Dan bagaimanakah perkembangannya hingga masa sekarang?
Untuk menjawab pertanyaan tersebut diperlukan data dan fakta sejarah. Namun kenyataan sementara ini menunjukkan bahwa sumber-sumber yang membicarakan masalah akhlak jarang sekali yang menyinggung sejarah pertumbuhan dan perkembangan akhlak tersebut. pembahasan tentang Ilmu Akhlak baru kita jumpai dalam karya Ahmad Amin berjudul al-Akhlak.
Dalam buku tersebut Ahmad Amin membahas pertumbuhan dan perkembangan akhlak menurut pendekatan kebangsaan, religi dan periodisasi. Dengan pendekatan seperti ini Ahmad Amin membehas pertumbuhan dan perkembangan akhlak pada bangsa Yunani, dalam abad pertengahan, pada bangsa Arab, pada agama Islam dan pada zaman baru.[1]
II PEMBAHASAN
A. Akhlak Pada Bangsa Yunani dan Abad Pertengahan
Perkembangan dan pertumbuhan ilmu akhlak pada bangsa Yunani baru terjadi setelah munculnya apa yang disebut Sophisticians, yaitu orang-orang yang bijaksana (500-450 SM). Sedangkan sebelum itu dikalangan bangsa Yunani tidak dijumpai pembicaraan mengenai akhlak, karena pada masa itu perhatian mereka tercurah pada penyelidikannya mengenai alam. Dasar yang digunakan pada pemikir Yunani dalam membangun Ilmu Akhlak adalah pemikiran filsafat tentang manusia, atau pemikiran tentang manusia. Ini menunjukkan bahwa Ilmu Akhlak yang mereka bangun lebih bersifat filosofis, yaitu filsafat yang bertumpu pada kajian secara mendalam terhadap potensi kejiwaan yang terdapat dalam diri manusia atau bersifat anthroposentris, dan mengesankan bahwa masalah akhlak adalah sesuatu yang fitri, yang akan ada dengan adanya manusia itu sendiri, dan hasil yang didapatnya adalah Ilmu Akhlak yang berdasar pada logika murni.
Golongan ahli-ahli filsafat menjadi guru di beberapa negeri. Buah pikiran dan pendapat mereka berbeda-beda akan tetapi tujuan mereka sama, yaitu menyiapkan angkatan muda Yunani, agar menjadi nasionalis yang baik lagi merdeka dan mengetahui kewajiban mereka terhadap tanah airnya.
Pendangan tentang kewajiban-kewajiban ini menimbulkan pandangan mengenai sebagian tradisi lama dan pelajaran-pelajaran yang dilakukan oleh orang-orang dahulu, yang demikian itu membangkitkan kemarahan kaum yang kolot “conservative”. Kemudian datang filsafat yang lain dan ia pun menentang sekaligus mengecam mereka, dan ia pun menuduh mereka suka mempermainkan dan memutarbalikan kenyataan. Oleh sebab itu, buruklah nama mereka, meskipun terkadang ada diantara mereka lebih jauh pandangannya pada zamannya. Kemudian datang pula Socrates (496-399 S.M) dengan menghadapkan perhatiannya kepada penyelidikan di dalam akhlak dan hubungan manusia yang satu dengan yang lain.
Socrates dipandang sebagai pertintis ilmu akhlak, karena ia yang pertama yang mengusahakan dengan sungguh-sungguh membentuk perhubungan dengan dasar ilmu pengetahuan. Dia berpendapat bahwa akhlak dan bentuk perhubungan itu tidak menjadi benar kecuali didasarkan kepada ilmu pengetahuan, sehingga ia berpendapat “keutamaan itu adalah ilmu”[2]
Karena itu tidak diketahuinya pandangan Socrates tentang tujuan yang terakhit tentan akhlak atau ukuran untuk mengetahui baik dan buruk sebuah perbuatan, maka timbullah beberapa golongan yang berbeda-beda pendapatnya tentang tujuan akhlak, lalu muncul beberapa paham mengenai akhlak sejak zaman itu hingga sekaranag ini. “Cynist” dan “Cyrenics” kedua pengikut Socrates; adapun Cynics hidup pada (444-370 S.M).
Diantara pelajaran mereka adalah bahwa ketuhanan itu bersih dari segala kebutuhan dan sebaik-baik manusia adalah yang berperangai dengan akhlak ketuhanan. Diantara pemimpin paham ini yang terkenal adalah Diogenes meninggal pada tahun 323 S.M. dia memberi pelajaran kepada kawan-kawannya supaya membuang beban yang ditentukan oleh ciptaan manusia dan perannya. Adapun Cyrenics, pemimpin mereka adalah Aristippus ia dilahirkan di Crena (kota di Barkah) di utara Afrika. Mereka sebaliknya Cynics berpendapat bahwa mencari kelezatan menjauhi kepedihan ialah satu-satunya tujuan yang benar untuk hidup, dan perbuatan itu dinamai utama bila timbul kelezatan yang lebih besar daripada kepedihan. Tatkala Cynics berpendapat bahwa kebahagiaan itu menghilangkan kejahatan dan menguranginya sedapat mungkin. Cynics berpendapat bahwa kebahagiaan itu dalam mencari kelezatan dan mengutamakannya.
Plato pada (427-347 S.M) seorang ahli filsafat Athena, dan murid Socrates. Pandangannya di dalam akhlak berdasarkan teori contoh ideal, pendapatnya bahwa di belakang yang lahir ini ada alam lain ialah alam rohani dan dia pun berpendapat pula di dalam alam rohani itu ada kekuatan bermacam-macam, dan kekuatan itu timbul dari pertimbangan tunduknya kekuatan pada hukum akal, dia berpendapat bahwa pokok-pokokkeutamaan ada 4. antara lain hikmah/kebijaksanaan, keberanian, keperwiraan, dan keadilan. Keempat-empatnya ini adalah tiang penegak bangsa-bangsa dan perorangan.
Lalu datang Aristoteles (394-322 S.M). dia murid Plato yang membangun suatu paham yang khas, yang mana pengikutnya diberi nama “Paripatetics” karena mereka memberikan pelajaran sambil berjalan. Ia berpendapat bahwa tujuan terakhir yang dikehendaki manusia mengenai segala perbuatannya ialah “bahagia” ia berpendapat bahwa jalan mencapai kebahagiaan ialah mempergunakan kekuatan akal pikiran sebaik-baiknya.[3]
Sebagaimana halnya dengan Plato, Aristoteles juga dikenal sebagai yang membawa teori pertengahan. Menurutnya bahwa tiap-tiap keutamaan adalah tengah-tengah diantara kedua keburukan. Dermawan misalnya adalah tengah-tengah antara boros dan kikir, keberanian adalah tengah-tengah antara membabi buta dan takut. Demikian dengan keutamaan yang lain.
Selanjutnya pemikir akhlak dari kalangan pemikir Yunani ini adalah Stoics dan Epicurus. Keduanya berbeda pendapat dalam hal mengemukakan pandangannya tentang kebaikan. Stoics berpendirian sebagaimana paham Cynics yang pandangannya telah dikemukakan di atas. Pendapatnya ini banyak diikuti oleh ahli filsafat di Yunani dan Romawi, dan pengikut-pengikutnya yang termasyur pada permulaan kerajaan Romawi adalah Seneca (6-65 SM), Epictetus (60-140 M) dan Kaisar Macus Orleus (121-180M).
Adapun Epicurus berdasarkan pemikirannya pada paham Cyrenics sebagaimana telah dikemukakan di atas. Paham mereka banyak diikuti di zaman baru ini, seperti Gassendi, seorang ahli filsafat Perancis (1592-1656). Dia membuka sekolahnya di Perancis dengan menghidupkan kembalipaham Epicurus. Sekolah ini telah melahirkan seorang pemikir bernama Mouliere dan orang-oranf termasyur lainnya.[4]
Pada akhir abad ketiga Masehi, tersiarlah agama Nasrani di Eropa. Ahama itu dapat merubah pikiran manusia dan membawa pokok-pokok akhlak yang tersebut dalam Taurat. Demikian juga memberi pelajaran kepada manusia bahwa Tuhan Allah sumber segala akhlak. Allahlah yang membuat segala patokan yang harus kita pelihara dalam bentuk hubungan kita, dan yangmenjelaskan arti baik dan jahat. Baik menurut arti yang sebenar-benarnya ialah kerelan Tuhan Allah dan melaksanakan perintah-perintahnya. Para pendeta menempati tempat kedudukan para ahli filsafat di Yunani. Sebagian ajaran Yunani cocok dengan ajaran filsafat Yunani terutama Stoics. Tidak banyak perbedaan dua ajaran ini dalam menetukan sesuatu, baik buruknya. Akan tetapi perbedaan itu yang terpenting ialah mengenal hubungan jiwa buat melakukan perbuatan.
Menurut ahli-ahli filsafat Yunani bahwa pendorong buat melakukan perbuatan baik ialah pengetahuan atau kebijaksanaan umpamanya, sedang menurut agama Nasrani bahwa pendorong untuk melakukan perbuatan baik itu ialah cinta kepada Tuhan Allah dan iman kepada-Nya.
Agama Nasrani mengaharap kepada manusia supaya usaha dengan sungguh-sungguh mensucikan dirinya, baik pikiran maupun perbuatan. Dan agama itu menjadi ruh, suatu kekuasaan penuh menganai badan dan keinginan (syahwat). Oleh karena itu kebanyakan pengikut peryama dari agama ini, suka mengabaikan badannya, menyingkir dari dunia yang fana, dan suka kepada yang zuhud, ibadah dan menyendiri.[5]
Keseluruhan ajaran akhlak yang dikemukakan para pemikir Yunani tersebut bersifat Rasionalistik. Penentuan baik dan buruk berdasarkan pada pendapat akal pikiran yang sehat dari manusia. Karenanya tidaklah salah kalau dikatakan bahwa ajaran akhlak yang dikemukakan para pemikir Yunani ini bersifat anthroposentris (memusat pada manusia). Pendapat akal yang demikian iti dapat saja diikuti sepanjang tidak bertentangan dengan al-Qur’an dan al-Sunnah.[6]Pemuka-pemuka yang termasyur adalah Abelard (1079-1142) dan Thomas Aquino (1226-1274).[7]
B. Akhlak Pada Bangsa Arab Sebelum dan Setelah Islam
Bangsa Arab pada zaman jahiliyah tidak ada yag menonjol dalam segi filsafat sebagaiman bangsa Yunani, Tiongkok dan lain-lain. Mungkin karena penyelidikan akhlak terjadi hanya pada bangsa yang sudah maju pengetahuannya. Sekalipun demikian, bangsa Arab waktu itu, mempunyai ahli-ahli hikmah yang menghidangkan syair-syair yang mengandung nilai-nilai akhlak, misalnya: Luqman, Aktsan Shaifi, Zubair bin Abi Sulma dan Hatim at-Thai. Setelah Islam memancar, maka berubahlah suasan laksana sinar matahari menghapus kegelapan malam.[8] Setelah masuknya Islam akhlak itu mesti berrdasarkan pada ajaran al-Qur’an dan Hadits. Sedikit dari bangsa Arab yang telah maju menyelidiki akhlak berdasarkan ilmu pengetahuan. Karena mereka telah mersa puas mengambil akhlak dari agama, mereka tidak merasa butuh kepada penyelidikan ilmiah mengenai dasar nilai baik dan buruk, dari sumber dan terbatas sekali. Oleh karena itu, agama menjadi dasar kebanyakan buku-buku yang ditulis dalam akhlak.
Tokoh yang termasyur dalam penyelidikan tentang akhlak berdasarkan ilmu pengetahuan adalah Abu Al-Farabi meninggal 339 H, Ikhwanus Shofa, Abu Ali Ibn Sina(370-428H). penyelidikan muslim yang tersebar mengenai akhlak disamping al-Ghazali adalah Ibnu Maskawih meninggal pada 421 H, telah menusun kitabnya yang terkenal (Tahzibul Akhlak wa Tathirul a’raaq). Beliau memadukan antara ajaran Plato, Aristoteles, Galinus, dengan ajaran-ajaran Islam.
C. Filsafat Akhlak dalam Zaman Baru
Pandangan filsafat lama, tidak memuaskan ahli-ahli fakir pada zaman baru. Oleh karena itu, timbullah reformasi pemikiran yang menonjolkan identitasnya sendiri, di antaranya adalah sebagai berikut[9] :
A. Decrates (1596-1650) seorang ahli fakir Perancis yang menjadi pembangun mahzab rasionalisme. Segala persangkaan yang bersalah dari adat kebiasaan harus ditolak. Untuk menerima sesuatu akal harus tampil melakukan pemeriksaan. Dari awal akallah yang menjadi pangkal untuk mengetahui dan mengukur segala sesuatu.
B. Spinoza (1632-1677) keturunan Yahudi yang melepaskan diri dari segala ikatan agama dengan menandaskan filsafatnya kepada rasionalisme. Menurut dia, untuk mencapai kebahagiaan manusia haruslah berdasarkan akal (rasio).
C. Herbert Spencer (1820-1903) mengemukakan paham pertumbuhan secara bertahap (evolusi) dalam akhlak manusia.
D. John Stuart Mill (1806-1873) yang memindahkan paham Epicurus ke paham Utilitarisme. Pahamnya tersebar di Eropa dan mempunyai pengaruh besar disana. Utilitarisme adalah paham yang memandang bahwa ukuran baik buruk sesuatu ditentukan gunanya.
E. Immanuel Kant (1724-1804) ahli pikir Jerman terkemuka. Dalam bidang etika ia meyakini adanya kesusilaan. Titik berat etikanya ialah rasa kewajiban (panggilan hati nurani) untuk melakukan sesuatu. Rasa kewajiban melakukan sesuatu berpangkal pada budi.[10]
Dapatlah dikatakan bahwa pada zaman baru ini bermunculan berbagai mahzab etika. Ada yang memperbaharui paham lama ada yang secara radikal mengadakan recolusi pemikiran, tetapi tidak sedikit pula yang mempertahankan etika teologis yaitu ajaran akhlak yang berpangkal pada ketuhanan[11]
III KESIMPULAN
Perkembangan dan pertumbuhan ilmu akhlak pada bangsa Yunani baru terjadi setelah munculnya apa yang disebut Sophisticians, yaitu orang-orang yang bijaksana (500-450 SM).
Dasar yang digunakan pada pemikir Yunani dalam membagun Ilmu Akhlak adalm pemikiran filsafat tentang manusia, atau pemikiran tentang manusia. Ini menunjukkan bahwa Ilmu Akhlak yang mereka bangun lebih bersifat filosofis, yaitu filsafat yang bertumpu pada kajian secara mendalam terhadap potensi kejiwaan yang terdapat dalm diri manusia atau bersifat anthroposentris, dan mengesankan bahwa masalah akhlak adalah sesuatu yang fitri, yang akan ada dengan adanya manusia itu sendiri, dan hasil yang didapatnya adalah Ilmu Akhlak yang berdasar pada logika murni.
Agama Nasrani mengaharap kepada manusia supaya usaha dengan sungguh-sungguh mensucikan dirinya, baik pikiran maupun perbuatan. Dan agama itu menjadi ruh, suatu kekuasaan penuh menganai badan dan keinginan (syahwat). Oleh karena itu kebanyakan pengikut peryama dari agama ini, suka mengabaikan badannya, menyingkir dari dunia yang fana, dan suka kepada yang zuhud, ibadah dan menyendiri.
Setelah masuknya Islam akhlak itu mesti berrdasarkan pada ajaran al-Qur’an dan Hadits. Sedikit dari bangsa Arab yang telah maju menyelidiki akhlak berdasarkan ilmu pengetahuan. Karena mereka telah mersa puas mengambil akhlak dari agama, mereka tidak merasa butuh kepada penyelidikan ilmiah mengenai dasar nilai baik dan buruk, dari sumber dan terbatas sekali. Oleh karena itu, agama menjadi dasar kebanyakan buku-buku yang ditulis dalam akhlak.
DAFTAR PUSTAKA
Amin, Ahmad, Ilmu Akhlak (terj.) K.H. Farid Ma’ruf dari judul asli al-akhlak, Jakarta : Bulan Bintang, 1975.
Ardani, Moh, Dr., Prof., Akhlak Tasawuf (Nilai-Nilai Akhlak/Budipekerti dalam Ibadah dan Tasawuf), Jakarta : CV Karya Mulia, 2005.
Nata, Abuddin, Dr., Prof., Akhlak Tasawuf, Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 2003.
Ya’qub, Hamzah, Etika Islam Pembinaan Akhlakul Karimah (Suatu Pengantar), Bandung : CV Diponegoro, 1988.
[1] Ahmad Amin, Ilmu Akhlak (terj.) K.H. Farid Ma’ruf dari judul asli al-akhlak, (Jakarta : Bulan Bintang,1975, Cet ke-1, h. 141
[2] Moh Ardani, Akhlak Tasawuf (Nilai-Nilai Akhlak/Budipekerti dalam Ibadat dan Tasawuf), (Jakarta : CV. Karya Mulia, 2005) Cet ke-II, h.34
[3] Moh Ardani, Akhlak Tasawuf (Nilai-Nilai Akhlak/Budipekerti dalam Ibadat dan Tasawuf), (Jakarta : CV. Karya Mulia, 2005) Cet ke-II, h.34-35.
[4] Moh Ardani, Akhlak Tasawuf (Nilai-Nilai Akhlak/Budipekerti dalam Ibadah dan Tasawuf), (Jakarta : CV Karya Mulia, 2005), Cet ke-3, h. 36
[5] Ahmad Amin,. Ilmu Akhlak (terj.) K.H. Farid Ma’ruf dari judul asli al-akhlak, (Jakarta : Bulan Bintang),1975, Cet ke-1, h. 141
[6] Abuddin Nata, Akhlak Tasawuf, (Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 2003), Cet ke-5, h.63
[7] Hamzah Ya’qub, Etika Islam Pembinaan Akhlaqulkarimah (Suatu Pengantar), (Bandung : CV Dipenegoro, 1988), Cet ke-4, h. 41
[8] Hamzah Ya’qub, Etika Islam Pembinaan Akhlaqulkarimah (Suatu Pengantar), (Bandung : CV Dipenegoro, 1988), Cet ke-4, h. 40
[9] Hamzah Ya’qub, Etika Islam Pembinaan Akhlakul Karimah (suatu pengantar), (Bandung : CV Diponegoro, 1988), Cet ke-4, h.40.
[10] Hamzah Ya’qub, Etika Islam Pembinaan Akhlakul Karimah (suatu pengantar), (Bandung : CV Diponegoro, 1988), Cet ke-4, h.40-41.
[11] Hamzah Ya’qub, Etika Islam Pembinaan Akhlakul Karimah (suatu pengantar), (Bandung : CV Diponegoro, 1988), Cet ke-4, h.41.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar