Mengenai Saya

Foto saya
Aku hanyalah seoarang manusia yang bisa saja salah dalam setiap kata yang telah aku ucapkan, tulisan yang telah aku buat.jika terdapat kesalahan kata, tanda baca, nama, dsb harap dimaklumi, Sungguh, Allahlah yang maha sempurna dengan segala sesuatu, dan aku hanyalah manusia yang terkadang alfa atas setiap hal yang telah kulalui.

Jumat, 27 Agustus 2010

terbelenggu dalam buai kehidupan

Ketika lambaian dunia menggambarkan sebuah kenikmatan yang kasat mata, tapi tak tahu apakah itu nyata atau tidak.. terbuai aku dibuatnya seolah itu adalah hal yang nyata dan bisa segera kudapatkan dengan begitu mudah, aku terperosok pada sebuah kecintaan semu yang membuat aku jauh dari cahaya Ilahi , tak kusangka bahwa aku akan kehilangan lebih banyak lagi jika aku terus diam pada sebuah cinta semu itu…. Sungguh aku terlena dengan kehidupan ini, merasa aku akan hidup di sini untuk selamanya, tapi kadang aku sadar tetang hal itu, dan aku kembali pada jalan TUHANku, entah kapan lagi aku justru terbuai lagi… sungguh imanku sangat lemah, belum bisa berbuat banyak dan belum begitu sadar akan makna hakiki hidup ini,, aku terjerat cinta buta dan terhempas di lautan samudra dunia tanpa tentu arah kehidupanku yang sebenarnya… sampai kapan aku akan tetap seperti ini, sungguh kadang kesia-siaan berlalu dari hidupku yang cepat ini, tak bisa aku berbuat banyak, sedang doa terus terucap dari bibirku, kadang ikhlas dan sabar belum bisa merasuk ke dalam hatiku.. bagaimana bisa aku seperti ini?? Syetan terus merasuk semakin dalam urat nadiku, dan tak kusadari bahwa lautan dosa telah menungguku di akhirat… sedang kebaikanku sangat sedikit… YA ALLAH… SUNGGUH, hanya dengan pertolonganMU aku bisa kembali kepada MU, jangan biarkan aku tersesat YA ALLAH, kembalikanlah aku ke jalanMU, jalan orang-orang yang Engakau Ridhoi, Jalan para Nabi dan RasulMU… padaMU aku berharap dan meminta ampunan….. YA ARHAMAR RAAHIMIIN……….

Jumat, 30 Juli 2010

K.H. ABDUL MAJID MA’RUF

AMALAN MENGATASI KESULITAN


Kisah ini sebenarnya berasal dari penuturan Kiai Thawaf; seorang kiai di kota Malang. Suatu hari, menjelang dilaksanakannya ujian akhir nasional, beberapa anak sebuah SMA Katholik di kota berhawa dingin itu mendatangi kediamannya. Mereka bermaksud minta doa untuk menghadapi ujian akhir, agar diberi kemudahan dalam mengerjakan soal-soal ujian sehingga lulus dengan nilai baik.
Kedatangan murid-murid sekolah Katholik itu suatu hal biasa buat pak kiai, karena dia memang biasa membantu kesulitan orang lain di sekitar kediamannya. Maka, mereka pun diterima dan dilayani sebagaimana biasanya. Setelah mendengar maksud kedatangan mereka, pak kiai pun memberikan bacaan tertentu y ujian. Yang harus diamalkan sesuai bilangan tertentu sampai datangnya ujian. Yaitu, Ya Sayyidi Ya Rasulullah, maknanya, “Wahai tuanku, wahai Rasulullah.”
Kalimat itu adalah permohonan kepada Rasulullah SAW, seorang yang diyakini sebagai hamba yang istimewa di hadapan Allah SWT, agar beliau SAW menyampaikan hajat yang diinginkan kehadhirat ALLAH, Tuhan Yang Maha Berkehendak. Ini adalah salah satu cara dalam berdoa, yang di dalam agam dikenal dengan nama tawassul. Dalam hal ini, Rasulullah SAW diyakini sebagai wasila atau perantara unutuk menyampaikan hajat di sisi ALLAH SWT, bukan diyakini sebagai pihak yang menentukan terkabulnya atau terwujudnya hajat tersebut.
Merasa sangat membutuhkan, para siswa itu pun memperhatikan perintah itu dengan seksama dan menjalankan dengan penuh keyakinan.
Ketika ujian tiba, para siswa SMA katholik tersebut dapat mengerjakan soal ujian dengan baik, termasuk dalam mata ujian yang selama itu selalu jadi momok bagi mereka, dan akhirnya mereka lulus dengan nilai yang baik.
Hal ini tentu saja membuat guru dan pendeta yang membimbing mereka merasa heran dan penasaran. Yang menjadikan mereka penasaran, jawaban murid-murid mereka hamper mirip semua, termasuk pelajaran yang mereka anggap sulit. Padahal ketika mereka mengikuti ujuan tersebut, penjagaan sangat ketat, sehingga tidak memungkinkan terjadianya kerja sama dalam mengerjakan soal-soal ujian. Namun, mereka tidak tahu ke mana dan kepada siapa mencari tahunya.
Pada malam harinya salah seorang pendeta yang mengasuh siswa-siwa itu bermimpi didatangi seseorang yang mengenakan jubah serba putih. Pendeta bertanya kepada tamu yang asing baginya itu, “Mengapa para siswa di sekolah saya dapat mengerjakan soal-soal ujian dengan baik dan dengan jawaban yang hamper mirip. Padahal ujian tersebut menjadapat penjagaan yang ketat?”
“Tanyakan pada Kiai Thawaf,” jawab tamunya yang berjubah putih itu. Setelah itu tamunya menghilang dan sang pendeta terbangun.
Esoknya pendeta itu berusaha mencari tahu Kiai Thawaf sesuai pentunjuk yang diterimanya dalam mimpi. Tidak sulit untuk mencari sang kiai, karena ia tokoh terkenal di kota Malang.
Lalu keduanya pun bertemu dan berdialog. Dan tidak lupa sang pendeta bercerita soal mimpinya dan rasa penasaran terhadap para siswa yang ikut ujian.
Kiai Thawaf menjawab singkat, “Mereka mengamalkan bacaab-bacaan shalawat tertentu, yaitu amalan yang biasa diamalkan para pengikut Tarekat Wahidiyah, yakni bacaan Ya Sayyidi ya Rasulullah.”
Sang pendeta merasa heran dengan jawaban itu. Hanya dengan membaca bacaan sederhana itu, para muridnya dapat mengatasai masalah ujian mereka. Dia tidak percaya begitu saja. Tapi buktinya, sukses telah diraih para muridnya.
Memikirkan kejadian irasional itu membuat sang pendeta berkeinginan pula mengamalkan bacaan tersebut. Ia pun minta izin kepada pak kiai.
Meski pendeta itu beragama katholik, Kiai Thawaf mengizinkan untuk membacva sebanyk-banyaknya. Kiai Thawaf juga menerangkan kepada tamunya bahwa bacaan itu adalah amalan K.H. Abdul Majid Ma’ruf, Jedunglo, Kediri, Pimpinan Tarekat wahidiyah.
Beberapa hari kemudian, setelah mengamalkan bacaab tersebut, sang pendeta minta kesediaan Kiai Thawaf untuk mengnantarkan dirinya sowan kepada Kiai Abdul Majdi Ma’ruf di kediamannya.
Kiai Thawaf tidak menolak niat tersebut, berdua mereka pergi ke Kedunglo, yang jaraknya dari Malang tidak terlalu jauh.
Begitu bertemu dengan Kiai Abdul Majid ma’ruf, pak pendeta menjadi kaget. Ternyata kiai berjubah putih yang ditemui saat mimpi tidak lain adalah K.H. Abdul Majdi ma’ruf, pemimpin Tarekat wahidiyah.
Pendeta itu kemudian mengutarakan maksudnya sowan keapda pak kiai, termasuk pengalamannya dalam mimpi. Namun yang paling penting, tanpa piker panjang lagi, dia kemudian minta dibai’at menjadi muslim kepada Kiai Ma’ruf.
“Kalung salib ini akan kulepas,” kata sang pendetasambil berusahamenanggalkan kalung yang melilit di lehernya.
“tidak usah,” kata Kiai Ma’ruf dengan nada datar.”Biar buat kenang-kenangn.”
Maka, Kiai Ma’ruf pun menerima ikrar pendeta itu masuk Islam.
K.H. Abdul Majdi Ma’ruf adalah pendiri Tareka wahidiyah di Kediri yang banyak pengikutnya. Ia lahir pada 1920 dan wafat pada 7 Maret 1989 (29 rajab 1409) di Kedunglo, Kediri, Jawa Timur. Sebagai pemimpin Tarekat Wahidiyah, ia sangat disegani dan dihormati oleh penegikutnya.
Sumber: Al-Kisan bulan Juli-Agustus 2010 hal 146-148

Kamis, 15 Juli 2010

Ketika Cinta Harus Memilih

Ketika cinta harus memilih, akan kupilih yg bisa menerima aku apa adany

Ketika cinta harus melihat, semoga hatiku tak terbutakan oleh hawa nafsu

Ketika hati harus mendengar, ku harap ku mendengar kata hatiku dan mencari yang terbaik yang bisa kutemui..

Ketika cinta harus kucari, kan kucari cinta yang di Ridhoi Ilahi

Ketika manusia terbutakan oleh cinta, kdang mereka tak menyadari bahwa mereka mengikuti hawa nafsu mereka, tak melihat bagaiman cinta membawa mereka ke kehancuran dan kebencian.

Tpi, ktika cinta Karena Ilahi, kita akn mendptkan sebuah cinta hakiki yg di Ridhoi Ilahi

Doa dan Adabnya

DOA DAN ADABNYA
Do’a, adalah salah satu amalan penting bagi seorang sufi.
Adab do’a misalnya disusun oleh ajaran sufi sebagai berikut:
1. Orang-orang sufi harus memlihara waktu-waktu yang dianggap murni dan mulia sebagai saat dan tempat mengucapkan sesuatu do’a. hari Arafat yang hanya dating sekali setahun, dengan tempatnya yang tertentu dekata Mekkah, sebagai tempat permulaan ibadah haji, bagi orang sufi adalah saat yang terpenting tempat mengucapkan do’a, dan oleh karena itu kesempatan ini sedapat mungkin tidak dibiarkan berlalu begitu saja. Kemudian bulan Ramadhan adalah salah satu bulan terbaik di antara bulan-bulan setahun, begitu juga hari jum’at merupakan hari yang terbaik pula dalam seminggu, waktu sahur merupakan saat yang terindah pada waktu malam, dan lain-lainnya, sebagai tempat-tempat berdo’a menghadapkan sesuatu permohonan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.
2. Pada anggapan orang-orang sufi kesempatan waktu yang baik itu harus dipergunakan sungguh-sungguh, dan terutama do’a-do’a itu dianggap baik diucapkan tatkala orang-orang berdesak-desakan dalam barisan sabilillah, tatkala turun hujan, tatkala berdiri dalam shalat lima waktu yang wajib, tatkala puasa dan tatkala sujud.
3. Do’a itu harus diucapkan sambil menghadap kiblat dan sambil mengangkat kedua belah tangannya sehingga keliatan ketiaknya. Hal ini tentu ditujukan kepada latihan badan.
4. Mengucapkan do’a itu hendaklah dengan suara yang sedang tidak terlalu keras dan tidak terlalu rendah. Yang demikian itu mungkin dimaksudkan untuk menenangkan diri dan jiwa orang yang berdo’a itu, dan menyesuaikan dengan ajaran Islam, bahwa Tuhan itu tidak ghaib dan tidak tuli, sebagaimana yang dikemukakan Nabi, tatkala orang-orang berdo’a berteriak-teriak dengan suara yang membumbung ke angkasa.
5. Hendaklah dijaga agar do’a itu tidak tersusun dalam kata-kata yang bersajak berlebihan, untuk menghilangkan kesukaran dalam mengucapkannya, sesuai dengan hadits Nabi, yang mennyuruh meninggalkan gurindam dan sajak itu dalam susunan do’a. Larangan ini dihukumi makruh , karena Nabi sendiri acapkali berdo’a dengan kata-kata bersajak, meskipun dengan cara yang sangat sederhana dan mudah difahami orang.
6. Orang-orang sufi itu di kala ia berdo’a haruslah berada dalam keadaan tadarru’, khusyu’, penuh harapan akan diberi, dan penuh ketakutan untuk ditolak.
7. Orang yang iingin mengucapkan do’a itu haruslah mempunyai keyakinan seyakin-yakinnya, bahwa do’anya itu pasti diterima Tuhan, karena dengan demikian tertanam dalam jiwanya keyakiknan bahwa Tuhan adalah satu-satunya yang dapat melimpahkan kurnia-NYA.
8. Do’a itu harus diucapkan dengan jelas, diulang-ulang, minta segera dipenuhi oleh Tuhan.
9. Do’a itu harus dimulai dengan sebutan nama Allah dan shalawat kepada Nabi-Nya.
10. Sebagai penutup adab do’a dikemukakan, bahwa do’a itu baru diucapkan sesudah taubat membersihkan diri dari segala perbuatan yang keji.
Semua adab ini pernah dibicarakan dalam kitabnya Imam Ghazali…
Sumber: Pengantar Sejarah Sufi dan Tasawuf, Prof. Dr. H. Aboebakar Atjeh, (Semarang : Ramdhani, 1962). Hal. 350-352.

Doa dan Adabnya

DOA DAN ADABNYA
Do’a, adalah salah satu amalan penting bagi seorang sufi.
Adab do’a misalnya disusun oleh ajaran sufi sebagai berikut:
1. Orang-orang sufi harus memlihara waktu-waktu yang dianggap murni dan mulia sebagai saat dan tempat mengucapkan sesuatu do’a. hari Arafat yang hanya dating sekali setahun, dengan tempatnya yang tertentu dekata Mekkah, sebagai tempat permulaan ibadah haji, bagi orang sufi adalah saat yang terpenting tempat mengucapkan do’a, dan oleh karena itu kesempatan ini sedapat mungkin tidak dibiarkan berlalu begitu saja. Kemudian bulan Ramadhan adalah salah satu bulan terbaik di antara bulan-bulan setahun, begitu juga hari jum’at merupakan hari yang terbaik pula dalam seminggu, waktu sahur merupakan saat yang terindah pada waktu malam, dan lain-lainnya, sebagai tempat-tempat berdo’a menghadapkan sesuatu permohonan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.
2. Pada anggapan orang-orang sufi kesempatan waktu yang baik itu harus dipergunakan sungguh-sungguh, dan terutama do’a-do’a itu dianggap baik diucapkan tatkala orang-orang berdesak-desakan dalam barisan sabilillah, tatkala turun hujan, tatkala berdiri dalam shalat lima waktu yang wajib, tatkala puasa dan tatkala sujud.
3. Do’a itu harus diucapkan sambil menghadap kiblat dan sambil mengangkat kedua belah tangannya sehingga keliatan ketiaknya. Hal ini tentu ditujukan kepada latihan badan.
4. Mengucapkan do’a itu hendaklah dengan suara yang sedang tidak terlalu keras dan tidak terlalu rendah. Yang demikian itu mungkin dimaksudkan untuk menenangkan diri dan jiwa orang yang berdo’a itu, dan menyesuaikan dengan ajaran Islam, bahwa Tuhan itu tidak ghaib dan tidak tuli, sebagaimana yang dikemukakan Nabi, tatkala orang-orang berdo’a berteriak-teriak dengan suara yang membumbung ke angkasa.
5. Hendaklah dijaga agar do’a itu tidak tersusun dalam kata-kata yang bersajak berlebihan, untuk menghilangkan kesukaran dalam mengucapkannya, sesuai dengan hadits Nabi, yang mennyuruh meninggalkan gurindam dan sajak itu dalam susunan do’a. Larangan ini dihukumi makruh , karena Nabi sendiri acapkali berdo’a dengan kata-kata bersajak, meskipun dengan cara yang sangat sederhana dan mudah difahami orang.
6. Orang-orang sufi itu di kala ia berdo’a haruslah berada dalam keadaan tadarru’, khusyu’, penuh harapan akan diberi, dan penuh ketakutan untuk ditolak.
7. Orang yang iingin mengucapkan do’a itu haruslah mempunyai keyakinan seyakin-yakinnya, bahwa do’anya itu pasti diterima Tuhan, karena dengan demikian tertanam dalam jiwanya keyakiknan bahwa Tuhan adalah satu-satunya yang dapat melimpahkan kurnia-NYA.
8. Do’a itu harus diucapkan dengan jelas, diulang-ulang, minta segera dipenuhi oleh Tuhan.
9. Do’a itu harus dimulai dengan sebutan nama Allah dan shalawat kepada Nabi-Nya.
10. Sebagai penutup adab do’a dikemukakan, bahwa do’a itu baru diucapkan sesudah taubat membersihkan diri dari segala perbuatan yang keji.
Semua adab ini pernah dibicarakan dalam kitabnya Imam Ghazali…
Sumber: Pengantar Sejarah Sufi dan Tasawuf, Prof. Dr. H. Aboebakar Atjeh, (Semarang : Ramdhani, 1962). Hal. 350-352.

Selasa, 13 Juli 2010

terkabul dan tidaknya sebuah Doa

Pernahkah kamu merasa permohonanku jarang terkabul?? Atau terlkabul tapi tak membuat bahagia?? Atau merasa sia-sia berdoa??
Semua pasti pernah merasakan sebuah kehampaan karena permohonan yang dengan sangat dilakukan tapi tak menghasilkan apa-apa. Itulah manusia , merasa terbaik untuknya tapi akhirnya membuat sesuatu yang buruk.
Dulu pernah aku terjerumus oleh sebuah kepercayaan bahwa apapun yang kuinginkan InsyaALLAh terkabul, tapi aku tak berfikir bahwa itu baik untukku, aku hanya ingin terkabul, titik! Nyatanya, aku kehilangan dan terus kehilangan sampai aku menyadari bahwa semua itu tak berharga dan kudapati bahwa ada hikmah di balik setiap keinginan yang tak bisa terkabul.
Merasa aku berhak atas sesuatu yang belum pasti terbaik adalah hasrat manusia yang ingin sesuatu berjalan atas kehendaknya dan tak ingibn ada sesuatupun menghilangkannya.
Pernah ada yang berkata bahwa yang terbaik untuk kita belum tentu terbaik untuk masa depan dan belum tentun terbaik untuk tujuan Ilahi, itu hanya angan-angan merasa bahwa itu terbaik. Terbaik untuk Ilahi adalah jalan terbaik untuk menerimannya daripada menangis tersedu-sedu karena tidak bisa mendapatkan sesuatu yang sangat kita inginkan. Hilang lebur dan tak membekas lebih baik, menerima dengan lapang adalah jalan kesabaran kita untuk menerima semua yang telah menimpa kita, tak merasa ter-abaikan dan merasa kalut, dan putus asa, itulah jalan Syetan untuk manusia, dan kita menngikutinya karena ketidaktahuan kita?? Itu hanya akan membuat kehancuran untuk kita, semangat dan percayalah bahwa Allah akan menolong kita, membantu dan memberikan yang benar-benar terbaik untuk kita. La tahZan InnaALLAAHa Ma’Ana.

Senin, 10 Mei 2010

Pemikiran Harun Nasution

PENDAHULUAN

Harun Nasution adalah sosok ilmuan Muslim yang amat berwibawa dan disegani oleh kalangan intelektual muslim, baik di dalam maupun luar negeri, dan sekaligus menjadi sumber timbulnya berbagai masalah yang menimbulkan perdebatan setiap kali orang mendengar namanya, yang terbayang adalah bahwa ia seorang mantan Rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang memiliki keahlian dalam bidang teologi dan filsafat yang bercoran rasional dan liberal. Dengan corak pemikiran teologinya yang demikian itu, Harun Nasution dikenal pula sebagai ilmuwan yang banyak mengemukakan gagasan dan pemikiran yang berbeda dengan pemikiran yang umumnya dianut umat Islam Indonesia. Melalui berbagai karya tulis yang dihasilkannya, Harun Nasution tidak hanya memperkenalkan teologi rasional dan liberal seperti Mu’tazilah dan Asy’ariyah yang banyak dianut umat Islam di Indonesia, melainkan juga memperkenalkan teologi yang rasional dan liberal seperti Mu’tazilah dan Maturidiyah Samarkand. Di dalam pergulatannya dengan berbagai paham aliran teologi tersebut serta hubungannya dengan kondisi social, ekonomi, budaya, dan ilmu pengetahuan di Indonesia yang terbelakang, Harun Nasution lebih lanjut menunjukkan kecenderungannya kepada teologi Mu’tazilah. Harun Nasution melihat bahwa untuk mengatasi berbagai keterbelakangan umat Islam di Indonesia dalam berbagai bidang tersebut harus dilakukan dengan mengubah paham teologi yang dianutnya, yaitu dari paham teologi tradisional menjadi teologi yang rasional dan liberal. Kecenderungan yang demikian itu, membawa implikasi timbulnya tuduhan dari masyarakat pada umumnya kepada Harun Nasution sebagai Muslim yang terbaratkan, dan sekuler. Harun Nasution mendapatkan tuduhan sebagai Mu’tazilah yang tesesat.
Harun Nasution juga dikenal sebagai tokoh yang berpikiran terbuka. Ketika ramai dibicarakan tentang hubungan antar agama pada tahun 1975, Harun Nasution dikenal sebagai tokoh yang berpikiran luwes lalu mengusulkan pembentukan wadah musyawarah antar agama, yang bertujuan untuk menghilangkan rasa saling curiga.
Gebrakan yang paling penting dilakukan oleh Harun untuk mengangkat umat Islam dan IAIN khususnya adalah mempelopori berdirinya Fakultas Pascasarjana dengan maksud untuk mencetak pemimpin umat Islam masa depan. Menurutnya, pemimpin harus rasiona, mengerti Islam secara komprehensi, tahu tentang agamja dan filsafat. Pemimpin seperti itulah yang diharapkannya lahir dari pascasarjana.
Usahanya untuk mengangkat lembaga pendidikan Islam (IAIN), terasa sangat luar biasa. Di IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta misalnya,kehidupan intelektual akademisnya menjadi lebih hidup. Sekarang ini, jangankan Sutan Takdir Alisyahbana, tokoh intelektual yang jelas berbeda agama pun sudah sering berceramah di IAIN Ciputat, dan sudah dianggap hal biasa. Kondisi seperti itu juga telah mulai terbangun di seluruh IAIN di Indonesia.
Pembenahan yang dilakukan oleh Harun tidak hanya menyangkut mahasiswanya tetapi juga para dosen yang ada di lingkungan IAIN. Untuk meningkatkan mutu dosen, dibentuk forum diskusi regular mingguan dan bulanan sebagi media untuk memecahkan masalah-masalah krusial, yang di dalamnya berkumpul beberapa orang ahli di bidangnya masing-masing, baik dari IAIN maupun dari luar.
Ia juga merintis terbitnya majalah yang dapat dijadikan sarana untuk menyalurkan gagasan, pikiran, dan ide para dosen dan mahasiswanya.
Beberapa usaha yang telah dilakukan oleh Harun dengan pembenahan berbagai sector telah melahirkan satu citra IAIN sebagai pusat studi pembaruan pemikiran Islam. Obesesinya untuk menghadirkan IAIN sebagai pusat dan “arus lalu lintas” pemikiran-pemikiran keislaman dunia juga sangat di dukung oleh bangsa Indonesia yang mayoritas penduduknya beragama Islam dan memiliki pemerintahan yang memberikan tempat terhormat bagi usaha pembinaan umat beragama.














PEMBAHASAN

A. Riwayat Hidup

Harun Nasution dilahirkan di Pematang Siantar pada tanggal 23 September 1919. Ia dilahirkan dari keluarga ulama. Ayahnya bernama Abdul Jabbar Ahmad. Ia adalah seorang ulama sekaligus pedagang yang cukup sukses. Ia mempunyai kedudukan dalam masyarakat maupun pemerintahan. Ia terpilih menjadi Qadhi (penghulu). Pemerintah Hindia Belanda lalu mengangkatnya sebagai Kepala Agama merangkap Hakim Agama dan Imam Masjid di Kabupaten Simalungun . Sedangkan ibunya adalah anak seorang ulama asal Mandailing yang semarga dengan Abdul Jabbar Ahmad. Ia pernah bermukim di Mekah sehingga cukup mengerti bahasa Arab dengan baik.
Harun adalah anak keempat dari lima bersaudara. Kakak pertamanya bernama H. Muhammad Ayyub, beda sepuluh tahun dari Harun. Kakak keduanya bernama H. Khalil, seorang pegawai Departemen Agama di Pematang Siantar semasa hidupnya. Kakak ketiganya adalah seorang perempuan bernama Sa’idah yang sehari-harinya sebagai ibu rumah tangga. Adiknya yang bungsu juga seorang perempuan bernama Hafsah. Sebagai laki-laki terkecil, Harun selalu diperintah oleh kakak-kakaknya.
Harun menempuh pendidikan dasar di bangku sekolah Belanda. Ia sekolah di HIS selama tujuh tahun. Selain itu, ia juga belajar mengaji di rumah. Harun Nasution lulus dari HIS sebagai salah satu murid terbaik yang dipilih kepala sekolahnya untuk langsung melanjutkan ke MULO tanpa melalui kelas nol. Namun ayahnya ternyata mempunyai rencana lain untuk Harun. Ia menyuruh Harun untuk sekolah agama seperti kakak lelakinya. Akhirnya Harun memilih sekolah agama di Bukittinggi yang bernama Moderne Islamietische Kweekschool (MIK). MIK adalah sekolah guru menengah pertama swasta modern milik Abdul Gaffar Jambek (putra Syekh Jamil Jambek). Di sekolah itu, dalam suatu pelajaran gurunya pernah mengatakan bahwa memelihara anjing tidak haram. Ajaran di sekolah itu dirasakan cocok olehnya sehingga ia juga berpikiran bahwa memegang Qur’an tidak perlu berwudhu karena Qur’an hanyalah kertas bisaa, bukan wahyu. Apa salahnya memegang kertas tanpa berwudhu terlebih dahulu. Begitu pula soal sholat, memakai ushalli atau tidak, baginya sama saja. Harun sebenarnya masih ingin bersekolah di MIK. Namun karena melihat kondisi sekolah yang cukup miskin sehingga tidak bisa menghadirkan suasana belajar yang baik, maka ia memutuskan untuk pindah sekolah.
Harun pernah mendengar sekolah Muhammadiyah di Solo yang menurutnya cocok dengan jalan pikiran dia. Ia lalu melamar di sekolah itu. Ternyata lamarannya di HIK (Sekolah Guru Muhammadiyah) diterima. Akan tetapi, orangtuanya tidak merestui ia bersekolah di sana. Orangtuanya merencanakan Harun untuk melanjutkan sekolah di Mekkah.Setelah itu Harun banyak berkonsultasi dengan beberapa ulama, tentang studi di Timur Tengah. Salah satu ulama yang ditemuinya adalah Mukhtar Yahya. Ia lama bersekolah di Mesir. Harun banyak medengar cerita tentang Mesir dari beliau. Setelah lama berdialog dengan Harun, Mukhtar Yahya menyarankan Harun untuk melanjutkan sekolah di Mesir. Harun juga membaca tulisan-tulisan tentang Mesir di majalah Pedoman Masyarakat yang diterbitkan Hamka. Di majalah itu, Harun mengenal pemikiran baru dari Hamka, Muhammadiyah, Zainal Abidin Ahmad, dan Jamil Jambek. Lepas dari itu semua, untuk memenuhi permintaan orangtuanya, akhirnya Harun terpaksa ke Mekah. Namun ia bertekad bahwa setelah dari Mekah ia akan meneruskan sekolah di Mesir. Setelah satu setengah tahun di Mekah, ia lalu melanjutkan sekolah di Mesir. Kepergiannya ke Mesir menggunakan bekal uang dari orangtuanya yang diberikan berdasarkan ultimatum Harun terhadap orangtuanya, bahwa apabila ia tidak diizinkan untuk ke Mesir, maka ia tidak akan pulang ke Indonesia. Harun tiba di Mesir pada tahun 1938. Di Mesir, Harun mendapatkan dan bersentuhan dengan berbagai pemikiran baru. Bukan hanya itu, keberadaannya di Mesir menjadi titik tolak hingga akhirnya ia bisa melanjutkan kuliahnya di McGill University Canada. Dalam bidang pekerjaan, Harun pernah bekerja di Kedutaan Besar Indonesia di beberapa negara di Timur Tengah sampai akhirnya ia menjadi pengajar di IAIN Syarif Hidayatullah dan seterusnya menjadi Rektor di kampus itu.

B. Gagasan Pemikiran Harun Nasution

Gagasan pemikiran Harun Nasution dalam bidang pendidikan Islam pada khususnya dan perkembangan ilmu pengetahuan pada umunya adalah sebagi berikut:
Pertama, bahwa sejak di Sekolah Dasar, tepatnya di Hollandsch Inlandshe Shool (HIS), sekolah dasar ‘modern’ yang didirikan oleh pemerintah Belanda, Harun Nasution sangat tertarik dengan ilmu alam dan sejarah. Ia bercita-cita menjadi guru bila besar nanti. Cita-citnya ini baru tercapai pada saat Harun Nasution kembali ke tanah air setelah selesai menempuh studinya pada Program Strata 3 (S-3/DR) dari mcFill University, Montreal Canada. Di tanah air, Harun Nasution bertugas sebagai dosen hingga menjadi rector pada Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Syarif Hidayatullah Jakarta yang sejak Mei 2002 berubah menjadi Universitas Negeri Jakarta (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
Kedua, selama masa tugasnya sebagai dosen dan rector di UIN Syarif Hidayatullah Jakartam dapat diduga Harun Memiliki gagasan dan pemikiran dalam bidang pendidikan agama Islam. Dugaan ini dapat dilihat indikasinya pada adanya perubahan di IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta kea rah yang lebih maju dari keadaan sebelumnya. Dugaan ini perlu dibuktikan lebih lanjut berdasarkan bukti-bukti yang objektif dan meyakinkan.
Ketiga, setelah selesai melaksanakan tugasnya sebagai Rektor IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta (1973-1982) selama kurang lebih Sembilan tahun, Harun Nasution menghabiskan masa tuanya hingga wafat sebagai guru besar dan sekaligus Direktur Pascasarjana IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Melalui upayanya yang penuh ketekunan, perhatian dan keikhlasan dalam membina dan mengelola Pascasarjana, Harun Nasution berhasil melahirkan ratusan doctor dalam berbagai bidang ilmu agama yang saat ini memimpin IAIN/STAIN yang tersebar di berbagai provinsi di Indonesia. Keberhasilannya ini tertentu didasarkan pada konsep, strategi dan upaya-upayanya dalam mendidik dan mengajar para mahasiswanya.
Keempat, dilihat dari segi keahliannya, Harun Nasution dapat dikatakan sebagai seorang peneliti dalam bidang Ilmu Kalam (Teologi) dan Falsafah yang handal dan kapabel. Namun, keahliaanya dalam bidang ilmu ini bukanlah tujuan, melainkan sebagai alat. Dengan kedua ilmu tersebut Harun Nasution ingin mendidik dan mengubah mental masyarakat Islam yang terbelakang, jumud dan tradisional menjadi mental masyarakat yang maju, dinamis dan rasional. Harun Nasution begitu yakin, bahwa untuk membawa kemajuan bangsa dan Negara, terlebih dahulu harus dilakukan dengan mengubah sikap mentalnya.
Kelima, dilihat dari segi pribadinya, Harun Nasution adalah seorang yang taat menjalankan ibadah, berpola hidup sederhana, jujur, amanah, dan rendah hati. Pribadi yang demikian itu merupakan salah satu sifat yang harus dimiliki seorang pendidik.
C. IAIN, Peningkatan Ilmu dan Budi Luhur demi Suksesnya Pembangunan Nasional

Melihat masalah sarjana Muslim atau ulama yang harus dihasilkan IAIN, maka perlu diingat bahwa ulama adalah pemimpin umat yang membimbing mereka bukan hanya dalam masalah keakhiratan saja tetapi juga dan tidak kalan penting dalam masalah keduniaan. Sesuai dengan hakikat penciptaan manusia, sarjana Muslim atau ulama yang harus dihasilkan IAIN adalah sarjana Muslim atau ulama yang berkembang akal dan daya pikirnya serta halus kalbu dan daya rasa batinnya. Dengan kata lain yang harus dihasilkan IAIN adalah sarjana Muslim atau ulama yang pengetahuannya bukan hanya terbatas pada pengetahuan agama saja tetapi juga mencakup apa yang lazim disebut pengetahuan umum, dan juga mencakup akhlak dan budi pekerti yang luhur.
Kita berada sekarang dalam dunia yang mengalami kemajuan pesat dalam bidang ilmu pengetahuan dan teknologi yang modern. Ilmu pengetahuan dan teknologi adalah hasil pemikiran manusia. Sementara itu kemajuan pesat itu terjadi dalam bidang materi. Untuk memahami ilmu pengatahuan dan teknologi itu diperlukan akal yang terbuka dan berkembang dan untuk dapat menghadapi godaan kemajuan materi yang besar itu diperlukan pula kepribadian kuat yang dihiasi dengan akhlak mulian dan budi luhur. Sarjana Muslim dan ulama yang mengerti perkembangan zaman dan yang berbudi luhurlah yang akan dapat diterima masyarakat modern menjadi pembimbing.
Kalau kita kembali ke dalam sejarah Islam yang harus diusahakan IAIN adalah menghasilkan ulama yang mempunyai cirri-ciri ulama Islam Zaman Klasik, terutama ulama abad kedelapan sampai kesebelas Masehi, dan bukan Zaman Pertengahan Islam, atau tegasnya ulama abad keenam belas sampai abad kedelapan belas Masehi.
Ciri-ciri ulama Zaman Klasik adalah ulama yang melaksanakan ajaran Al-Qur’an untuk banyak mempergunakan akal, yang dihembuskan Allah ke dalam dirinya dengan ruh, dan ajaran hadis untuk menuntut ilmu, bukan hanya menuntut ilmu agama, tetapi juga ilmu yang ada di negeri Cina, yang sudah barang tentu bukanlah ilmu agama. Karena, melaksanakan ajaran Al-Qur’an dan hadis tesebut di ataslah maka ulama Zaman Klasik mengembangkan ilmu agama dengan memakai ijtihad dan mengembangkan ilmu pengetahuan yang sekarang disebut dengan science dengan mempelajari dan menguasai ilmu pengetahuan dan filsafat Yunani yang terdapat di Timur Tengah pada zaman mereka. Timbullah ulama-ulama fikh seperti Abu Hanifah, Malik, Syafi’I dan Ibnu Hanbal ; ulama-ulama tauhid seperti Washil bin ‘Atha’, Abu Al-Huzail, Abu AL-Hasan Al-Asy’ari, Al-Maturidi, dan Al-Ghazali; ulama-ulama tafsir seperti Al-Thabari; ulama-ulama hadis seperti Al-Bukhari dan Muslim. Di samping itu, ulama-ulama dalam bidang pengetahuan umum seperti Ibn Sina dalam ilmu kedokteran, Al-Khawarizmi dalam matematika, Ibnu Al-Haitsam dalam optika, Ibnu Hayyan dalam ilmu kimia, Al-Biruni, dalam fisik, dan Al-Mas’udi dalam geografi. Mereka adalah ulama-ulama yang dapat berdiri sendiri, malahan menolak tawaran sultan untuk menjadi pegawai negeri.
Dengan timbulnya anggapan bahwa ijtihad dan pemakaian akal tak dibolehkan lagi, hilanglah ulama Zaman Klasik dan muncullah ulama Zaman pertengahan yang tak berani lagi mengadakan ijtihad dan menganggap pemakaian akal yang diajarkan Al-Qur’an telah lewat masanya. Ulama Zaman Pertengahan itu sudah bersikap menerima apa saja yang dihasilkan oleh ulama Zaman Klasik, tidak dapat lagi berdiri sendiri dan sudah banyak bergantung pada sultan. Istilah umum dipakai adalah ulama yang bertaklid pada ulama Zaman Klasik. Di samping itu, pengetahuan mereka terbatas pula pada ilmu agama saja, karena ilmu pengetahuan umum telah tidak berkembang lagi dan akhirnya lenyap. Dan ketika ilmu pengetahuan yang ada di dunia Islam itu pindah ke Barat dan kemudian datang kembali ke dunia Islam setelah ia berkembang pesat di sana, umat Islam tidak mengenalnya lagi, malahan timbul anggapan bahwa ilmu-ilmu itu berasal dari kaum kafir dan mempelajarinya adalah haram.
Bukankah ulama Zaman Pertengahan serupa itu yang dihasilkan IAIN, tetapi ulama-ulama klasik yang cirri-cirinya antara lain adalah bersikap rasional, berpandangan luas, berbudi luhur, pengetahuannya tidak hanya terbatas pada imu agama, tetpi juga mencakup ilmu pengetahuan umum, dapat berdiri sendiri dan tidak meletakkan harapannya untuk menjadi pegawai negeri.
Sarjana dan ulama serupa inilah yang akan dapat menghadapi tantangan-tantangan yang makin banyak dan semakin ruwet, tantangan-tantangan yang ditimbulkan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi yang semakin pesat majunyapada masa yang akan datang. Sarjana dan ulama yang tidak dapat menghadapi tantangan-tantangan itu akan ditinggalkan masyarakat masa depan.
Hal inilah yang seharusnya menjadi pemikiran di kalangan kita, pemimpin, dan dosen-dosen IAIN. Apakah kita sebagai tenaga pendidik sanggup menghasilkan sarjaa dan ulama yang diperlukan masyarakat masa depan? Sanggupkan kita mengembangkan daya piker mahasiswa untuk selanjutnya mencari ilmu secara mandiri, dan sanggupkah kita menanamkan budi luhurr dalam diri dan kalbu mereka? Itulah yang harus kita pikirkan dan upayakan untuk memecahkannya.



D. Modernisme dalam Islam dan Pembaruan Kurikulm (1973)

Harun Nasution termasuk yang sedikit dari intelektual Muslim Indonesia yang mempunyai kesempatan mendapat pendidikan dalam dua tradisi besar pendidikan, yaitu pendidikan keislaman di Timur Tengah dimana dia mendapatkan pendidikan setingkat S1 di Universitas Al-Azhar, Mesir dan tradisi pendidikan di Barat dimana dia mendapat gelar MA dengan tesis The Islamic State in Indonesia: The Rise of the Ideology, the Movement for its Creation and the Theory of Masjumi (1965) dan S3 dengan disertasinya The Place of Reason in Abduh’s Theology, Its Impact on His Theological System dan Views yang diraihnya tahun 1968 di Universitas yang sama yaitu Universitas McGill, Montreal, Kanada. Hidup di lingkungan keluarga Islami yang berpaham tradisional dan terdidik dengan pendidikan modern dan tradisional, namun Nasution lebih tertarik dan memilih pandangan keislaman yang rasional dan pluralistic. Kontribusinya selama ini di Indonesia, dapat disederhanakan pada dua hal besar: pertama dalam pembaruan pemikiran dalam Islam dan kedua, pembaruan Kurikulum IAIN pada tahun 1973.

E. Pembaruan Pemikiran dalam Islam di Indonesia

Harun Nasution mengusung pembaruan pemikiran keislaman. Dia mengenalkan multi pendekatan dan memperjuangkannya dengan sangat konsisten. Pengaruh pemikirannya sangat kuat di kalangan IAIN dan STAIN seluruh Indonesia dan masih dirasakan sampai sekarang. Banyak buku terutama buku ajar yang telah ditulisnya, salah satu yang sangat berpengaruh dan dijadikan buku pegangan dalam berbagai mata kuliah keislaman adalah Islam ditinjau dari Berbagai Aspek. Buku ini mengilhami banyak sarjana Muslim Indonesia untuk melihat betapa beragamnya pemikiran yang berkembang dalam Islam. Dalam pandangan Nasution, keragaman Islam tersebut didasarkan pada sumber yang sama yaitu teks-teks suci. Nasution melihat bahwa realitas plural dalam pemahaman keagamaan adalah kenyataan yang tidak bisa dipungkiri, sikap kita terhadapnya haruslah apreasiatif, umat Islam Indonesia diharapkan mampu menghargai perbeadaan, baik perbedaan yang terjadi antar umat Islam maupun dengan non muslim. Masalah yang dihadapi umat Islam Indonesia sampai saat ini adalah kurang berkembangnya pandangan pluraristik atau penghargaan atas perbedaan di kalangan umat. Pada zamannya, pengajaran keagamaan sangat normative dan terpaku pada salah satu paham atau aliran pemikiran, atau bahkan kelompok atau pemikiran orang tertentu dan sangat fikh orinented. Metode pendidikan yang seperti dapat dipastikan akan menghasilkan lulusan yang mempunyai pemahaman dan pemaknaan agama yang sempit.s dampak negatifnya adalah kemungkinan munculnya pemahaman yang melihat segala hal yang berbeda dengan paham tersebut sebagai salah, menyimpang dan bahkan sesat. Pada gilirannya, sikap ini menghasilkan pandangan homogen yang menolak perbedaan dalam melihat persoalan-persoalan melalui perspektif agama. Implikasi jauh dari sikap tersebut dapat menjauhkan umat dari partisipasinya dalam pembangunan bangsa. Padahal Nasution sangat berkeinginan agar umat Islam dapat berpartisipasi dalam pembangunan bangsa. Salah satu jalan kuncinya adalah umat Islam Indonesia harus berpikiran rasional, terbuka, dan toleran. Nasution mengingatkan bahwa umat Islam adalah bagian terbesar bangsa Indonesia. Karenanya, umat Islam harus bertanggung jawab dan ikut serta dalam pembangunan bangsa Indonesia. Bagi Nasution, ketika Orde Baru mengambil sikap untuk mengadopsi pembangunan modern, umat Islam harus ikut serta dan menjadi bagian penting dalam proses tersebut, Nasution mencari akar pembenarannya dalam teologi rasioanal ala Mu’tazilah dan mengenalkannya kepeada masyarakat Indonesia lewat buku dan pengajarannya di IAIN dan program pascasarjana IAIN Jakarta. Selama menjadi Rektor (1973-1984) dan setelahnya sampai tahun 1990am sebagai Direktur pada program studi lanjutan pertama yang dibuka di IAIN Jakarta, Nasution mengembangkan pemikiran Islam rasional dan menjadikan program S1 dan pascasarjana IAIN Jakarta sebagai agen pembaharuan pemikiran dalam Islam dan tempat penyemaian gagasan-gagasana keislaman yang baru.

F. Karangan-Karangan Harun Nasution

Harun Nasution juga tecatat sebagai ilmuwan yang produktif dalam bidang karya
ilmiah. Di antara kaya ilmiah yang dihasilkannya adalah:
Pertama, Buku Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya. Dalam bukunya yang terdiri dari dua jilid ini Harun Nasution memperkenalkan Islam secara umum dan komprehensif. Di dalam buku tersebut selain memberikan pengantar umum tentang ilmu kalam, filsafat dan tasawuf, Harun Nasution juga bebicara tentang hukum Islam, pranata social, sumber ajaran Islam, ibadah, sejarah dan peradaban Islam, dan politik. Dengan buku tersebut Harun Nasution ingin memperkenalkan Islam dalam sosoknya yang utuh dan komprehansif, bukan Islam yang selama ini hanya dipahami satu aspek saja. Menurut Harun Nasution pandangan umat terhadap ajaran Islam terlampau sempit. Dalam bidang teologi misalnya mereka hanya mengenal teologi Ash’ariyah dengan sifat dua puluhnya, dan dalam bidang fikh hanya mengenal fikh syafi’I saja. Demikian seterusnya dalam bidang lainnya.
Kehadiran buku tersebut telah mengundang kritik yang tajam dari kalangan Islam tradisionalis normative. Menurut kelompok ini, Harun Nasution telah memperkenalkan Islam yang berbelit-belit dan sulit. Buku tersebut mengesankan bahwa di dalam ajaran Islam terdapat banyak sekali perpecahan. Hal ini amat berlawanan dengan isu persatuan yang tengah digulirkan pemerintah.
Kritik buku tersebut lebih lanjut datang dari H.M. Rasyidi. Menurutnya, Harun Nasution, dengan bukunya itu telah memperlihatkan dirinya sebagai seorang yang berfikir orientalis yang merugikan umat Islam. Menanggapi kritik yang demikian itu, Harun Nasution mengatakan:
Berbagai mazhab dan aliran itu, baik dalam bidang tauhid maupun dalam bidng ibadah, hokum, tasawuf, filsafat, politik, pembaharuan, dan sebagainya masih dalam kebenaran dan tidak keluar dari Islam. Tegasnya masih dalam garis-garis yang ditentukan oleh al-Qur’an dan hadits.
Adanya kritik yang demikian itu tidak menyebabkan Harun mundur dari misinya. Buku tersebut malah menjadi teks wajib dalam mata kuliah Pengantar Agama Islam.
Kedua, Buku Pembaruan dalam Islam: Sejaran Pemikiran dan Gerakan. Buku yang berasal dari kumpulan ceramah dan kuliah serta diterbitkan pertama kali tahun 1975 oleh penerbit Bulan Bintang ini membahas tentang pemikiran dan pembaruan dalam Islam yang timbul dalam periode modern. Pembahasannya mencakup pembaruan yang terjadi di tiga negara Islam: Mesir, Turki, dan India-Pakistan, dengan menampilkan tokoh-tokoh pembaruan dari tiga kawasan tersebut yang dari tiga segi sifat dan coraknya tidak jauh berbeda dengan sifat dan corak pembaruan yang terjadi di Negara lain. Melalui buku ini Harun Nasution mencoba mencari sebab-sebab terjadinya usaha-usaha pembaruan tersebut. Sebab-sebab tersebut antara lain karena umat Islam ingin mengejar keterbelakangnnya dalam bidang ilmu pengetahuan, kebudayaan, ekonomi, dan lain sebagainya. Umat Islam ingin mengambalikan kejayaannya sebagimana terjadi pad abad klasik. Upaya-upaya tersebut antara lain dengan kembali kepada Al-Qur’an dan Al-Sunnah,membuka kembali pintu ijtihad, memurnikan akidah dari pengaruh bid’ah, khurafat, menghargai penggunaan akal pikirian, menyatukan umat Islam serta mempercayai hukumm alam (sunnatullah) dalam mencapai cita-cita.
Sebagaimana buku Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya, buku ini pun mendapatkan kritik dari kalangan ulama tradisional. Mereka takut tradisi Islam yang selama ini dipraktikkan dalam kehidupan umat Islam ditinggalkan.
Ketiga, Buku Filsafat Agama. Buku yang pertama kali diterbitkan pada tahun 1973 oleh Bulan Bintang Jakarta ini, berisi kumpulan kuliah dan ceramah yang ia sampaikan dalam berbagai kesempatan di beberapa perguruan tinggi. Buku ini selain membahas tentang berbagai pengartian tentang agama, juga berisi uraian tentang unsur-unsur agama, (percaya kepada adanya yang ghaib (Tuhan), keyakinan bahwa kebahagiaan hiidup di dunia dan akhirat ditentukan oelh hubungannya yang baik dengan kekuatan ghaib, adanya respons emosional yang mengambil bentuk ibadah, serta adanya sesuatu yang dinilai sebagai yang suci (sakral). Selain itu, buku ini juga berbicara tentang tahapan evolusi dalam beragama, yaitu mulai dari agama yang berita primitive (dinamisme, animism, politeisme, henoteisme, monoteisme, agnotisme, ateisme). Tahapan-tahapan ini umunya terjadi pada agama yang besifat budaya (agama ardli), dan tidak terjadi pada agama yang bersifat samawy (agama langit yang bersumber dari wahyu). Buku ini juga mendapatkan kritik, karena dengan buku ini, Harun Nasution dianggap menyamakan agama Islam dengan agama-agama lainnya.
Keempat, Buku Filsafat dan Mistisme dalam Islam. Buku yang pertama kali diterbitkan oleh Bulan Bintang, Jakarta, tahun 1973 ini membahas filsafat Islam dan Tasawuf secara singkat. Sebagaimana buku-buku yang sebelumnya, buku ini pun berasal dari kumpulan ceramah yang pernah ia sampaikan pada kelompok diskusi kajian agama Islam di Institut Ilmu Keguruan dan Pendidikan (IKIP) Jakarta, Universitas Nasional serta bahan-bahan perkuliahan yang ia sampaikan di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Isi yang terkandung dalam buku ini tentang pemikiran filsafat yang berasal dari al-Kindi, al-Farabi, Ibn Sina, al-Razi, al-Ghazali dan Ibn Rusyd, serta pemikiran para sufi sebagai Rabi’ah al-Adawaiyah, Abu Yasiz al-Bustami, al-Hallaj, Ibn Arabi, dan al-Ghazali.
Kelima, Buku Teologi Islam: Aliran-aliran, Sejarah, Analisa dan Perbandingan. Buku ini pertama kali diterbitkan pada tahun 1972 oleh UI Press. Di dalam buku ini selain dapat dijumpai uraian tentang pengertian teologi, juga dibahas tentang latar belakang lahirnya teologi dalam Islamyang dihubungkan dengan peristiwa politik antara Khalifah Ali Bin Abi Thalib dengan Gubernur Bashrah Mu’awiyah. Dari sebab-sebab masalah politik tersebut lahirlah aliran teologi Khawarij, Murji’ah, Mu’tazilah, Jabariyah, Qadariyah, Asy’ariyah, Maturidiyah Bukhara dan Mutridiyah Samarkand. Selain itu, buku ini juga membahas tentang berbagai masalah teologi yang diperdebatkan, seperti masalah perbuatann manusia dalam hubungannya dengan kekuasaan Tuhan, posisi orang yang berdosa besar di akhirat nanti, hubungan iman dengan perbuatan, yakni apakah iman itu bertambah atau berkurang disebabkan karena perbuatan, serta apakah Al-Qur’an itu qadim atau hadis. Buku ini telah mendorong pembacanya untuk berpikir logis dan sekaligus memiliki sikap menghargai perbedaan pendapat.
Keenam, Buku Muhammad Abduh dan Teologi Rasional. Buku yang berasal dari disertasi Harun Nasution ketika mengambil program doctor di McGill Universitas, Montreal, Canada ini pertama kali diterbitkan pada tahun 1987 oleh UI Press. Di dalamnya dapat dijumpai pembahasan tentang kedudukan akal dalam teologi Muhammad Abduh, serta pengaruhnya terhadp system dan pandangan teologinya. Melalui kajian yang amat mendalam terhadap teologi Muhammad Abduh ini, Harun Nasution berkesimpulan bahwa teologi Muhammad Abduh bercorak rasional-Mu’tazilah. Hal ini menolak anggapan sebagian orang yang menilai teologi Muhammad Abduh sebagai bercorak Ahl Sunnah wa al-jama’ah. Melalui hal ini, Harun Nasution mengatakan bahwa Mu’tazilah tidak keluar dari Islam, bahkan Mu’tazilah memiliki andil yang besar untuk mendorong kemajuan dunia Islam.
Ketujuh, Akal dan Wahyu. Buku ini diterbitkan pada tahun 1987 oleh Yayasan Idayu dan selanjutnya oleh UI Press. Di dalamnya terdapat uraian tentang pengertian akal di dalam Al-Qur’an, perkembangan ilmu pengetahuan dalam Islam serta peranan akal dalam pemikiran keagamaan. Dengan buku ini Harun Nasution menginginkan agar umat Islam tidak takut menggunakan akal melalui ijtihad dalam berbagai bidang: teologi, fikih, tafsir, dan lain sebagainya. Menurutnya bahwa menggunakan akal adalah merupakan perintah yang amat ditekankan dalam Al-Qur’an.
Kedelapan, Islam Rasional. Buku yang berasal dari kumpulan makalah yang disunting oleh Saiful Muzani dan pertama kali diterbitkan oleh Mizan, pada tahun 1995 ini berbicara tentang corak pemikiran rasional agamis pada abad kesimbalan belas. Selain itu buku ini juga membahas tantang Islam rasional yang pernah muncul di abad klasik yang dalam hal ini Mu’tazilah. Dengan kata lain, Harun Nasution ingin mengatakan bahwa pamikiran Mu’tazilah di abad klasik telah pula dipratekkan oleh para ilmuwan di abad kesembilan belas. Dengan demikian telah terjadi apa yang disebut sebagai neo-Mu’tazilah. Melalui buku ini ia mengatakan bahwa pemikiran Mu’tazilah ternyata telah dianut dan dipraktikkan oleh kalangan ilmuwan di berbagai Negara. Timbulnya gerakan pembaruan yang terjadi di berbagai negeri: Mesir, India, Turki, dan sebagaian antara lain karena pengaruh pemikiran Mu’tazilah yang dianut oleh para tokoh pembaru tersebut.


KESIMPULAN


Harun Nasution adalah sosok ilmuan Muslim yang amat berwibawa dan disegani oleh kalangan intelektual muslim, baik di dalam maupun luar negeri, dan sekaligus menjadi sumber timbulnya berbagai masalah yang menimbulkan perdebatan setiap kali orang mendengar namanya, yang terbayang adalah bahwa ia seorang mantan Rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang memiliki keahlian dalam bidang teologi dan filsafat yang bercoran rasional dan liberal. Dengan corak pemikiran teologinya yang demikian itu, Harun Nasution dikenal pula sebagai ilmuwan yang banyak mengemukakan gagasan dan pemikiran yang berbeda dengan pemikiran yang umumnya dianut umat Islam Indonesia. Melalui berbagai karya tulis yang dihasilkannya, Harun Nasution tidak hanya memperkenalkan teologi rasional dan liberal seperti Mu’tazilah dan Asy’ariyah yang banyak dianut umat Islam di Indonesia, melainkan juga memperkenalkan teologi yang rasional dan liberal seperti Mu’tazilah dan Maturidiyah Samarkand.
Gebrakan yang paling penting dilakukan oleh Harun untuk mengangkat umat Islam dan IAIN khususnya adalah mempelopori berdirinya Fakultas Pascasarjana dengan maksud untuk mencetak pemimpin umat Islam masa depan. Menurutnya, pemimpin harus rasiona, mengerti Islam secara komprehensi, tahu tentang agamja dan filsafat. Pemimpin seperti itulah yang diharapkannya lahir dari pascasarjana.
Usahanya untuk mengangkat lembaga pendidikan Islam (IAIN), terasa sangat luar biasa. Di IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta misalnya,kehidupan intelektual akademisnya menjadi lebih hidup. Sekarang ini, jangankan Sutan Takdir Alisyahbana, tokoh intelektual yang jelas berbeda agama pun sudah sering berceramah di IAIN Ciputat, dan sudah dianggap hal biasa. Kondisi seperti itu juga telah mulai terbangun di seluruh IAIN di Indonesia.
Pembenahan yang dilakukan oleh Harun tidak hanya menyangkut mahasiswanya tetapi juga para dosen yang ada di lingkungan IAIN. Untuk meningkatkan mutu dosen, dibentuk forum diskusi regular mingguan dan bulanan sebagi media untuk memecahkan masalah-masalah krusial, yang di dalamnya berkumpul beberapa orang ahli di bidangnya masing-masing, baik dari IAIN maupun dari luar.
Ia juga merintis terbitnya majalah yang dapat dijadikan sarana untuk menyalurkan gagasan, pikiran, dan ide para dosen dan mahasiswanya.
Beberapa usaha yang telah dilakukan oleh Harun dengan pembenahan berbagai sector telah melahirkan satu citra IAIN sebagai pusat studi pembaruan pemikiran Islam. Obesesinya untuk menghadirkan IAIN sebagai pusat dan “arus lalu lintas” pemikiran-pemikiran keislaman dunia juga sangat di dukung oleh bangsa Indonesia yang mayoritas penduduknya beragama Islam dan memiliki pemerintahan yang memberikan tempat terhormat bagi usaha pembinaan umat beragama.





DAFTAR PUSTAKA



Ed: Kusmana, dkk. Parad igma Baru pendidikan Islam (Rekaman Implementasi IAIN Indonesia Social Equity Project (IISEP) 2002-2007), Jakarta: PIC UIN Jakarta, 2008.

http://id.wikipedia.org/wiki/Harun_Nasution

http://ahmadfathulbari.multiply.com/journal/item/2


Muh. Said, Nurhidayati, Pembaruan Pemikiran Islam DI Indonesia “Studi Pemikiran Harun Nasution”, (Jakarta: Pustaka Mapan, 2006), hal 9

Nasution, Harun , Islam Rasional “Gagasan Dan Pemikiran”, Jakarta: Mizan, 1996.

Nata, Abuddin, Tokoh-Tokoh Pembaruan Pendidikan Islam di Indonesia, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2005.


Uchrowi, Zaim dan Ahmadie Thaha (Penyunting), “Menyeru Pemikiran Rasional Mu’tazilah”, dalam Refleksi Pembaharuan Pemikiran Islam: 70 Tahun Harun Nasution, Jakarta: Panitia Penerbitan Buku dan Seminar 70 Tahun Harun Nasution dan Lembaga Studi Agama dan Filsafat, 1989.

Senin, 05 April 2010

Kata Kata

Kata saja tak akan bisa mengungkapkan semua rasa yg ada di hati

Pedih, sepi, penyesalan, tak pernah lepas dari hati ini

Ketika rasa sudah berubah menjadi lebih buruk...

Apalah artinya semua yang telah terjadi...

ketika bahkan hati dan tbuh tak bisa bersatu...

Seakan hidup sendiri-sndiri2

Semuanya seolah tak ada artinya lagi...

Alangkah bahagianya jika hidup bisa membuat kejelasan apa yang harus kulakukan...

apa yang bisa kuperbuat selam sisa hidupku...

apa yng bisa kulakukan untuk mengubah yang telah terjadi..

mengubah benci yang ada kepada sayang...

mengubah kesedihan yang ada kepada kebahagian...

Sedang rasanya tubuh dah hatiku lelah untuk semua ini..

lelah dengan dosa yang keperbuat...

lelah dengan semua yang telah kulakukan...

Seakan hidup ini menghisap energiku untuk tak lagi berbuat apapun...

Jengan dengan semau ketidakpastian...

aku ingin hilang...

PErgi...

Jauh dan tidak kembali..

Sampai aku menemukan tempat kembaliku...
di Ujunga dunia sekalipun..

sampai aku menemukan Sang Khaliq..

Sang PEncipta...

Sabtu, 20 Maret 2010

MAKNA URGENSI DAN METODE PEMBELAJARAN

MAKNA DAN URGENSI METODE PEMBELAJARAN

A. Makna Metode Pembelajaran
Dalam proses pendidikan Islam, metode mempunyai kedudukan yang sangat signifikan untuk mencapai tujuan. Bahkan metode sebagai seni dalam mentransfer ilmu pengetahuan/materi pelajaran kepada peserta didik dianggap lebih signifikan disbanding dengan materi sendiri. Sebuah adigum mengatakan bahwa ‘al-Thariqat Ahamm Min al-Maddah” (metode jauh lebih penting disbanding materi), adalah sebuah realita bahwa cara penyampaian yang komunikatif lebih disenangi oleh peserta didik walaupun sebenarnya materi yag disampaikan sesungguh nya tidak terlalau menarik. Sebaliknya, materi yang cukup baik, karena disampaikan dengan cara yang kurang menarik maka materi itu sendiri kurang dapat dicerna oleh peserta didik. Oleh karena itu penerapan metode yang tepat sangat mempengaruhi pencapaian keberhasilan dalam proses belajar mengajar. Metode yang tidak tepat akan berakibat terhadap pemakaian waktu yang tidak efisien.
Secara etimologi, istilah metode berasal dari bahasa Yunani “metodos”. Kata ini terdiri dari dua suku kata : yaitu “metha” yang berarti melalui atau melewati dan “hodos” yang berarti jalan atau cara. Metode berarti suatu jalan yang dilalui untuk mencapai tujuan. Dalam bahasa Arab metode disebut “Thariqat”, dalam Kamu Besar Bahasa Indonesia, “metode” adalah : “Cara yang teratur dan terpikir baik-baik untuk mencapai maksud” sehingga dapat dipahami bahwa metode berarti suatu cara yang harus dilalui untuk menyajikan bahan pelajaran agar tercapai tujuan pengajaran.
Metode, dalam bahasa Arab, di kenal dengan istilah Thariqat yang berarti langkah-langkah strategis dipersiapkan untuk melakukan suatu pekerjaan. Bila dihubungkan dengan pendidikan, maka strategi tersebut haruslah diwujudkan dalam proses pendidikan, dalam rangka perkembangan sikap mental dan berkepribadian agar peserta didik menerima materi ajar dengan mudah, efektif dan mudah dicerna.

Secara harfiah “metodik” itu berasal dari kata “metode” (method). Metode berarti suatu cara kerja yang sistematik dan umum, seperti cara kerja ilmu pengetahuan. Ia merupakan jawaban atas pertanyaan “Bagaimana”. Metodik(methodentik) sama artinya dengan metodologi, (methodology), yaitu suatu penyelidikan yang sistematis dan formulasi metode-metode yang akan digunakan dalam penilitian.
Dalam pandangan filosofis pendidikan, metode merupakan alat yang dipergunakan untuk mencapat tujuan pendidikan.
Banyak orang yang menerjemahkan atau menyamakan pengertian “metode” dengan “cara”. Ini tidak seluruhnya salah. Memang metode dapat juga diartikan dengan cara. Untuk mengetahui pengertian metode secara tepat, dapat kita lihat penggunaan kata metode dalam bahasa Inggris. Dalam bahasa Inggris ada kata way dan ada kata method. Dua kata ini sering diterjemahkan cara dalam bahasa Indonesia. Sebenarnya yang lebih layak diterjemahkan cara adalah kata way itu, bukan kata method.
Metode adalah istilah yang digunakan untuk mengungkapkan pengertian “cara yang paling tepat dalam melakukan sesuatu.” Ungkapan “paling tepat dan cepat” itulah yang membedakan method dan way (yang juga berarti cara) dalam bahasa Inggris.
Karena metode berarti cara yang paling tepat dan cepat, maka urutan kerja dalam suatu metode harus diperhitungkan benar-benar secara ilmiah. Karena itulah suatu metode merupakan hasil eksperimen. Kita tahu, sesuatu konsep yang dieksperimenkan haruslah telah lulus uji teori, dengan kata lain suatu konsep yang telah diterima secara teoritis yang boleh dieksperimenkan.
Metode adalah “a way in achieving something” (Wina Senjaya (2008). Jadi, metode pembelajaran dapat diartikan sebagai cara yang digunakan untuk mengimplementasikan rencana yang sudah disusun dalam bentuk kegiatan nyata dan praktis untuk mencapai tujuan pembelajaran. Terdapat beberapa metode pembelajaran yang dapat digunakan untuk mengimplementasikan strategi pembelajaran, diantaranya: (1) ceramah; (2) demonstrasi; (3) diskusi; (4) simulasi; (5) laboratorium; (6) pengalaman lapangan; (7) brainstorming; (8) debat, (9) simposium, dan sebagainya.
Metode mengajar adalah cara-cara menyajikan bahan pelajaran kepada siswa untuk tercapainya tujuan yang telah ditetapkan.
Metode mengajar dapat juga diartikan dengan cara yang dipergunakan oleh guru dalam mengadakan hubungan dengan peserta didik pada saat berlangsungnya proses pembelajaran. Dengan demikian, metode mengajar merupakan alat untuk menciptakan proses pembelajaran.
Metode mengajar bisa juga dikatakan sebagai berikut :
 Merupakan salah satu komponen daripada proses pendidikan.
 Merupakan alat mencapai tujuan, yang didukung oleh alat-alat bantu mengajar.
 Merupakan kebulatan dalam suatu sistim pendidikan.

B. Urgensi Metode Pembelajaran
Metode merupakan hal yang sangat penting bagi peserta didik. Metode pendidikan hampir sepenuhnya tergantung kepada kepentingan peserta didik, para guru hanya bertindak sebagai motivator, stimulator, fasilitator, ataupun hanya sebagai instruktur. Upaya guru untuk memilih metode yang tepat dalam mendidik peserta didiknya harus disesuaikan dengan tuntutan dan karakteristik peserta didiknya. Ia harus mengusahakan agar pelajaran yang diberikan kepada peserta didiknya mudah diterima.
Seorang guru dituntut agar mempelajari berbagai metode yang digunakan dalam mengajarkan suatu mata pelajaran, seperti bercerita, mendemostrasikan, mencobakan, memecahkan masalah, mendikusikan yang digunakan oleh ahli pendidikan Islam dari zaman dahulu sampai sekarang, dan mempelajari prinsip-prinsip metodologi dalam ayat-ayat Al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah SAW.
Penggunaan metode dalam suatu mata pelajaran bisa lebih dari satu macam. Metode yang variatif dapat membangkitkan motivasi belajar anak didik. Dalam pemilihan dan penggunaan sebuah metode harus mempertimbangkan aspek efektivitasnya dan relevansinya dengan materi yang disampaikan.
Keberhasilan penggunaan suatu metode merupakan keberhasilan proses pembelajaran yang pada akhirnya berfungsi sebagai diterminasi kualitas pendidikan.
Metode pengajaran haruslah dapat dengan dilakukan dengan cepat dan efektif. Pengajaran yang efektif artinya pengajaran yang dapat dipahami murid secara sempurna. Dalam ilmu pendidikan sering juga dikatakan bahwa pengajaran yang tepat adalah pengajaran yang berfungsi pada murid. “Berfungsi” artinya menjadi milik murid, pengajaran itu membentuk dan mempengaruhi pribadinya. Adapun pengajaran yang cepat adalah pengajaran yang tidak memerlukan waktu lama.
Apakah metode itu penting bagi setiap pengajaran? Untuk menjawab pertanyaan ini, marilah kita berbincang-bincang tentang hakikat metodik itu. Setiap orang yang berkewajiban melakukan tugas, kepadanya dituntut agar memangku kewajiban itu sepenuh tanggung jawab. Setiap kewajiban berisi tuga, dan setiap tugas harus dilaksanakan. Suatu tugas selesai dilaksanakan setelah tujuan yang dituju petugas itu tercapai.
Pengajaran agama Islam adalah suatu tugas yang setelah itu barulah kita mengetahui garis temu antara kedua lingkaran tersebut mempunyai permasalahan yang berkembang, karena obyeknya, situasinya dan tugasnya berkembang pula. Metodik membuat si pelaksana tugas atau guru dapat mencapai tujuan dengan tepat dan cepat. Hasilnya dapat diyakini, dan kalau perlu dapat diperiksa kembali jalan pengajaran itu. Dengan menelusuri kembali jalan pengajaran itu kita dapat menemukan kelemahan-kelemahan yang telah dilakukan dan dengan itu dapat diperbaiki. Hal yang demikian tidak atau sukar dilakukan jika kita tidak mengikuti suatu metode yang tepat. Guru dituntut agar menguasai metodik pengajaran, agar bahan pelajaran yang diajarkan dapat diterima dan dicerna oleh siswa.
Sebuah adigum mengatakan bahwa ‘al-Thariqat Ahamm Min al-Maddah” (metode jauh lebih penting disbanding materi), adalah sebuah realita bahwa cara penyampaian yang komunikatif lebih disenangi oleh peserta didik walaupun sebenarnya materi yag disampaikan sesungguh nya tidak terlalau menarik. Sebaliknya, materi yang cukup baik, karena disampaikan dengan cara yang kurang menarik maka materi itu sendiri kurang dapat dicerna oleh peserta didik. Oleh karena itu penerapan metode yang tepat sangat mempengaruhi pencapaian keberhasilan dalam proses belajar mengajar. Metode yang tidak tepat akan berakibat terhadap pemakaian waktu yang tidak efisien.

DAFTAR PUSTAKA
Arief, Armai , Pengantar Ilmu Dan Metodologi Pendidikan Islam, (Jakarta: Ciputat Press, 2007)
Daradjat, Zakiah , dkk, Metodik Khusus Pengajaran Agama Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 1995)

Ramayulis, Metodologi Pendidikan Agama Islam, (Jakarta: Kalam Mulia, 2005)

Tafsir, Ahmad, Metodologi Pengajaran Agama islam, (Bandung: PT Remaja Rosda Karya, 2004)
Zuhairini, dkk, Metodik khusus Pendidikan Agama, (Surabaya, Usaha Nasional, 1983)

http://akhmadsudrajat.wordpress.com/2008/09/12/pengertian-pendekatan-strategi-metode-teknik-taktik-dan-model-pembelajaran/

http://sutisna.com/pendidikan/strategi-belajar-mengajar/pengertian-metode-mengajar/

Senin, 08 Februari 2010

Shalat dan Kesehatan Mental

BAB I
PENDAHULUAN

Shalat ialah ibadah yang terdiri dari perkataan dan perbuatan tertentu yang dimulai dengan takbir bagi Allah Ta’ala dan disudahi dengan memberi salam.
Shalat adalah menghadapakan jiwa kepada Allah yang mendatangkan rasa takut kepada-Nya serta menumbuhkan dalam jiwa rasa keagungan kebesaran-Nya dan kesempurnaan kekuatan-Nya. Shalat juga bisa berarti berharap kepada Allah dengan sepenuh jiwa, khusyuk di hadapan-Nya, ikhlas bagi-Nya, serta hati hasir dalam berzikir, berdoa dan memuji-Nya.
Dengan ibadah sholat dengan khusyu dan dikerjakan secara terus menerus menjedikan manusia terbebas dari terganggunya kesehatan mental, karena ibadah shalat mengandung unsur-unsur penyembuhan bagi mereka yang tidak sehat mentalnya dengan dasar Keimanan dan Ketakwaan kepada Allah SWT.
Ibadah sholat yang dilaksanakan ada yang wajib dan sunnah. Sholat wajib dalam kesehatan mental fungsinya sebagai pondasi yang menjadi dasar dalam proses penyembuhan bagi manusia yang terganggu kesehatan mentalnya. Selain ibada wajib, ada shalat sunnat. Dan macam shalat sunnat antara lain shalat sunnat wudu, tahajud, hajad, istikharah, taubat, dhuha dan lain-lain. Dan dalam bacaan shalat sunnat tersebut terdapat didalamnya spesifikasi permohonan sesuai dengan kebutuhan manusia dan Allah men-sunnatkan manusia untuk melaksanakannya, melaksanakan shalat sunnat tersebut membantu manusia untuk terkabulnya permohonan manusia yaitu dengan mendapatkan Rahmat, Hidayah dan Inayah-Nya. Dan pada hakekatnya permohonan manusia yang terkandung pada shalat sunnat tersebut terlah terkandung dan termohonkan pada shalat wajib.










BAB II
PEMBAHASAN

1. Pengertian Shalat
Shalat adalah pokok ibadah. Shalat menurut bahasa adalah doa. Ada yang berkata, shalat itu bermakna, ta’zim, rahmat dan berkat. Dan bermakna puji. Rumah tempat sembahyang orang Yahudipun dinamai shalat
Menurut syara’ ialah, hubungan antara hamba dengan Tuhannya. Dinami iabhada ini dnegan shalat, adalah karena dia dilengkapi doa. Karena itulah membaca doa untuk Nabi dinami shalat (shalawat).
Shalat ialah ibadah yang terdiri dari perkataan dan perbuatan tertentu yang dimulai dengan takbir bagi Allah Ta’ala dan disudahi dengan memberi salam.
Shalat adalah menghadapakan jiwa kepada Allah yang mendatangkan rasa takut kepada-Nya serta menumbuhkan dalam jiwa rasa keagungan kebesaran-Nya dan kesempurnaan kekuatan-Nya. Shalat juga bisa berarti berharap kepada Allah dengan sepenuh jiwa, khusyuk di hadapan-Nya, ikhlas bagi-Nya, serta hati hasir dalam berzikir, berdoa dan memuji-Nya.
Shalat dalam agama Islam menempati kedudukan yang tak dapat ditandingi oleh ibadah manapun juga. Ia merupakan tiang agama di mana ia tak dapat tegak kecuali dengan itu.
Setiap umat Islam wajib menjalankan shalat lima waktu jika ditinggalkan atau tidak dilakukan berdosa, dan kelima shalat itu harus dilaksanakan pada waktu yang ditentukan. Dan pelaksanaannya harus didahului dengan beberapa syarat, diantaranya wudhu, ada kalanya mandi besar seluruh tubuh, yang dilakukan sebelum shalat. Perintah sholat wajib adalah tegas dalam Al-Qur’an banyak teradapat ayat yang memerintahkan shalat kepada manusia mukallaf (yang telah mendekati kematangan pikiran dan tubuh, yaitu kurang lebih umur 15 tahun), diantaranya: Artinya : “Dan dirikanlah shalat, tunaikan zakat, dan taatlah kepada Rasul, supaya kamu diberi rahmat .“ ( Surat An-Nur ayat 56 ).
Ibadah shalat adalah ajaran agama yang diwahyukan dari Allah kepada Nabi Muhammad saw. Karena itu ibadah shalat pasti mempunyai banyak hikmah didalamnya. Kalau kita pelajari al-Qur’an dan as-Sunnah maka akan kita temukan penjelasan tentang hikmah dari pelaksanaan ibadah shalat, diantaranya yaitu pengaruh pelaksanaan terhadap kesehatan mental manusia.
Nilai-nilai kesehatan mental itu tertuang disalam syarat, rukun dan sunat shalat yang terealisasikan dalam bentuk bacaan-bacaan dan perbuatan. Gambaran sholat adalah sebagi berikut: shala adalah ibadah badaniah dengan hukum ada yang diwajibkan dan ada yang di sunnatkan. “Seorang muslim menunaikan shalat dengan menghadapkan wajahnya ke Masjidil Haram yang berada di Mekkah. Dimulai dengan membaca takbir “Allahu Akbar”. Kemudian emmebaca al-Fatihah dan beberapa ayat al-Qur’an yang dihafalnya seraya dengan memperhatikan makna-makna ayat yang dibacanya, lalu ruku’ dengan membungkukan badannya hingga punggungnya menjadi tara seraya memegang kedua lututnya dengan kedua tangannya dan membaca didalam ruku’ itu ucapan, “Subhana rabbiyal’azhim”. Sesudah itu mengangkat kepala sambil memuji Allah dengan ucapan “Sa’al-lahu liman hamidah, Rabban lakal-‘I-hamdu. Kemudian tunduk bersujud engan meletakkan kening di atas tanah lantai dengan membaca di dalam sujud itu.

2. Makna Shalat
Shalat itu melatih kaum muslimin untuk berserah diri kepada Allah, tidak hanya kebaikan posisinya yang berarti penyerahan, tetapi juga dengan makna shalat itu sendiri.
Salah satu dari ucapan shalat itu adalah “Allah Maha Besar”, (Allahu Akbar). Kalimat ini diucapkan antara setiap posisi dalam shalat. Ini diucapkan antara berdiri pertama dan berjongkok, antara kedua dan sujud pertama, antara sujud pertama dan duduk dan antara duduk dan sujud kedua.
Allah Maha Besar
Ini berarti bahwa kaum muslimin mengulang kalimat “Allah Maha Besar,” setidak-tidaknya enam kali dalam rekaat shalat. Ini juga berarti bahwa kalimat ini diulang lebih dari seratus kali setiap hari. Bayangkan efek psikologisnya terhadap kaum muslimin yang mengulang kata Allah Maha Besar seratus kali dalam sehari. Allah Maha Besar, Allah Maha Besar, Allah Maha Besar.
Apa makna yang terkandung dalam kalimat ini? Berarti bahwa kaum muslimin harus berserah diri hanya kepada Allah, karena Allah Maha Besar. Ini berarti, kaum muslimin hanya mencari perlindungan kepada Allah Yang Maha Besar. Ini berarti bahwa setiap muslim boleh tidak mengikuti orang atau pemimpinnya jika orang dan pemimpinnya itu bertentangan dengan Allah, karena Allah itu Maha Besar. Jika Allah itu Maha Besar dan kaum muslimin mengikatkan diri kepada Allah yang Maha Besar, maka ikatan itu memberi rasa percaya diri yang besar kepada kaum muslimin dengan kekuatan dan keberanian yang besar.
Shalat mempunyai pengaruh yang besar terhadap kaum muslimin. Selama menjalankan shalat, kita mengulang bahwa Allah itu Maha Besar kurang dari seratus kali sehari. Dengan pengulangan setiap hari itu, kepribadian kaum muslimin akan terbentuk dengan cara tertentu; Allah Maha Besar, tidak ada penyerahan diri kepada filosof atau filsafat karena dia mengatakan berjuta-juta kali bahwa Allah Maha Besar dan ini berarti bahwa penyerahan itu hanya kepada Allah.
Sebagai Muslim, sebagaimana telah kita katakan, kata Allah Maha Agung setidaknya kita ucapkan seratus kali dalam sehari. Ini berarti kita menyebutnya 3000 kali sebulan dan kaum muslimin menyebut nama Allah Maha Agung sebanyak satu juta dalam 25 tahun. Jika seorang muslim shalat selama 25 tahun, maka berarti bahwa Allah Maha Agung itu terucap satu juta kali dalam hidupnya.

3. Fungsi Shalat dalam Fikh
Fungsi umum yang meliputi seluruh sembahyang, ialah:
1) Menciptakan jiwa yang jernih
Dengan membaca Kitabullah dan membaharui ingatan kepada-Nya dan menambah terhunjamnya iman ke dalam lubuk jiwa dengan jalan bermunajat kepada Tuhan yang mempunyai kekuasaan dan kebesaran. Lantaran inilah yang disyaratkan khusyuk dan hadir hati. Tiap-tiap sembahyang yang kosong dari jiwanya ini, tidak memberi faedah yang dimaksudkan dari sembahyang itu. Ucapan-ucapan dan zikir-zikir tidaklah dimaksudkan sekedar menguji lidah dalam beramal, sebagaimana diuji ma’idah dan farj dengan berpuasa dan diuji hati dengan mengeluarkan sedikit harta untuk zakat dan menguji tubuh dengan menderita kepayahan dalam berhaji. Yang dimaksudkan dari ucapan lidah, ialah menerangkan isi hati, yang menghendaki hadirnya hati dan memahamkan apa yang dituturkan itu, serta disertai yang demikian itu oleh kekhusyukan.
2) Membesarkan Tuhan yang disembah
Amalan-amalan sembahyang mengandung pekerjaan-pekerjaan nyata mewujudkan kesempurnaan khudlu’ dan kesempurnaan ta’dhim. Lihat rukuk itu. Pandanglah rukuk itu dan sujud. Kesua-duany menunjuk bahwa kita memperhambakan diri kepada Allah dan menunjuuk dengan senyata-nyatanya, bahwa kita membesarkan-Nya dan memuliakan-Nya. Akan tetapi, tidaklah dipandang, bahwa yang demikian membesarkan Allah, kalau tidak disertai oleh khusyuk dan hadir hati.
3) menjauhkan diri dari fahsya dan mungkar
Yang demikian ini dilakukan dengan ucapan dan perbuatan. Para mushalin meniadakan dengan perkataan dalam sembahyangnya segala sifat jeleek. Terutama sekali meniadakan persekutuan bagi Tuhan. Ia ucapkan, dengan lidahnya Allahu Akbar. Maka dengan Allahu, ia tetapkan bahwa Allah itu maujud dan dengan ucapan Akbar, ia tetapkan bahwa Allah itu tidak bersekutu, tidak sebanding (tak ada yang menyekutui-Nya dan tak ada yang menandingi-Nya). Demikian juga ucapannya Bismillahir rahmanirrahim. Perkataan Bismillah mengisbatkan ada-Nya Tuhan dan perkataan arrahmanirrahim, meniadakan adanya persekutuan.

4. Fungsi Shalat dalam Kesehatan Mental
Para pakar kesehatan jiwa membahas hikmah bagi manusia dari segi kesehatan jiwa sebagai pengobat, pencegah dan pembina.

a. sebagai pengobat gangguan jiwa dan penyakit jiwa
Apabila shalat wajib kita tinjau dari kesehatan mental maka akan dapat kita pahami bahwa shalat wajib mempuyai hikah sebagai pengobat bagi manusai yang terganggu kesehatan jiwanya, baik itu yang berkenaan dengan ketegangan emosi dengan pengaruhnya sampai pada tahap pskosomatik.
Penyebab terjadinya gangguan dan penyakit jiwa adalah karena tekanan perasaan dan konflik-konflik batin yang tidak terselesaikan yang menyebabkan terganggunya kesehatan jiwanya misalnya dalam rangka mencapai pemenuhan kebutuhan-kebutuhan manusai baik secara phisik dan psikis
Ibada shalat didalamnya terdapat bacaan-bacaan atau gerakan-gerakan shalat. Bacaa-bacaan shalat semuanya merupakan doa dan zikir yang berisi ucapan-ucapan mulian dan indah yang mengandung pujian dan sanjungan kepada Allah sebagi pencipta dan juga bacaan-bacaan shalat berisi permohonan manusia akan hajadnya dalam kehidupan di dunia dan di akhirat.
Permohonan manusia atas pemenuhan kebutuhan-kebutuhan atas hajdanya dalam kehiudpan di dunia dan di akhirat dimohonkan kepada Allah lewat pelaksanaan ibadah shalat. Sebagimana Firman Allah dalam QS. Al-Muknin : 60 dan QS. Al-Baqarah : 186:
Artinya:
“ Dan Tuhanmu berfirman “ Berdoalah kepada-Ku niscaya akan kuperkenankan bagimu….”
Artinya:
“Dan apabila hamba-hamba-Ku, bertanya kepada-Ku tentang Aku, maka (jawablah), bahwasanya Aku adalah dekat. Aku mengabulkan permobonan orang yang mendoa apabila ia berdao kepada-Ku..”
Dengan shalat manusia menyerahkan diri kepada-Nya, hal ini akan membantu dalam meredakan ketegangan emosi manusia, karena seorang mukmin mempunyai keyakinan bahwa Allah akan mengabulkan doanya dan memecahkan problem-roblemnya, memenuhi berbagai macam kebutuhannya dan membebaskan diri dari kegelisahan dan kerisauan yang menimpanya.
Menghadap kepada Allah melalui shalat dan berdoa kepada-Nya dengan harapan dikabulkan akan menimbulkan otosugesti yang akan meredakan ketegangan emosi dan kegoncngan jiwa yang terjadi pada manusia.
Ibadah shalat mengantarkan pada hasil yang dicapai psikoterapi yang berhasil. sebab perasaan aman, tentram dan lepas dari ketegangan emosi telah terkondisikan pada dirinya, keadaan tersebut membantu membebaskan manusia yang sebelumnya terganggu kesehatan mentalnya yaitu mengalamni ketegangan emosi dan sampai tindak lanjutnya yiatu psikosomatik menjadi tenang dan tentram tersbebas dari gangguan psikis dan fisiologis.
Ketegangan emosi itu terjadi, bahkan sampai ada yang tindak lanjut yaitu psikomatik, semuanya itu timbul karena katidakmampuan manusia untuk menghadapi dan memecahkan konflik-konflik psikisnya. Padahal konflik psikis menguras banyak tebaga psikisnya. Sehingga akhirnya sangat mempengaruhi berbagai aspek/sendi stabilitas manusia, mempengaruhi emosi, kesehatan dan mengakibatkan terhambatnya aktualisasi kemampuan dan potensi manusia.
Dengan ibadah sholat dengan khusyu dan dikerjakan secara terus menerus menjedikan manusia terbebas dari terganggunya kesehatan mental, karena ibadah shalat mengandung unsur-unsur penyembuhan bagi mereka yang tidak sehat mentalnya dengan dasar Keimanan dan Ketakwaan kepada Allah SWT.
Ibadah sholat yang dilaksanakan ada yang wajib dan sunnah. Sholat wajib dalam kesehatan mental fungsinya sebagai pondasi yang menjadi dasar dalam proses penyembuhan bagi manusia yang terganggu kesehatan mentalnya. Selain ibada wajib, ada shalat sunnat. Dan macam shalat sunnat antara lain shalat sunnat wudu, tahajud, hajad, istikharah, taubat, dhuha dan lain-lain. Dan dalam bacaan shalat sunnat tersebut terdapat didalamnya spesifikasi permohonan sesuai dengan kebutuhan manusia dan Allah men-sunnatkan manusia untuk melaksanakannya, melaksanakan shalat sunnat tersebut membantu manusia untuk terkabulnya permohonan manusia yaitu dengan mendapatkan Rahmat, Hidayah dan Inayah-Nya. Dan pada hakekatnya permohonan manusia yang terkandung pada shalat sunnat tersebut terlah terkandung dan termohonkan pada shalat wajib.
Salah satunya adalah manfaat shalat sunnat tahajud, dikabarkan dalam sebuah riwayat sahih bahwa Rasulullah Saw. Tidak pernah meninggalkan salat tahajud hingga beliau wafat. Dalam sebuah riwayat lain yang dikemukakan Abu Huraiah, Rasulullah Saw. Pernah bersabda bahwa: ”Salat sunah yang utama setelah salat fardu adalah salat tahajud,” (HR Abu Daud).
Di dalam Al-Qur’an, Allah Swt., berfirman:

”Hai orang yang berselimut (Muhammad), bangunlah (untuk sembahyang) di malam hari, kecuali sedikit (daripadanya), (yaitu) seperduanya atau kurangilah dari seperdua itu sendikit, ” (QS Al-Muzammil {73} : 1-3).

” Dan, pada sebagian malam hari, bersembahyang tahajudlah kamu sebagai suatu ibadah tambahan bagimu : mudah-mudahan Tuhanmu mengangkat kamu ke tempat yang terpuji, ” (QS Al-Isra :{17} : 79)

Dalam ayat pertama di atas, Allah menyuruh orang yang berselimut supaya bangun pada malam hari untuk menjalankan salat tahajud. Dan, dalam ayat kedua, Allah menegaskan bahwa salah tahajud sebagai sebuah ibadah tambahan dengan janji akan mengangkat derajat si pengamal salah tahajdu ke derajat yang terpuji. Salat tahajud ini memiliki manfaat praktis, baik dari sudut pandang religius maupun kesehatan, sebagimana disabdakan Rasulullah Saw. Dalam sebuah hadis: ”Salah tahajud dapat menghapusdosa, mendatangkan ketenangan, dan menghindarkan dari penyakit, (HR Tirmidzi).”
Sabda Rasulullah Saw. Di atas memberikan sebuah peluan untuk menelaah lebih jauh mengenai hubungan praktik iabadah mahdah dengan laur logika dan pembuktian sains. Dalam hubungannya dengan tema salat tahajud, sabda Nabi Saw. ini dapat dihubungkan dengan fakta dalam sebuah penelitian yang membuktikan bahwa ketenangan dapat meningkatkan ketahanan tubuh imunologik, mengurangi risiko terkena penyakit jantung, dan meningkatkan usia harapan. Sebaliknya, stres dapat menyebabkan seseorang sedemikian rentan terhadap infeksi, mempercepat perkembangan sel kanker, dan meningkatkan metastasis. Dengan demikian, secara teoritis, para pengamal salat tahajud pasti terjamin kesehatannya, baik secara fisik maupun mental.

b) Fungsi shalat sebagai pencegah gangguan dan penyakit jiwa
Manusia dalam kehidupannya selalu menghadapi berbagai macam problem dan cobaan hidup, hal yang tidak menyenangkan selalu terjadi. Dan dengan melaksanakan shalat lima waktu dengan khusyu dan dilaksanakan secara terus menerus maka dapat dihindari gangguan jiwa dan penyakit kejiwaan, karena penumpukan perasaan yang tidak mengenakan dihati dapat dihindari, karena perasaan yang tidak mengenakan dihati dapat dihindari, karena manusia selalu mengungkapkannya sebanyak lima kali sehari melalui iabadah shalat dengan keyakinan bahwa pengungkapannya langsung didengar, dipahami dan diperhatikan oleh Allah karena Allah Maha Pengasih lagi Maha Penyayang.
Pengungkapan perasaan manusia lewat shalat membuat hati menjadi lega dan tentram tidak ada lagi hal-hal yang tidak mengenakan tertinggal di hati karena telah diungkapkannya lewat shalat, dan merasa aman karena terjamin kerahasiaannya serta yakin akan mendapat Rahmat, Hidayat, dan Inayah-Nya, sehingga perasaan tenang, tentram selalu menghiasi dirinya karena selalu berkomunikasi kepada Allah.

c) Fungsi ibadah shalat sebagai pembinaan kesehatan jiwa
secara khusus shalat wajib mempunyai fungsi sebagi pengobat dan pencegah gangguan kejiwaan dan shalat sunnah mempunyai fungsi sebagai pembina kesehatan jiwa. Sebagai pembina kesehatan jiwa manusia, shalat mempunyai manfaat memperkuat mental dan menambah kesehatan jiwa. Karena pendekatan kepada Allah lebih ditingkatkan dengan sesadaran dan kemauan untuk lebih banyak memperoleh kesempatan untuk menentramkan bathin manusia.
Kalau kesehatan jasmani dapat diperbandingkan dengan kesehatan jiwa yaitu dalam makna ada uang disebut empat sehat lima sempurna maka dapat ditunjukkan shalat wajib merupakan pokok-pokok yang menjamin terciptanya kesehatan jiwa dan salat sunnat mempunyai pengaruh untuk menambah kuatnya mental manusia.
Shalat sunnat membantu shalat wajib membebaskan tenaga psikis manusia dari berbagai ikatan keteganag emosi dan membekal dengan kekuatan rohani dan memperbaharui diri dengan harapan yang menguat disertai rasa optimis yang tinggi dalam kehidupan, kondiri tersebut dapat memberikan kekuatan luar biasa bagi manusia yntuk menghadapi berbagai problem kehidupan.

5. Kaitan antara Shalat dan Kesehatan Mental
Shalat yang kita ketahui merupakan ibadah khusyuk yang dilaksanakan untuk mendapatkan hidayah-Nya banyak sekali mempengaruhi bidang kesehatan jiwa. Hal kita lihat dalam kehidupan sehari-hari adalah ketika banyak sekali orang terkena gangguan jiwa penyembuhannya atau terapi yang paling baik adalah dengan shalat. Dengan shalat, kita akan menyerahkan jiwa kita dan mencurahkan hati kepada Sang Pencipta.
Dari bacaan di atas, banyak fungsi-fungsi shalat yang diutarakan. Yaitu : shalat sebagai sebagai pengobat gangguan jiwa dan penyakit jiwa, fungsi ibadah shalat sebagai pembinaan kesehatan jiwa, dan fungsi shalat sebagai pencegah gangguan dan penyakit jiwa. Dari sini kita lihat kaitan antara shalat dan kesehatan mental. Dari shalat, semua aspek kejiwaan yang terdapat dalam diri kita dapat terobati, sehingga penyakit yang ada di dalam diri kita perlahan-lahan akan hilang dan kita akan merasakan ketenangan di dalam jiwa kita.



BAB III
PENUTUP

Ibadah shalat adalah ajaran agama yang diwahyukan dari Allah kepada Nabi Muhammad saw. Karena itu ibadah shalat pasti mempunyai banyak hikmah didalamnya. Kalau kita pelajari al-Qur’an dan as-Sunnah maka akan kita temukan penjelasan tentang hikmah dari pelaksanaan ibadah shalat, diantaranya yaitu pengaruh pelaksanaan terhadap kesehatan mental manusia.
Dengan shalat manusia menyerahkan diri kepada-Nya, hal ini akan membantu dalam meredakan ketegangan emosi manusia, karena seorang mukmin mempunyai keyakinan bahwa Allah akan mengabulkan doanya dan memecahkan problem-roblemnya, memenuhi berbagai macam kebutuhannya dan membebaskan diri dari kegelisahan dan kerisauan yang menimpanya.
Menghadap kepada Allah melalui shalat dan berdoa kepada-Nya dengan harapan dikabulkan akan menimbulkan otosugesti yang akan meredakan ketegangan emosi dan kegoncngan jiwa yang terjadi pada manusia.
Fungsi shalat yaitu : 1. Shalat sebagai sebagai pengobat gangguan jiwa dan penyakit jiwa, 2. Fungsi ibadah shalat sebagai pembinaan kesehatan jiwa, dan 3. Fungsi shalat sebagai pencegah gangguan dan penyakit jiwa.


DAFTAR PUSTAKA

Hasbi Ash shiddieqy, Teungku Muhammad, Kuliah Ibada Ditinjau dari Segi Hukum dan Hikmah, Semarang : PT PustakaRizki Putera, 2000.

Narendrany Hidayati, Heni dan Andri Yudiantoro, Psikologi Agma, Jakarta : UIN Press, 2007

Sabiq, Sayid, Fikh Sunnah 1, Bandung : PT Al-Ma’Arif, 1983, Cet-5

Sholeh, Moh, Terapi Salat Tahajud Menyembuhkan Berbagai Penyakit, Bandung : Mizan Media Utama, 2006

Tebba, Sudirman, Nikmatnya Shalat Jamaah, Jakarta : Pustaka Irvan, 2008.

http://mufazi881.blogspot.com/2009/07/sholat-sebagai-solusi-bagi-kesehatan.html

http://www.haqqy-site.co.cc/2009/05/shalat-dan-kesehatan-jiwa.html