Mengenai Saya

Foto saya
Aku hanyalah seoarang manusia yang bisa saja salah dalam setiap kata yang telah aku ucapkan, tulisan yang telah aku buat.jika terdapat kesalahan kata, tanda baca, nama, dsb harap dimaklumi, Sungguh, Allahlah yang maha sempurna dengan segala sesuatu, dan aku hanyalah manusia yang terkadang alfa atas setiap hal yang telah kulalui.

Senin, 10 Mei 2010

Pemikiran Harun Nasution

PENDAHULUAN

Harun Nasution adalah sosok ilmuan Muslim yang amat berwibawa dan disegani oleh kalangan intelektual muslim, baik di dalam maupun luar negeri, dan sekaligus menjadi sumber timbulnya berbagai masalah yang menimbulkan perdebatan setiap kali orang mendengar namanya, yang terbayang adalah bahwa ia seorang mantan Rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang memiliki keahlian dalam bidang teologi dan filsafat yang bercoran rasional dan liberal. Dengan corak pemikiran teologinya yang demikian itu, Harun Nasution dikenal pula sebagai ilmuwan yang banyak mengemukakan gagasan dan pemikiran yang berbeda dengan pemikiran yang umumnya dianut umat Islam Indonesia. Melalui berbagai karya tulis yang dihasilkannya, Harun Nasution tidak hanya memperkenalkan teologi rasional dan liberal seperti Mu’tazilah dan Asy’ariyah yang banyak dianut umat Islam di Indonesia, melainkan juga memperkenalkan teologi yang rasional dan liberal seperti Mu’tazilah dan Maturidiyah Samarkand. Di dalam pergulatannya dengan berbagai paham aliran teologi tersebut serta hubungannya dengan kondisi social, ekonomi, budaya, dan ilmu pengetahuan di Indonesia yang terbelakang, Harun Nasution lebih lanjut menunjukkan kecenderungannya kepada teologi Mu’tazilah. Harun Nasution melihat bahwa untuk mengatasi berbagai keterbelakangan umat Islam di Indonesia dalam berbagai bidang tersebut harus dilakukan dengan mengubah paham teologi yang dianutnya, yaitu dari paham teologi tradisional menjadi teologi yang rasional dan liberal. Kecenderungan yang demikian itu, membawa implikasi timbulnya tuduhan dari masyarakat pada umumnya kepada Harun Nasution sebagai Muslim yang terbaratkan, dan sekuler. Harun Nasution mendapatkan tuduhan sebagai Mu’tazilah yang tesesat.
Harun Nasution juga dikenal sebagai tokoh yang berpikiran terbuka. Ketika ramai dibicarakan tentang hubungan antar agama pada tahun 1975, Harun Nasution dikenal sebagai tokoh yang berpikiran luwes lalu mengusulkan pembentukan wadah musyawarah antar agama, yang bertujuan untuk menghilangkan rasa saling curiga.
Gebrakan yang paling penting dilakukan oleh Harun untuk mengangkat umat Islam dan IAIN khususnya adalah mempelopori berdirinya Fakultas Pascasarjana dengan maksud untuk mencetak pemimpin umat Islam masa depan. Menurutnya, pemimpin harus rasiona, mengerti Islam secara komprehensi, tahu tentang agamja dan filsafat. Pemimpin seperti itulah yang diharapkannya lahir dari pascasarjana.
Usahanya untuk mengangkat lembaga pendidikan Islam (IAIN), terasa sangat luar biasa. Di IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta misalnya,kehidupan intelektual akademisnya menjadi lebih hidup. Sekarang ini, jangankan Sutan Takdir Alisyahbana, tokoh intelektual yang jelas berbeda agama pun sudah sering berceramah di IAIN Ciputat, dan sudah dianggap hal biasa. Kondisi seperti itu juga telah mulai terbangun di seluruh IAIN di Indonesia.
Pembenahan yang dilakukan oleh Harun tidak hanya menyangkut mahasiswanya tetapi juga para dosen yang ada di lingkungan IAIN. Untuk meningkatkan mutu dosen, dibentuk forum diskusi regular mingguan dan bulanan sebagi media untuk memecahkan masalah-masalah krusial, yang di dalamnya berkumpul beberapa orang ahli di bidangnya masing-masing, baik dari IAIN maupun dari luar.
Ia juga merintis terbitnya majalah yang dapat dijadikan sarana untuk menyalurkan gagasan, pikiran, dan ide para dosen dan mahasiswanya.
Beberapa usaha yang telah dilakukan oleh Harun dengan pembenahan berbagai sector telah melahirkan satu citra IAIN sebagai pusat studi pembaruan pemikiran Islam. Obesesinya untuk menghadirkan IAIN sebagai pusat dan “arus lalu lintas” pemikiran-pemikiran keislaman dunia juga sangat di dukung oleh bangsa Indonesia yang mayoritas penduduknya beragama Islam dan memiliki pemerintahan yang memberikan tempat terhormat bagi usaha pembinaan umat beragama.














PEMBAHASAN

A. Riwayat Hidup

Harun Nasution dilahirkan di Pematang Siantar pada tanggal 23 September 1919. Ia dilahirkan dari keluarga ulama. Ayahnya bernama Abdul Jabbar Ahmad. Ia adalah seorang ulama sekaligus pedagang yang cukup sukses. Ia mempunyai kedudukan dalam masyarakat maupun pemerintahan. Ia terpilih menjadi Qadhi (penghulu). Pemerintah Hindia Belanda lalu mengangkatnya sebagai Kepala Agama merangkap Hakim Agama dan Imam Masjid di Kabupaten Simalungun . Sedangkan ibunya adalah anak seorang ulama asal Mandailing yang semarga dengan Abdul Jabbar Ahmad. Ia pernah bermukim di Mekah sehingga cukup mengerti bahasa Arab dengan baik.
Harun adalah anak keempat dari lima bersaudara. Kakak pertamanya bernama H. Muhammad Ayyub, beda sepuluh tahun dari Harun. Kakak keduanya bernama H. Khalil, seorang pegawai Departemen Agama di Pematang Siantar semasa hidupnya. Kakak ketiganya adalah seorang perempuan bernama Sa’idah yang sehari-harinya sebagai ibu rumah tangga. Adiknya yang bungsu juga seorang perempuan bernama Hafsah. Sebagai laki-laki terkecil, Harun selalu diperintah oleh kakak-kakaknya.
Harun menempuh pendidikan dasar di bangku sekolah Belanda. Ia sekolah di HIS selama tujuh tahun. Selain itu, ia juga belajar mengaji di rumah. Harun Nasution lulus dari HIS sebagai salah satu murid terbaik yang dipilih kepala sekolahnya untuk langsung melanjutkan ke MULO tanpa melalui kelas nol. Namun ayahnya ternyata mempunyai rencana lain untuk Harun. Ia menyuruh Harun untuk sekolah agama seperti kakak lelakinya. Akhirnya Harun memilih sekolah agama di Bukittinggi yang bernama Moderne Islamietische Kweekschool (MIK). MIK adalah sekolah guru menengah pertama swasta modern milik Abdul Gaffar Jambek (putra Syekh Jamil Jambek). Di sekolah itu, dalam suatu pelajaran gurunya pernah mengatakan bahwa memelihara anjing tidak haram. Ajaran di sekolah itu dirasakan cocok olehnya sehingga ia juga berpikiran bahwa memegang Qur’an tidak perlu berwudhu karena Qur’an hanyalah kertas bisaa, bukan wahyu. Apa salahnya memegang kertas tanpa berwudhu terlebih dahulu. Begitu pula soal sholat, memakai ushalli atau tidak, baginya sama saja. Harun sebenarnya masih ingin bersekolah di MIK. Namun karena melihat kondisi sekolah yang cukup miskin sehingga tidak bisa menghadirkan suasana belajar yang baik, maka ia memutuskan untuk pindah sekolah.
Harun pernah mendengar sekolah Muhammadiyah di Solo yang menurutnya cocok dengan jalan pikiran dia. Ia lalu melamar di sekolah itu. Ternyata lamarannya di HIK (Sekolah Guru Muhammadiyah) diterima. Akan tetapi, orangtuanya tidak merestui ia bersekolah di sana. Orangtuanya merencanakan Harun untuk melanjutkan sekolah di Mekkah.Setelah itu Harun banyak berkonsultasi dengan beberapa ulama, tentang studi di Timur Tengah. Salah satu ulama yang ditemuinya adalah Mukhtar Yahya. Ia lama bersekolah di Mesir. Harun banyak medengar cerita tentang Mesir dari beliau. Setelah lama berdialog dengan Harun, Mukhtar Yahya menyarankan Harun untuk melanjutkan sekolah di Mesir. Harun juga membaca tulisan-tulisan tentang Mesir di majalah Pedoman Masyarakat yang diterbitkan Hamka. Di majalah itu, Harun mengenal pemikiran baru dari Hamka, Muhammadiyah, Zainal Abidin Ahmad, dan Jamil Jambek. Lepas dari itu semua, untuk memenuhi permintaan orangtuanya, akhirnya Harun terpaksa ke Mekah. Namun ia bertekad bahwa setelah dari Mekah ia akan meneruskan sekolah di Mesir. Setelah satu setengah tahun di Mekah, ia lalu melanjutkan sekolah di Mesir. Kepergiannya ke Mesir menggunakan bekal uang dari orangtuanya yang diberikan berdasarkan ultimatum Harun terhadap orangtuanya, bahwa apabila ia tidak diizinkan untuk ke Mesir, maka ia tidak akan pulang ke Indonesia. Harun tiba di Mesir pada tahun 1938. Di Mesir, Harun mendapatkan dan bersentuhan dengan berbagai pemikiran baru. Bukan hanya itu, keberadaannya di Mesir menjadi titik tolak hingga akhirnya ia bisa melanjutkan kuliahnya di McGill University Canada. Dalam bidang pekerjaan, Harun pernah bekerja di Kedutaan Besar Indonesia di beberapa negara di Timur Tengah sampai akhirnya ia menjadi pengajar di IAIN Syarif Hidayatullah dan seterusnya menjadi Rektor di kampus itu.

B. Gagasan Pemikiran Harun Nasution

Gagasan pemikiran Harun Nasution dalam bidang pendidikan Islam pada khususnya dan perkembangan ilmu pengetahuan pada umunya adalah sebagi berikut:
Pertama, bahwa sejak di Sekolah Dasar, tepatnya di Hollandsch Inlandshe Shool (HIS), sekolah dasar ‘modern’ yang didirikan oleh pemerintah Belanda, Harun Nasution sangat tertarik dengan ilmu alam dan sejarah. Ia bercita-cita menjadi guru bila besar nanti. Cita-citnya ini baru tercapai pada saat Harun Nasution kembali ke tanah air setelah selesai menempuh studinya pada Program Strata 3 (S-3/DR) dari mcFill University, Montreal Canada. Di tanah air, Harun Nasution bertugas sebagai dosen hingga menjadi rector pada Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Syarif Hidayatullah Jakarta yang sejak Mei 2002 berubah menjadi Universitas Negeri Jakarta (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
Kedua, selama masa tugasnya sebagai dosen dan rector di UIN Syarif Hidayatullah Jakartam dapat diduga Harun Memiliki gagasan dan pemikiran dalam bidang pendidikan agama Islam. Dugaan ini dapat dilihat indikasinya pada adanya perubahan di IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta kea rah yang lebih maju dari keadaan sebelumnya. Dugaan ini perlu dibuktikan lebih lanjut berdasarkan bukti-bukti yang objektif dan meyakinkan.
Ketiga, setelah selesai melaksanakan tugasnya sebagai Rektor IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta (1973-1982) selama kurang lebih Sembilan tahun, Harun Nasution menghabiskan masa tuanya hingga wafat sebagai guru besar dan sekaligus Direktur Pascasarjana IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Melalui upayanya yang penuh ketekunan, perhatian dan keikhlasan dalam membina dan mengelola Pascasarjana, Harun Nasution berhasil melahirkan ratusan doctor dalam berbagai bidang ilmu agama yang saat ini memimpin IAIN/STAIN yang tersebar di berbagai provinsi di Indonesia. Keberhasilannya ini tertentu didasarkan pada konsep, strategi dan upaya-upayanya dalam mendidik dan mengajar para mahasiswanya.
Keempat, dilihat dari segi keahliannya, Harun Nasution dapat dikatakan sebagai seorang peneliti dalam bidang Ilmu Kalam (Teologi) dan Falsafah yang handal dan kapabel. Namun, keahliaanya dalam bidang ilmu ini bukanlah tujuan, melainkan sebagai alat. Dengan kedua ilmu tersebut Harun Nasution ingin mendidik dan mengubah mental masyarakat Islam yang terbelakang, jumud dan tradisional menjadi mental masyarakat yang maju, dinamis dan rasional. Harun Nasution begitu yakin, bahwa untuk membawa kemajuan bangsa dan Negara, terlebih dahulu harus dilakukan dengan mengubah sikap mentalnya.
Kelima, dilihat dari segi pribadinya, Harun Nasution adalah seorang yang taat menjalankan ibadah, berpola hidup sederhana, jujur, amanah, dan rendah hati. Pribadi yang demikian itu merupakan salah satu sifat yang harus dimiliki seorang pendidik.
C. IAIN, Peningkatan Ilmu dan Budi Luhur demi Suksesnya Pembangunan Nasional

Melihat masalah sarjana Muslim atau ulama yang harus dihasilkan IAIN, maka perlu diingat bahwa ulama adalah pemimpin umat yang membimbing mereka bukan hanya dalam masalah keakhiratan saja tetapi juga dan tidak kalan penting dalam masalah keduniaan. Sesuai dengan hakikat penciptaan manusia, sarjana Muslim atau ulama yang harus dihasilkan IAIN adalah sarjana Muslim atau ulama yang berkembang akal dan daya pikirnya serta halus kalbu dan daya rasa batinnya. Dengan kata lain yang harus dihasilkan IAIN adalah sarjana Muslim atau ulama yang pengetahuannya bukan hanya terbatas pada pengetahuan agama saja tetapi juga mencakup apa yang lazim disebut pengetahuan umum, dan juga mencakup akhlak dan budi pekerti yang luhur.
Kita berada sekarang dalam dunia yang mengalami kemajuan pesat dalam bidang ilmu pengetahuan dan teknologi yang modern. Ilmu pengetahuan dan teknologi adalah hasil pemikiran manusia. Sementara itu kemajuan pesat itu terjadi dalam bidang materi. Untuk memahami ilmu pengatahuan dan teknologi itu diperlukan akal yang terbuka dan berkembang dan untuk dapat menghadapi godaan kemajuan materi yang besar itu diperlukan pula kepribadian kuat yang dihiasi dengan akhlak mulian dan budi luhur. Sarjana Muslim dan ulama yang mengerti perkembangan zaman dan yang berbudi luhurlah yang akan dapat diterima masyarakat modern menjadi pembimbing.
Kalau kita kembali ke dalam sejarah Islam yang harus diusahakan IAIN adalah menghasilkan ulama yang mempunyai cirri-ciri ulama Islam Zaman Klasik, terutama ulama abad kedelapan sampai kesebelas Masehi, dan bukan Zaman Pertengahan Islam, atau tegasnya ulama abad keenam belas sampai abad kedelapan belas Masehi.
Ciri-ciri ulama Zaman Klasik adalah ulama yang melaksanakan ajaran Al-Qur’an untuk banyak mempergunakan akal, yang dihembuskan Allah ke dalam dirinya dengan ruh, dan ajaran hadis untuk menuntut ilmu, bukan hanya menuntut ilmu agama, tetapi juga ilmu yang ada di negeri Cina, yang sudah barang tentu bukanlah ilmu agama. Karena, melaksanakan ajaran Al-Qur’an dan hadis tesebut di ataslah maka ulama Zaman Klasik mengembangkan ilmu agama dengan memakai ijtihad dan mengembangkan ilmu pengetahuan yang sekarang disebut dengan science dengan mempelajari dan menguasai ilmu pengetahuan dan filsafat Yunani yang terdapat di Timur Tengah pada zaman mereka. Timbullah ulama-ulama fikh seperti Abu Hanifah, Malik, Syafi’I dan Ibnu Hanbal ; ulama-ulama tauhid seperti Washil bin ‘Atha’, Abu Al-Huzail, Abu AL-Hasan Al-Asy’ari, Al-Maturidi, dan Al-Ghazali; ulama-ulama tafsir seperti Al-Thabari; ulama-ulama hadis seperti Al-Bukhari dan Muslim. Di samping itu, ulama-ulama dalam bidang pengetahuan umum seperti Ibn Sina dalam ilmu kedokteran, Al-Khawarizmi dalam matematika, Ibnu Al-Haitsam dalam optika, Ibnu Hayyan dalam ilmu kimia, Al-Biruni, dalam fisik, dan Al-Mas’udi dalam geografi. Mereka adalah ulama-ulama yang dapat berdiri sendiri, malahan menolak tawaran sultan untuk menjadi pegawai negeri.
Dengan timbulnya anggapan bahwa ijtihad dan pemakaian akal tak dibolehkan lagi, hilanglah ulama Zaman Klasik dan muncullah ulama Zaman pertengahan yang tak berani lagi mengadakan ijtihad dan menganggap pemakaian akal yang diajarkan Al-Qur’an telah lewat masanya. Ulama Zaman Pertengahan itu sudah bersikap menerima apa saja yang dihasilkan oleh ulama Zaman Klasik, tidak dapat lagi berdiri sendiri dan sudah banyak bergantung pada sultan. Istilah umum dipakai adalah ulama yang bertaklid pada ulama Zaman Klasik. Di samping itu, pengetahuan mereka terbatas pula pada ilmu agama saja, karena ilmu pengetahuan umum telah tidak berkembang lagi dan akhirnya lenyap. Dan ketika ilmu pengetahuan yang ada di dunia Islam itu pindah ke Barat dan kemudian datang kembali ke dunia Islam setelah ia berkembang pesat di sana, umat Islam tidak mengenalnya lagi, malahan timbul anggapan bahwa ilmu-ilmu itu berasal dari kaum kafir dan mempelajarinya adalah haram.
Bukankah ulama Zaman Pertengahan serupa itu yang dihasilkan IAIN, tetapi ulama-ulama klasik yang cirri-cirinya antara lain adalah bersikap rasional, berpandangan luas, berbudi luhur, pengetahuannya tidak hanya terbatas pada imu agama, tetpi juga mencakup ilmu pengetahuan umum, dapat berdiri sendiri dan tidak meletakkan harapannya untuk menjadi pegawai negeri.
Sarjana dan ulama serupa inilah yang akan dapat menghadapi tantangan-tantangan yang makin banyak dan semakin ruwet, tantangan-tantangan yang ditimbulkan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi yang semakin pesat majunyapada masa yang akan datang. Sarjana dan ulama yang tidak dapat menghadapi tantangan-tantangan itu akan ditinggalkan masyarakat masa depan.
Hal inilah yang seharusnya menjadi pemikiran di kalangan kita, pemimpin, dan dosen-dosen IAIN. Apakah kita sebagai tenaga pendidik sanggup menghasilkan sarjaa dan ulama yang diperlukan masyarakat masa depan? Sanggupkan kita mengembangkan daya piker mahasiswa untuk selanjutnya mencari ilmu secara mandiri, dan sanggupkah kita menanamkan budi luhurr dalam diri dan kalbu mereka? Itulah yang harus kita pikirkan dan upayakan untuk memecahkannya.



D. Modernisme dalam Islam dan Pembaruan Kurikulm (1973)

Harun Nasution termasuk yang sedikit dari intelektual Muslim Indonesia yang mempunyai kesempatan mendapat pendidikan dalam dua tradisi besar pendidikan, yaitu pendidikan keislaman di Timur Tengah dimana dia mendapatkan pendidikan setingkat S1 di Universitas Al-Azhar, Mesir dan tradisi pendidikan di Barat dimana dia mendapat gelar MA dengan tesis The Islamic State in Indonesia: The Rise of the Ideology, the Movement for its Creation and the Theory of Masjumi (1965) dan S3 dengan disertasinya The Place of Reason in Abduh’s Theology, Its Impact on His Theological System dan Views yang diraihnya tahun 1968 di Universitas yang sama yaitu Universitas McGill, Montreal, Kanada. Hidup di lingkungan keluarga Islami yang berpaham tradisional dan terdidik dengan pendidikan modern dan tradisional, namun Nasution lebih tertarik dan memilih pandangan keislaman yang rasional dan pluralistic. Kontribusinya selama ini di Indonesia, dapat disederhanakan pada dua hal besar: pertama dalam pembaruan pemikiran dalam Islam dan kedua, pembaruan Kurikulum IAIN pada tahun 1973.

E. Pembaruan Pemikiran dalam Islam di Indonesia

Harun Nasution mengusung pembaruan pemikiran keislaman. Dia mengenalkan multi pendekatan dan memperjuangkannya dengan sangat konsisten. Pengaruh pemikirannya sangat kuat di kalangan IAIN dan STAIN seluruh Indonesia dan masih dirasakan sampai sekarang. Banyak buku terutama buku ajar yang telah ditulisnya, salah satu yang sangat berpengaruh dan dijadikan buku pegangan dalam berbagai mata kuliah keislaman adalah Islam ditinjau dari Berbagai Aspek. Buku ini mengilhami banyak sarjana Muslim Indonesia untuk melihat betapa beragamnya pemikiran yang berkembang dalam Islam. Dalam pandangan Nasution, keragaman Islam tersebut didasarkan pada sumber yang sama yaitu teks-teks suci. Nasution melihat bahwa realitas plural dalam pemahaman keagamaan adalah kenyataan yang tidak bisa dipungkiri, sikap kita terhadapnya haruslah apreasiatif, umat Islam Indonesia diharapkan mampu menghargai perbeadaan, baik perbedaan yang terjadi antar umat Islam maupun dengan non muslim. Masalah yang dihadapi umat Islam Indonesia sampai saat ini adalah kurang berkembangnya pandangan pluraristik atau penghargaan atas perbedaan di kalangan umat. Pada zamannya, pengajaran keagamaan sangat normative dan terpaku pada salah satu paham atau aliran pemikiran, atau bahkan kelompok atau pemikiran orang tertentu dan sangat fikh orinented. Metode pendidikan yang seperti dapat dipastikan akan menghasilkan lulusan yang mempunyai pemahaman dan pemaknaan agama yang sempit.s dampak negatifnya adalah kemungkinan munculnya pemahaman yang melihat segala hal yang berbeda dengan paham tersebut sebagai salah, menyimpang dan bahkan sesat. Pada gilirannya, sikap ini menghasilkan pandangan homogen yang menolak perbedaan dalam melihat persoalan-persoalan melalui perspektif agama. Implikasi jauh dari sikap tersebut dapat menjauhkan umat dari partisipasinya dalam pembangunan bangsa. Padahal Nasution sangat berkeinginan agar umat Islam dapat berpartisipasi dalam pembangunan bangsa. Salah satu jalan kuncinya adalah umat Islam Indonesia harus berpikiran rasional, terbuka, dan toleran. Nasution mengingatkan bahwa umat Islam adalah bagian terbesar bangsa Indonesia. Karenanya, umat Islam harus bertanggung jawab dan ikut serta dalam pembangunan bangsa Indonesia. Bagi Nasution, ketika Orde Baru mengambil sikap untuk mengadopsi pembangunan modern, umat Islam harus ikut serta dan menjadi bagian penting dalam proses tersebut, Nasution mencari akar pembenarannya dalam teologi rasioanal ala Mu’tazilah dan mengenalkannya kepeada masyarakat Indonesia lewat buku dan pengajarannya di IAIN dan program pascasarjana IAIN Jakarta. Selama menjadi Rektor (1973-1984) dan setelahnya sampai tahun 1990am sebagai Direktur pada program studi lanjutan pertama yang dibuka di IAIN Jakarta, Nasution mengembangkan pemikiran Islam rasional dan menjadikan program S1 dan pascasarjana IAIN Jakarta sebagai agen pembaharuan pemikiran dalam Islam dan tempat penyemaian gagasan-gagasana keislaman yang baru.

F. Karangan-Karangan Harun Nasution

Harun Nasution juga tecatat sebagai ilmuwan yang produktif dalam bidang karya
ilmiah. Di antara kaya ilmiah yang dihasilkannya adalah:
Pertama, Buku Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya. Dalam bukunya yang terdiri dari dua jilid ini Harun Nasution memperkenalkan Islam secara umum dan komprehensif. Di dalam buku tersebut selain memberikan pengantar umum tentang ilmu kalam, filsafat dan tasawuf, Harun Nasution juga bebicara tentang hukum Islam, pranata social, sumber ajaran Islam, ibadah, sejarah dan peradaban Islam, dan politik. Dengan buku tersebut Harun Nasution ingin memperkenalkan Islam dalam sosoknya yang utuh dan komprehansif, bukan Islam yang selama ini hanya dipahami satu aspek saja. Menurut Harun Nasution pandangan umat terhadap ajaran Islam terlampau sempit. Dalam bidang teologi misalnya mereka hanya mengenal teologi Ash’ariyah dengan sifat dua puluhnya, dan dalam bidang fikh hanya mengenal fikh syafi’I saja. Demikian seterusnya dalam bidang lainnya.
Kehadiran buku tersebut telah mengundang kritik yang tajam dari kalangan Islam tradisionalis normative. Menurut kelompok ini, Harun Nasution telah memperkenalkan Islam yang berbelit-belit dan sulit. Buku tersebut mengesankan bahwa di dalam ajaran Islam terdapat banyak sekali perpecahan. Hal ini amat berlawanan dengan isu persatuan yang tengah digulirkan pemerintah.
Kritik buku tersebut lebih lanjut datang dari H.M. Rasyidi. Menurutnya, Harun Nasution, dengan bukunya itu telah memperlihatkan dirinya sebagai seorang yang berfikir orientalis yang merugikan umat Islam. Menanggapi kritik yang demikian itu, Harun Nasution mengatakan:
Berbagai mazhab dan aliran itu, baik dalam bidang tauhid maupun dalam bidng ibadah, hokum, tasawuf, filsafat, politik, pembaharuan, dan sebagainya masih dalam kebenaran dan tidak keluar dari Islam. Tegasnya masih dalam garis-garis yang ditentukan oleh al-Qur’an dan hadits.
Adanya kritik yang demikian itu tidak menyebabkan Harun mundur dari misinya. Buku tersebut malah menjadi teks wajib dalam mata kuliah Pengantar Agama Islam.
Kedua, Buku Pembaruan dalam Islam: Sejaran Pemikiran dan Gerakan. Buku yang berasal dari kumpulan ceramah dan kuliah serta diterbitkan pertama kali tahun 1975 oleh penerbit Bulan Bintang ini membahas tentang pemikiran dan pembaruan dalam Islam yang timbul dalam periode modern. Pembahasannya mencakup pembaruan yang terjadi di tiga negara Islam: Mesir, Turki, dan India-Pakistan, dengan menampilkan tokoh-tokoh pembaruan dari tiga kawasan tersebut yang dari tiga segi sifat dan coraknya tidak jauh berbeda dengan sifat dan corak pembaruan yang terjadi di Negara lain. Melalui buku ini Harun Nasution mencoba mencari sebab-sebab terjadinya usaha-usaha pembaruan tersebut. Sebab-sebab tersebut antara lain karena umat Islam ingin mengejar keterbelakangnnya dalam bidang ilmu pengetahuan, kebudayaan, ekonomi, dan lain sebagainya. Umat Islam ingin mengambalikan kejayaannya sebagimana terjadi pad abad klasik. Upaya-upaya tersebut antara lain dengan kembali kepada Al-Qur’an dan Al-Sunnah,membuka kembali pintu ijtihad, memurnikan akidah dari pengaruh bid’ah, khurafat, menghargai penggunaan akal pikirian, menyatukan umat Islam serta mempercayai hukumm alam (sunnatullah) dalam mencapai cita-cita.
Sebagaimana buku Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya, buku ini pun mendapatkan kritik dari kalangan ulama tradisional. Mereka takut tradisi Islam yang selama ini dipraktikkan dalam kehidupan umat Islam ditinggalkan.
Ketiga, Buku Filsafat Agama. Buku yang pertama kali diterbitkan pada tahun 1973 oleh Bulan Bintang Jakarta ini, berisi kumpulan kuliah dan ceramah yang ia sampaikan dalam berbagai kesempatan di beberapa perguruan tinggi. Buku ini selain membahas tentang berbagai pengartian tentang agama, juga berisi uraian tentang unsur-unsur agama, (percaya kepada adanya yang ghaib (Tuhan), keyakinan bahwa kebahagiaan hiidup di dunia dan akhirat ditentukan oelh hubungannya yang baik dengan kekuatan ghaib, adanya respons emosional yang mengambil bentuk ibadah, serta adanya sesuatu yang dinilai sebagai yang suci (sakral). Selain itu, buku ini juga berbicara tentang tahapan evolusi dalam beragama, yaitu mulai dari agama yang berita primitive (dinamisme, animism, politeisme, henoteisme, monoteisme, agnotisme, ateisme). Tahapan-tahapan ini umunya terjadi pada agama yang besifat budaya (agama ardli), dan tidak terjadi pada agama yang bersifat samawy (agama langit yang bersumber dari wahyu). Buku ini juga mendapatkan kritik, karena dengan buku ini, Harun Nasution dianggap menyamakan agama Islam dengan agama-agama lainnya.
Keempat, Buku Filsafat dan Mistisme dalam Islam. Buku yang pertama kali diterbitkan oleh Bulan Bintang, Jakarta, tahun 1973 ini membahas filsafat Islam dan Tasawuf secara singkat. Sebagaimana buku-buku yang sebelumnya, buku ini pun berasal dari kumpulan ceramah yang pernah ia sampaikan pada kelompok diskusi kajian agama Islam di Institut Ilmu Keguruan dan Pendidikan (IKIP) Jakarta, Universitas Nasional serta bahan-bahan perkuliahan yang ia sampaikan di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Isi yang terkandung dalam buku ini tentang pemikiran filsafat yang berasal dari al-Kindi, al-Farabi, Ibn Sina, al-Razi, al-Ghazali dan Ibn Rusyd, serta pemikiran para sufi sebagai Rabi’ah al-Adawaiyah, Abu Yasiz al-Bustami, al-Hallaj, Ibn Arabi, dan al-Ghazali.
Kelima, Buku Teologi Islam: Aliran-aliran, Sejarah, Analisa dan Perbandingan. Buku ini pertama kali diterbitkan pada tahun 1972 oleh UI Press. Di dalam buku ini selain dapat dijumpai uraian tentang pengertian teologi, juga dibahas tentang latar belakang lahirnya teologi dalam Islamyang dihubungkan dengan peristiwa politik antara Khalifah Ali Bin Abi Thalib dengan Gubernur Bashrah Mu’awiyah. Dari sebab-sebab masalah politik tersebut lahirlah aliran teologi Khawarij, Murji’ah, Mu’tazilah, Jabariyah, Qadariyah, Asy’ariyah, Maturidiyah Bukhara dan Mutridiyah Samarkand. Selain itu, buku ini juga membahas tentang berbagai masalah teologi yang diperdebatkan, seperti masalah perbuatann manusia dalam hubungannya dengan kekuasaan Tuhan, posisi orang yang berdosa besar di akhirat nanti, hubungan iman dengan perbuatan, yakni apakah iman itu bertambah atau berkurang disebabkan karena perbuatan, serta apakah Al-Qur’an itu qadim atau hadis. Buku ini telah mendorong pembacanya untuk berpikir logis dan sekaligus memiliki sikap menghargai perbedaan pendapat.
Keenam, Buku Muhammad Abduh dan Teologi Rasional. Buku yang berasal dari disertasi Harun Nasution ketika mengambil program doctor di McGill Universitas, Montreal, Canada ini pertama kali diterbitkan pada tahun 1987 oleh UI Press. Di dalamnya dapat dijumpai pembahasan tentang kedudukan akal dalam teologi Muhammad Abduh, serta pengaruhnya terhadp system dan pandangan teologinya. Melalui kajian yang amat mendalam terhadap teologi Muhammad Abduh ini, Harun Nasution berkesimpulan bahwa teologi Muhammad Abduh bercorak rasional-Mu’tazilah. Hal ini menolak anggapan sebagian orang yang menilai teologi Muhammad Abduh sebagai bercorak Ahl Sunnah wa al-jama’ah. Melalui hal ini, Harun Nasution mengatakan bahwa Mu’tazilah tidak keluar dari Islam, bahkan Mu’tazilah memiliki andil yang besar untuk mendorong kemajuan dunia Islam.
Ketujuh, Akal dan Wahyu. Buku ini diterbitkan pada tahun 1987 oleh Yayasan Idayu dan selanjutnya oleh UI Press. Di dalamnya terdapat uraian tentang pengertian akal di dalam Al-Qur’an, perkembangan ilmu pengetahuan dalam Islam serta peranan akal dalam pemikiran keagamaan. Dengan buku ini Harun Nasution menginginkan agar umat Islam tidak takut menggunakan akal melalui ijtihad dalam berbagai bidang: teologi, fikih, tafsir, dan lain sebagainya. Menurutnya bahwa menggunakan akal adalah merupakan perintah yang amat ditekankan dalam Al-Qur’an.
Kedelapan, Islam Rasional. Buku yang berasal dari kumpulan makalah yang disunting oleh Saiful Muzani dan pertama kali diterbitkan oleh Mizan, pada tahun 1995 ini berbicara tentang corak pemikiran rasional agamis pada abad kesimbalan belas. Selain itu buku ini juga membahas tantang Islam rasional yang pernah muncul di abad klasik yang dalam hal ini Mu’tazilah. Dengan kata lain, Harun Nasution ingin mengatakan bahwa pamikiran Mu’tazilah di abad klasik telah pula dipratekkan oleh para ilmuwan di abad kesembilan belas. Dengan demikian telah terjadi apa yang disebut sebagai neo-Mu’tazilah. Melalui buku ini ia mengatakan bahwa pemikiran Mu’tazilah ternyata telah dianut dan dipraktikkan oleh kalangan ilmuwan di berbagai Negara. Timbulnya gerakan pembaruan yang terjadi di berbagai negeri: Mesir, India, Turki, dan sebagaian antara lain karena pengaruh pemikiran Mu’tazilah yang dianut oleh para tokoh pembaru tersebut.


KESIMPULAN


Harun Nasution adalah sosok ilmuan Muslim yang amat berwibawa dan disegani oleh kalangan intelektual muslim, baik di dalam maupun luar negeri, dan sekaligus menjadi sumber timbulnya berbagai masalah yang menimbulkan perdebatan setiap kali orang mendengar namanya, yang terbayang adalah bahwa ia seorang mantan Rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang memiliki keahlian dalam bidang teologi dan filsafat yang bercoran rasional dan liberal. Dengan corak pemikiran teologinya yang demikian itu, Harun Nasution dikenal pula sebagai ilmuwan yang banyak mengemukakan gagasan dan pemikiran yang berbeda dengan pemikiran yang umumnya dianut umat Islam Indonesia. Melalui berbagai karya tulis yang dihasilkannya, Harun Nasution tidak hanya memperkenalkan teologi rasional dan liberal seperti Mu’tazilah dan Asy’ariyah yang banyak dianut umat Islam di Indonesia, melainkan juga memperkenalkan teologi yang rasional dan liberal seperti Mu’tazilah dan Maturidiyah Samarkand.
Gebrakan yang paling penting dilakukan oleh Harun untuk mengangkat umat Islam dan IAIN khususnya adalah mempelopori berdirinya Fakultas Pascasarjana dengan maksud untuk mencetak pemimpin umat Islam masa depan. Menurutnya, pemimpin harus rasiona, mengerti Islam secara komprehensi, tahu tentang agamja dan filsafat. Pemimpin seperti itulah yang diharapkannya lahir dari pascasarjana.
Usahanya untuk mengangkat lembaga pendidikan Islam (IAIN), terasa sangat luar biasa. Di IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta misalnya,kehidupan intelektual akademisnya menjadi lebih hidup. Sekarang ini, jangankan Sutan Takdir Alisyahbana, tokoh intelektual yang jelas berbeda agama pun sudah sering berceramah di IAIN Ciputat, dan sudah dianggap hal biasa. Kondisi seperti itu juga telah mulai terbangun di seluruh IAIN di Indonesia.
Pembenahan yang dilakukan oleh Harun tidak hanya menyangkut mahasiswanya tetapi juga para dosen yang ada di lingkungan IAIN. Untuk meningkatkan mutu dosen, dibentuk forum diskusi regular mingguan dan bulanan sebagi media untuk memecahkan masalah-masalah krusial, yang di dalamnya berkumpul beberapa orang ahli di bidangnya masing-masing, baik dari IAIN maupun dari luar.
Ia juga merintis terbitnya majalah yang dapat dijadikan sarana untuk menyalurkan gagasan, pikiran, dan ide para dosen dan mahasiswanya.
Beberapa usaha yang telah dilakukan oleh Harun dengan pembenahan berbagai sector telah melahirkan satu citra IAIN sebagai pusat studi pembaruan pemikiran Islam. Obesesinya untuk menghadirkan IAIN sebagai pusat dan “arus lalu lintas” pemikiran-pemikiran keislaman dunia juga sangat di dukung oleh bangsa Indonesia yang mayoritas penduduknya beragama Islam dan memiliki pemerintahan yang memberikan tempat terhormat bagi usaha pembinaan umat beragama.





DAFTAR PUSTAKA



Ed: Kusmana, dkk. Parad igma Baru pendidikan Islam (Rekaman Implementasi IAIN Indonesia Social Equity Project (IISEP) 2002-2007), Jakarta: PIC UIN Jakarta, 2008.

http://id.wikipedia.org/wiki/Harun_Nasution

http://ahmadfathulbari.multiply.com/journal/item/2


Muh. Said, Nurhidayati, Pembaruan Pemikiran Islam DI Indonesia “Studi Pemikiran Harun Nasution”, (Jakarta: Pustaka Mapan, 2006), hal 9

Nasution, Harun , Islam Rasional “Gagasan Dan Pemikiran”, Jakarta: Mizan, 1996.

Nata, Abuddin, Tokoh-Tokoh Pembaruan Pendidikan Islam di Indonesia, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2005.


Uchrowi, Zaim dan Ahmadie Thaha (Penyunting), “Menyeru Pemikiran Rasional Mu’tazilah”, dalam Refleksi Pembaharuan Pemikiran Islam: 70 Tahun Harun Nasution, Jakarta: Panitia Penerbitan Buku dan Seminar 70 Tahun Harun Nasution dan Lembaga Studi Agama dan Filsafat, 1989.

Tidak ada komentar: