Mengenai Saya

Foto saya
Aku hanyalah seoarang manusia yang bisa saja salah dalam setiap kata yang telah aku ucapkan, tulisan yang telah aku buat.jika terdapat kesalahan kata, tanda baca, nama, dsb harap dimaklumi, Sungguh, Allahlah yang maha sempurna dengan segala sesuatu, dan aku hanyalah manusia yang terkadang alfa atas setiap hal yang telah kulalui.

Jumat, 27 Mei 2011

SEJARAH AHMAD HASAN BANDUNG

Ahmad Hasan


Ahmad Hasan adalah seorang ulama kelompok pembaharu di Indonesia yang terkenal teguh dalam pendiriannya yang keras (radikal) dalam mengnhadapi kelompok tradisional. Beliau adalah tokoh yang berhasil mengembangkan organisasi Islam Persis (Persatuan Islam), dan seorang terkenal yang mampu menarik perhatian pendengarnya. Debat terbuka merupakan salah satu model dakwah Ahmad Hasan terutama dalam menghadapi kelompok tua (ulama tradisionalis) dan model ini secara umum merupakan gaya Persis di masa lalu. Di samping seorang orator, Ahmad Hasan juga berkiprah sebagai penulis yang cukup produktif.
Ahmad Hasan dilahirkan di Singapura tahun 1887. Ahmad Hasan adalah seorang yang berasal dari keluarga campuran, Indonesia dan India. Ayahnya bernama Sinna Vapp Maricar, adalah seorang penulis dan seorang ahli dalam Islam dan kesusastraan Tamil. Ia pernah tampil menjadi redaktur dari Nur al-Islam, sebuah majalah agama dan sastera Tamil, menulis beberapa buah kitab dalam bahasa Tamil dan juga beberapa terjemahan dari bahasa Arab. Ibu Hasan berasal dari keluarga sederhana di Surabaya tetapi sangat taat beragama.
Hasan sendiri tidak pernah menyelesaikan sekolah dasarnya di Singapura. Ia mulai bekerja mencari nafkah pada umur 12 tahun, tetapi ia mengambil pelajaran privat dan berusaha menguasai bahasa Arab dengan maksud dapat memperdalam pengetahuannya tentang Islam atas usaha sendiri. Dari tahun 1910 sampai tahun 1921 Hasan melakukan berbagai pekerjaan di Singapura seperti menjadi guru, menjadi pedagang tekstil, menjadi agen distribusi es, juru tulis di kantor jemaah haji dan juga sebagai anggota redaksi dari Utusan Melayu di mana ia pada umumnya menyelenggarakan rubrik etika.
Dari berbagai jenis pekerjaan yang sempat dilakukannya itu, agaknya berwiraswasta dalam bidang pertekstilanlebih menarik bagi dirinya. Hal ini berbukti ketika pada tahun 1921 Ahmad Hasan pindah ke Surabaya dengan maksud mengambil alih pimpinan sebuah toko tekstil milik pamannya, Haji Abdul Latif. Masa itu di Surabaya sedang berkembang pertentangan paham antara kelompok yang lebih bersemangat modernis dengan kelompok yang cenderung tradisionalis, khususnya dalam hal persoalan-peroalan fikih. Haji Badul Latif sendiri, pamannya tidak menyukai pikiran-pikiran yang berorientasi wahabiyah. Bahkan, pamannya lebih cenderung menghalangi Hasan yang banyak berhubungan dengan mereka, baik yang bersemangat pikiran modernis maupun yang cenderung kepada pikiran-pikiran Wahabiyah.
Pada suatu kunjungan kepada Kiyai haji Abdul Wahab, yang kemudian menjadi seorang tokoh dari perkumpulan tradisi Nahdhatul Ulama, Hasan mendengar lebih banyak tentang pertikaian antara Kaum Tua dan Kaum Muda. Dalam percakapannya dengan Kiyai Wahab ini, Kiyai Wahab mengambil contoh ushalli yang dipraktekkan oleh Kaum Tua tetapi yang di tolah oleh Kaum Muda. Kaum Muda berpendapat bahwa agama, agar dapat dikatakan agama, hendaklah didasarkan atas al-Qur’an dan Hadits dan oleh karena ushalli merupakan suatu hal yang baru yang diintrodusir oleh ulama yang dating kemudian, tidaklah dapat ushalli ini diambil dari kedua sumber hokum tersebut. Masalah ini menyebabkan Hasan memikirkannya lebih lanjut dan lambat laun ia sampai kepada suatu kesimpulan bahwa kaum Mudalah yang sebenarnya benar. Terutama karena penelitiannya tentang Qur’an dan Hadits tidak menyampaikan ia pada suatu dukungan praktek ushalli tersebut.
Tak berapa lama kemudian Hasan mengunjungi Bandung untuk mempelajari cara-cara menenun pada suatu lembaga tekstil pemerintah, agar ia dapat memperlengkapi dirinya dengan keterampilan ini karena ia bermaksud membangun sebuah perusahaan tenun di Surabaya bersama beberapa orang kawannya. Di Bandung Hasan tinggal dengan Haji Muhammad Junus salah seorang pendiri Persis. Dengan demikian tanpa sengaja Hasan mendapatkan dirinya pada pusat kegiatan agama; ini tidak ingin ia tinggalkan, maka ia pun tidak mendirikan perusahaan tenun tadi di Surabaya tetapi di Bandung, yang rupannya pula disetujuan pula oleh kawan-kawannya yang di Surabaya. Perusahaan ini kemudian gagal sehingga terpaksa ditutup, dan semenjak itulah Hasan mengabdikan dirinya pada bidang agama dalam lingkungan Persis.
Sukarlah untuk disimpulkan bahwa pembaharuan sikap Hasan dalam agama datang secara tiba-tiba di Surabaya ataupun di Bandung. Perubahan ini dating lambat laun, malahan ketika ia masih berada di Singapura ia telah juga mendengar tentang pertikaian Kaum Tua dan Kaum Muda ini, sungguhpun hal ini tidak terlalu ramai dikemukakan di kotanya itu. Ketika Hasan di Singapura, ia mengenal empat orang India yang bersimpati kepada ajaran Wahabi, termasuk ayahnya sendiri. Tetapi mereka tidak berusaha untuk menyebarkan pendapat-pendapat mereka. Sebuah contoh penolakan ayahnya terhadap kebiasaan tradisional tetap tinggal tergambar nyata dalam ingatan Hasan. Ayah Hasan sengaja meninggalkan upacara pemakaman bila talqin akan dibacakan.
Adalah juga di Singapura Hasan mulai mengenal publikasi golongan pembaru, antara lain Al-Manar dari Kairo (sesungguhnya isinnya tidak difahaminya amat), Al-Imam dari Singapura dan Al-Munir dari Padang.ia juga mendengar bahwa Syaikh Taher Djalaluddin dari Al-Imam tidak disukai oleh golongan Muslim tradisi dan sultan-sultan di Malaya. Dalam tahun 1912 ia kebetulan membaca kitab yang ditulis oleh Ahmad Surkati dari Al-Irsyad mengenai kafa’ah. Kritik Hasan tentang taqbil di surat kabar Utusan Melayu yang didasarkan atas pengalamannya sendiri, menggoncangkan pula masyarakat Muslim di Singapura sedemikian rupa, sehingga ia diberi peringatan pejabar pemerintah untuk tidak merusak ketentraman yang telah tegak di kota tersebut. Sekita tahun 1917 Hasan telah mempunyai hasrat untuk menulis sebuah buku tentang Islam yang semata-mata didasarkan atas Qur’an dan Hadits. Tetapi ia tinggalkan maksud ini ketika ia mengetahui bahwa beberapa ajaran Syafi’I berlawanan dengan studinya tentang Qur’an dan Hadits itu. Lagi pun pada waktu itu ia belum mempunyai keberanian untuk meninggalkan dan menolak ajaran-ajaran Syafi’i ini.
Setalah Ahmad Hasan masuk Persis, ternyata beliau menjadi saka guru (tiang penyangga) dan kader organisasi yang militant. Persis terus berkembang, demikian pula nama dan charisma Ahmad Hasan sendiri. Nama Ahmad Hasan melekat pada Persis, demikian pula sebaliknya sehingga sulit untuk dipisahkan. Pengaruh Ahmad Hasan melebihi pangaruh kedua pendirinya tersebut, bahkan Ahmad Hasan-lah yang dianggap sebagai pendiri Persis, walaupun beliau sebenarnya hanya sebagai penerus. Dalam perkembangannya, ulama ini di angkat sebagi Ketua Umum Persis (sekita tahun 1930-an).
Selama di Bandung beliau terkenal dengan A. Hasan Bandung, sebagai pemimpin Persis, yang didampingi oleh tokoh muda pendatang baru dari Minanngkabau, Muhammad Natsir (kemudian Isa Anshari). Mereka berhasil memajukan organisasi Islam ini beserta pesantren.
Bertabligh dan berdebat dengan ulama-ulama lain yang tidak sealiran tampaknya sudah menjadi cirri khas model perjuangan Ahmad Hasan, baik ketika tinggal di Surabaya, Bandung, maupun Bangil, dan cirri ini kemudian merupakan model yang dipergunakan tokoh-tokoh Persis masa lalu, meski sekarang sudah tidak banyak dipergunakan lagi, karena kurang efektif.
Di samping sebagai tokoh utama Persis dan pangasuh pesantren, Ahmad Hasan juga seorang p Penulis yang cukup produktif, bahkan Ir. Soekarno (Presiden pertama RI) sejak mudanya banyak bergaul dengan Ahmad Hasan dan terpengaruh pemikiran keagamaan ulama itu, baik melalui diskusi antar mereka maupun melalui karya-karya ilmiah keislaman Ahmad Hasan. Karya ilmiah Ahmad Hasan berjumlah puluhan buku yang meliputi ilmu fikih dan ushul fikih, tafsir, hadis, ilmu kalam dan sebagainya. Sebagian besar isi buku itu adalah serangan keras terhadap paham kaum tradisionalis, anti tahayul, bid’ah, dan khurafat, bebas mazhab, mengembangkan kemampuan berijtihad karena ijtihad berdasarkan Qur’an dan Hadits masih terbuka luas, menghilangkan taklid buta dan hal-hal lain yang berkisar di seputar masalah khilafiyah dan furu’. Di antara karya ilmiahnya berjudul: Soal-Jawab, Tafsir al-Furqon, Pengajaran Shalat, Al-Faraid, At-Tauhid dan lain-lain. Di samping berupa buku, tulisan beliau juga banyak dalam bentuk artikel ataupun jawaban atas pertanyaan yang dimuat dalam beberapa majalah milik Persis, seperti: Pembela Islam Bandung (1929-1933), Al-Fatwa (1931), Al-Lisan (1935), At-Taqwa (berbahas Sunda), Soal Jawab (1932) dan setelah itu pindah ke Bangil menerbitkan majalah Al-Muslimun.
Ahmad Hasan tercatat lebih dari tiga dasawarsa mengasuh pesantren, memimpin Persis, bertabligh dan berdebat tentang masalah keislaman tanpa mengenal lelah. Pada tahun 1956 ia menunaikan ibada haji, tetapi ketika sampai di tanah suci beliau jatuh sakit (karena usianya sudah cukup senja, 69 tahun). Setelah beliau dibawa pulang ke tanah air, muncul penyakit baru yang mengharuskan kakinya diamputasi (dipotog). Beliau akhirnya wafat dalam usia 73 tahun, pada tanggal 10 Nopember 1958 dan dimakamkan di Bangil.

Persatuan Islam (Persis)
Persatuan Islam (Persis) didirikan di Bandung pada permmulaan tahun 1920-an ketika orang-orang Islam di daerah-daerah lain telah lebih dahulu maju dalam berusaha untuk mengadakan pembaharuan dalam agama. Bandung kelihatan agak lambat dalam memulai pembaharuan ini dibandingkan dengan daerah-daerah lain, sungguhpun Sarekat Islam telah beroperasi di kota ini sejak tahun 1913. Kesadaran tentang keterlambatan ini merupakan salah sebuah cambuk untuk mendirikan sebuah organisasi.
Ide pendirian ini berasal dari pertemuan yang bersifat kenduri yang diadakan secara berkala di rumah salah seorang anggota kelompok yang berasal dari Sumatera tetapi yang telah lama tinggal di Bandung. Mereka adalah keturunan dari tiga keluarga yang pindah dari Palemang dalam abad ke 18, dan mereka menjalin hubungan yang erat melalui perkawinan antar keluarga mereka serta diperkuat oleh kepentingan yang sama dalam usaha perdagangan, kemudian berlanjut dengan kontak antara anggota-anggota generasi yang dating kemudian dalam mengadakan studi tentang agama ataupun kegiatan-kegiatan lainnya. Tetapi mereka tidak merasa lagi bahwa mereka dari Sumatera, tetapi telah merasa sebagai benar-benar orang Sunda dan dalam pergaulan sehari-hari berbicara bahasa Sunda.
Setelah selesai berkenduri biasanya dilakukan dengan berbincang-bincang tentang masalah-masalah agama dan gerakan-gerakan keagamaan baik di Indonesia maupun di luar negeri. Dalam pembicaraan-pembicaraan inilah terutama Haji Zamzam dan Haji Muhammad Yunus dari lingkungan ketiga family tadi banyak mengemukakan pikiran-pikiran karena mereka memang mempunyai pengetahuan yang agak luas. Keduanya sebenarnya adalah pedagang tetapi mereka masih mempunyai kesempatan dan waktu untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang Islam. Zamzam (1894-1952) menghabiskan waktunya selama tiga setengah tahun masa mudang di Mekkah di mana ia belajar di lembaga Darul-Ulum. Sekembali dari Mekkah ia menjadi guru di Darul Muta’allimin, sebuah sekolah agama di Bandung (sekitar tahun 1910) dan mempunyai hubungan dengan Syekh Ahmad Surkati dari Al-Irsyad di Jakarta. Tetapi ia hanya dua tahun saja di sekolah ini.
Muhammad Yunus, yang memperoleh pendidikan agama secara tradisional dan menguasai bahasa Arab, tidak pernah mengajar. Ia hanya berdagang, tetapi tidak pernah pula minatnya hilang dalam mempelajari agama. Kekayaannya menyanggupkan ia untuk membeli kitab-kitab yang ia perlukan, juga untuk anggota-anggota Persis setelah organisasi ini didirikan.
Penamaan organisasi ini, menurut Tafsir Qanun Asasi Persatuan Islam, diilhami oleh firman Allah dalam surat 3:103 (“… Dan berpegang-teguhlah kamu sekalian pada tali Allah, dan jangnlah kamu bercerai berai….”, dan hadits Nabi (Kerkuasaan Allah beserta jamaah”).
Organisasi ini didirikan atas dasar Islam, dengan tujuan untuk menbgamalkan segala ajaran Islam, dalam segi kehidupan anggotanya dalam masyarakat, dan untuk menempatkan kaum muslimin pada ajaran akidah dan syariat yang murni berdasarkan Qur’an dan Sunnah. Dalam rangka upaya mencapai tujuan itu, Persis menyusun beberapa program pokok, antara lain:
1. Mengembalikan kaum muslimin kepada pemimpin Qur’an dan Hadits
2. Menbghidupkan ruh jihad dan ijtihad dalam kalangan umat Islam
3. Membasmi bid’ah, khurafat, takhayul, taklid dan syirik dalam kalangan umat Islam
4. Memperluas tersiarnya tablig dan dakwah Islam kepada segenap lapisan masyarakat
5. Mendirikan madrasah atau pesantren untuk mendidik putra-putri muslilm dnegan dasar Qur’an dan Hadits.

Topic pembicaraan dalam kenduri tadi bermacam-macam masalah agama yang dibicarakan oleh majalah Al-Munir di Padang,oleh majalah Al-Manar di Mesir, pertikaian-pertikaian antara Al-Irsyad dan Jami’at Khair, pembicaraan yang disampaikan oleh Pakih Hasyim dari Surabaya di Bandung dalam kunjungannya untuk keperluan dagang. Tambahan lagi masalah Komunisme yang telah berhasil memecahkan Sarekat Islam yang begitu kuat, bukan saja merupakan hal yang menyebabkan kalangan agama di Bandung resah. Masalah Komunisme ini di Bandung juga menyebabkan perpecahan, terutama setelah Sarekat Islam local Bandung resmi menyokong pihak Komunis pada kongres nasional partai tersebut yang ke-6 di Surabaya pada tahun 1921.
Mulai pada saat ia berdiri sampai pada akhir masa membicarakan gerakan Islam di Indonesia ini, Persis pada umunya kurang memberikan tekanan bagi kegiatan organisasi sendiri. Ia tidak terlalu berminat untuk membentuk banyak cabang-cabang atau menambah sebanyak mungkin anggota. Pembentukan sebuah cabang bergantung semata-mata pada inisiatif peminat dah tidak didasarkan kepada suatu rencana yang dilakukan oleh pemimpin pusat. Tetapi pengaruh dari organisasi Persis ini jauh lebih besar daripada jumlah cabang ataupun anggotanya. Pada tahun 1923 hanya kira-kira selusin anggota yang berpartisipasi dalam shalat berjama’ah pada hari Jum’at yang diselenggarakn oleh Persis di Bandung, tetapi pada tahun 1942, pada saat invasi Jepang ke Indonesia salat berjama’ah seperti ini dilakukan tidak kurang daripada di enam buah masjid yang diikuti oleh 500 orang
Memang perhatian Persis terutama ialah bagaiman menyebarkan cita-cita dan pemikirannya. Ini dilakukan dengan mengadakan pertemuan umum, tabligh, khotbah-khotbah, kelompok-kelompok studi, mendirikan sekolah-sekolah dan menyebarkan atau menerbitkan pamflet-pamflet, majalh dan kitab-kitab. Penerbitnya inilah yang terutama menyebarluaskannya daerah penyebaran pemikirannya. Lagipula penerbitan ini pula yang dijadikan refersni oleh guru-guru dan propagandis-propagandis organisasi lain seperti Al-Irsyad dan Muhammadiyah. Dalam kegiatan ini Persis beruntung memperoleh dukungan dan partisipasi dari dua orang tokoh yang sangat penting, yaitu, Ahmad Hasan, yang di anggap sebagi guru Persis yang utama pada masa sebelum perang, dan Muhammad Natsir yang pada waktu itu merupakan seoarng anak muda yang sedang berkembang dan yang tampaknya bertindak sebagai juru bicara dari organisasi tersebut dalam kalangan kaum terpelajar.
Sebagaimana halnya dengan organisasi Islam lainnya, Persis memberikan perhatian yang besar pada kegiatan-kegiatan pendidikan, tabligh serta publikasi. Dalam bidang pendidikan Persis mendirikan sebuah madrasah yang pada mulanya di maksudkan untuk anak-anak dari anggota Persis. Tetapi kemudian madrasah ini diluaskan untuk dapat menerima anak-anak lain. Kursus-kursus dalam masalah agama untuk orang-orang dewasa mulanya juga dibatasi pada anggota-anggotanya saja. Hasan dan Zamzam mengajar pada kursus-kursus ini yang terutama membahas soal-soal iman serta ibadah dengan menolak segala kebiasaan bid’ah. Masalah-masalah yang sangat menarik masyarakat pada waktu, seperti poligami dan nasionalisme juga dibicarakan.
Sekitar tahun 1927 sebuah kelas khusus atau lebih tepat kelompok diskusi diorganisir untuk anak-anak muda yang telah menjalani masa studinya du sekolah-sekolah menengah pemerintah dan yang ingin mempelajari Islam secara sungguh-sungguh. Dalam kelas seperti ini hasan bertindak sebagai guru. Tapi Hasan sendiri mengakui bahwa ia banyak belajar dari pembicaraan yang dilakukan dalam kelompok diskusi tersebut yang mendorongnya untuk memperdalam pengetahuannya dengan cara lebih banyak lagi menggali sumber-sumber ajaran Islam.
Sebuah kegiatan lain yang penting dalam rangka kegiatan pendidikan Persis ini adalah lembaga pendidikan Islam, sebuah proyek yang dilancarkan oleh Natsir, dan yang terdiri dari beberapa buah sekolah: Taman Kanak Kanak, HIS (keduanya tahun 1930). Inisiatif Natsir ini mulanya merupakan jwaban terhadap tuntunan dari berbagai pihak, termasuk beberapa orang yang mengambil pelajaran privat dalam pelajaran bahasa Inggris dan berbagai pelajaran lain kepadanya. Tuntutan ini dikemukakan setelah melihat berdirinnya beberapa sekolah swasta di Bandung pada waktu itu, di mana tidak diberikan pelajaran agama. Pada tahun 183 pendidikan Islam tersebut telah mempunyai sekolah-sekolah HIS di lima temapt lain di Jawa Barat. Murid-murid umumnya terdiri dari anak-anak setempat, tetapi beberapa diantaranya berasala dari daerah Sumatera (terutama Aceh), jawa Tengah dan Jawa Timur. Menjelang tahun 1942 kira-kira 50 orang siswa telah menyelesaikan studinya di Mulo dan antara 30 dan 40 orang di sekolah guru. Para lulusan ini umumnya kembali ke tempat asal mereka masing-masing untuk membuka sekolah-sekolah baru atau bergabung dengan sekolah-sekolah yang telah ada yang diusahakan oleh organisasi-orgasnisasi pembaharu.

Pemikiran Ahmad Hasan
Pemikiran Ahmad Hasan sering dianggap dengan suatu yang agresif, ekstrem, dan puritan, karena karakter pemahaman yang literalis. Hal ini sangat jelas dalam masalah yang berkaitan dengan ibadah, khususnya ibadah mahdlah, ia sama sekali menolak hal yang berbau bid’ah. Secara garis besar pokok-pokok pikrannya adalah sebagai berikut:
1. Ijtihad harus merujuk pada Al-Qur’an dan Hadits yang shahih saja. Implikasinya adalah terpinggirkannya fatwa ulama, terutama karena tidak diketahui rujukan nashnya atau bertentangan dengan nash. Kalaupun ada ulama yang dijadikan rujukan itu lebih karena pendapatnya dianggap sesuai dengan nash yang dapat dipertanggungjawabkan.
2. Menentang taqlid (mengikuti pendapat tanpa mengetahui alasannya atau dalil) secara mutlak. Tetapi memperkenankan ittiba’, yaitu mengikuti suatu pendapat yang jelas dalilnya dan diakui kebenarannya.
3. Memegang lafaz (kata) yang lebih jelas (zhahir) dalam menyimpulkan hukum. Mirip dengan madzhab Dzahiry yang berpegang teguh pada zhahir nash dan menolak takwil.
4. Kritik Hadits pada aspek redaksional (matan) dan periwayatan. Kritik yang dimaksud adalah hadits tidak boleh bertentangan dengan Al-Quran sebagai rujukan utama, tidak boleh bertentangan dengan hadits-hadits mutawatir atau hadits-hadits yang lebih tinggi derajat keshahihannya. Sedangkan kritik pada periwayatan lebih pada kritik metode penukilan hadits dan kritik rawi (Naqd al-Rijal).
5. Menolak Ijma’. Menurut penelitaiannya tidak ada satu pun ayat yang memerintahkan menerima ijma’. Ia berpendapat hanya hukum Allah dan Rasul-Nya saja yang bisa dijadikan sumber hukum, sedangkan hukum buatan manusia, walaupun disepakati oleh semua orang tidak dapat dijadikan salah satu sumber hukum.


Pesantren Persatuan Islam (Persis) Bangil
Bangil atau Kabupaten Pasuruan secara umum dijuluki sebagai kota santri. Manurut data statistic yang dikeluarkan oleh Badan Pusat Statistik Kabupaten Pasuruan, 99% penduduk Kabupaten Pasuruan beragama Islam. Dan secara cultural, paham keagamaan mayoritas masyarakat Muslim ini berafiliasi kepada NU. Sisanya terbagi ke dalam berabagai ormas, seperti Muhammadiyah, Persis, bahkan Syi’ah. Karena mayoritas berafiliasi kepada NU inilah, maka bertahannya pesantren Persis sejak berdirinya hinggga sekarang.
Pesantren Persis yang dipimpin oleh Ahmad Hasan dahulu itu telah dipindahkan ke Bangil (Jawa Timur). Tetapi di Bandung masih ada pesantren Persis dengan gedung dan masjidnya yang indah serta asramanya.

Berdirinya pesantren Persis merupakan rsepon terhadap keprihatinan pendidikan umat Islam pada masa itu. Pada tahun 1930-an, umat Islam menghadapi pilihan pahit dalam bidang pendidikan. Di satu sisi, umat Islam banyak yang menyekolahkan anak-anaknya ke sekolah-sekolah umum (secular) yang didirikan pemerintah Belanda. Pada kenyataannya, alumni dari sekolah-sekolah secular inilah yang mengendalikan pemerintahan di kemudian hari. Di sisi lain, lembaga pendidikan Islam tradisional yang ada dalam bentuk pesantren terjebak dalam taklid, fanatisme mahzab, praktik-praktik bid’ah, khurafat dan tkhayul. Dalam kondisi demikianlah pesantren Persis muncul. Sejalan dengan gagasan dan agenda pembaharuan Islam, alternative yang ditawarkan oleh Pesantren Persis adalah berfikir bebas, tidak mermahzab, dan kembali kepada Qur’an dan hadits.

Pada awalnya, sistem pendidikan yang berlangsung di pesantren Persis adalah pesantren murni, dengan jenjang pendidikan 6 tahun, setara dengan tingkat MTs dab MA. Bahkan pada periode awal, program pendidikan menggunakan sistem angkatan, di mana pesantren menerima santri baru sebelum santri dalam satu angkatan ini menamatkan studi mereka. Program ini hanya berjalan beberapa angkatan saja, karena banyaknya minat masyarakat yang ingin menyekolahkan anak-anaknya ke Persis Bangil. Akhirnya, meskipun masih menggunakan pola angkatan, Persis Bangil kemudian menerima santri setiap tahun, tanpa harus menunggu santri satu angkatan tertentu menyelesaikan studinya.

Dalam perekmbangan selanjutnya, sistem pendidikan di Pesantren Bangil juga terus mengnalami perubahan, yakni dari pesantren murni menjadi MTs dan MA. Perubahan ini terutama disebabkan karena tuntutan masyarakat ayang agar anaknya tidak mendapatkan kesulitan untuk mengikuti pendidikan lanjutan di perguruan tinggi di luar pesantren Persis. Sebelum berubah menjadi MTs dan MA, santri Persis hanya menerima ijazah dari pesantren Bangil, dan ijazah ini dapat digunakan untuk melanjtukan studinya di perguruan tinggi. Namun, sejalan dengan perubahan kebijakan pendidikan tinggi di Indonesia, di mana perguruan tinggi (terutama perguruan tinggi negeri) yang tidak lagi menerima lulusan pesantren murni yang tidak mempunyai ijazah persamaan negeri, maka pesantren Persis pun mengubah sistem
pendidikannya dari pesantren murni menjadi madrasah.

Meski demikian, pengurus Pesantren Persis berusaha bahwa perubahan sistem kelembagaan di atas tidak menghilangka cirri khas pesantren. Dan untuk itu mereka memodifikasi kurikulum MTs dan MA. Terhadap pelajaran-pelajaran umum, tidak perbedaan antara MTs dan MA di Persis dengan madrasah-madrasah lain. Perbedaan yang cukup mencolok terdapat dalam muatan pelajaran agama dan bahasa. Memang nomenklatur mata pelajaran sama dengan di madrasah, tetapi muatannya lebih mendalam dan harus memenuhi standar pesantren Persis. Beberapa mata pelajaran seperti bahas Arab, nahwu, sharaf, hadis, musthalah al-hadis, fikih, ushul fikih, aqidah, akhlak dan lain-lain mendapat perhatian yang besar. Untuk menjaminn bahwa pelajaran-pelajaran di atas memenuhi standar pesantren, maka pelajaran-pelajaran tersebut diasuh oleh ustadz-ustadz senior dan berasal dari kalangan Persis. Hal ini berbeda dengan mata pelajaran umum yang boleh saja diasuh oleh guru-guru yang jebolan pesantren Persis.

Cara lain adalah matrikulasi yang ditujukan khusus kepada santri lulusan MTs luar Persis dan ingin masuk ke MA di pesantren Persis. Sebagai konsekuensi dari perubahan sistem kelembagaan pendidikan di Persis, MA Persis juga menerima lulusan MTs dari luar. Namun, bagi santri jenis ini, mereka harus mengikuti program martikulasi selama satu tahun di kelas khusus. Tujuan dari program martikulasi ini adalah agar santri yang berasal dari luar Persis ini memiliki pengetahuan agama dan kemampuan bahasa setara dengan lulusan MTs Persis. Untuk kepentingan ini, mata pelajaran yang diajarkan di program takhasus hanya pelajaran-pelajaran agama dan kebahasaan.

Jika perubahan kelembagaan di atas dimaksudkan agar pesantren Persist tetap diminati oleh masyarakat, maka bagaimana respon masyarakat terhadap pesantren ini? Atau tepatnya, bagaimana minat masyarakat terhadap pesantren ini? Sebagaimana diakui oleh pimpinan pesantren Persis sendiri, Ustadz Luthfie Abdullah Ismail, minat masyarakat terhadap Persis fluktiatif bahkan cenderung menurun jika dibandingkan dengan kondisi ketika pesantren ini menjalankan program pendidikannya dalam bentuk pesantren murni. Menurunnya jumlah santri ini disebabkan oleh beberapa faktor. Salah satunya adalah ketidakpahaman orang tua terhadap misi pesantren Persis. Orang tua pada awalnya sering kali tidak memahami misi Persis seperti dijelaskan di atas, yakni berpegang teguh kepada Qur’an dan Hadits. Banyak orang tua baru menydari hal tersebut ketika anaknya sudah masuk ke dalam pesantren.
Salam keadaan seperti ini, maka bisa terjadi dua kemungkinan. Pertama adalah orang tua tidak bisa menerima perubahan sikap beragama anaknya yang kaku dan pada gilirannya memaksa anaknya untuk keluar. Kemungkinan kedua adalah anaknya bisa menjelaskan kepada orang tuanya dan bahkan dapat mempengaruhi orang tuanya. Pada kemungkinan kedua inilah yang mengakibatkan menurunnya minat masyarakat terhadap pesantren ini. Hal ini dimungkinkan karena orang tua yang tidak setuju bisa mempengaruhi orang tua calon santri lain. Faktor lain adalag faktor sosial keagamaan. Seperti telah dijelaskan, mayoritas Muslim Bangil dan Pasuruan secara umum berafiliasi kepada NU. Oleh karena itu, dapat dipahami jika sikap Persis yang kaku dan tanpa kompromi terhadap tradisi-tradisi keagamaan yang dianggapnya sudah menyimpang dari ajaran Islam menjadi salah satu penyebab utama dari mneurunnya jumlah santri pesantren ini.

Persatuan Islam didirikan secara resmi pada tanggal 12 September 1932 di Bandung, oleh sekelompok orang Islam yang berminat dalam studi dan aktivitas keagamaan yang dipimpin oleh Zam-Zam dan Muhammad Yunus. Berbeda dengan organisasi-organisasi lain yang bediri pada awal abad ke-20, Persatuan Islam mempunyai ciri tersendiri, di mana kegiatannya dititikberatkan pada pembentukan faham keislaman.
Perhatian Persis terutama sebagaimana menyebarkan cita-cita dan pemikirannya. Ini dilakukan dengan mengadakan pertemuan umum, tabligh, khotbah-khotbah, kelompok-kelompok studi, mendirikan sekolah-sekolah, dan menyebarkan atau menerbitkan pamphlet, majalah dan kitab-kitab. Dalam menjalankan kegiatannya, Persis beruntung karena mendapat dukungan dan partisipasi dari dua tokoh penting, yaitu Ahmad Hasan, yang dianggap sebagai guru Persis yang utama pada masa awal berdirinya, dan Ahmad Natsir, yang pada waktu itu merupakan seorang pemuda yang sedang berkembang dan bertindak sebagai juru bicara dari organisasi ini dalam kalangan terpelajar.

Ahmad Hassan: Tentang Demokrasi Dan Sekularisme
Dalam pandangan Ahmad Hassan, Islam adalah agama yang lengkap yang mengatur sendi-sendi kehidupan manusia mulai dari karuhanian sampai masalah politik kenegaraan. Demi mewujudkan suatu negara Islam yang sesuai dengan yang dikehendaki Tuhan, kaum Muslim harus melaksanakan seluruh ajaran agama Islam di setiap sendi kehidupan. Ahmad Hassan berkeyakinan bahwa hanya Islam yang memberikan dasar dan moral bagi Negara; agama telah memberikan ajaran yang lengkap bagi kehidupan manusia.
Dari sini bisa dipahami bahwa Islam akan memberikan rahmatan lil ‘alamin jika diterapkan secara menyeluruh di segala aspek kehidupan.
Ahmad Hassan bukan sekadar menyerukan pemahaman bahwa Islam mempunyai seperangkat aturan lengkap untuk mengatur seluruh sendi-sendi kehidupan, namun juga menyerukan bahwa undang-undang dan peraturan-peraturannya yang sesuai dengan al-Quran harus dilaksanakan. Pemerintahan Islam baginya adalah pilihan lain dari paham kebangsaan yang dianggapnya sebagai tidak memberikan tempat bagi agama. Beliau menginginkan Islam memasuki seluruh aspek kehidupan manusia, sesuai dengan keyakinan bahwa kebenaran ajaran Islam adalah mutlak. Islam dipandang sebagai sesuatu yang tertinggi dan terluas menerjang batas-batas kebangsaan dan ketanahairan.

Ahmad Hassan secara tegas menolak demokrasi dan sekularisme. Beliau pernah ditanya tentang apa beda pemerintahan Islam dan demokrasi. “Tuan tadi mengatakan bahwa pemerintahan Islam itu berdasarkan al-Quran, Hadis, dan musyawarah. Sedangkan pemerintahan demokrasi tulen, hanya dengan rembukan rakyat. Di antara dua ini, manakah yang lebih baik?”
Mendengar pertanyaan tersebut Ahmad Hassan menjawab, “Pemerintahan secara demokrasi atau kedaulatan rakyat semata-mata berdasarkan kemauan rakyat. Kalau rakyat mau halalkan zina, mengizinkan produksi minuman beralkohol, dan seterusnya, niscaya boleh. Sedangkan menurut Islam, yang haram tetaplah haram; yang makruh tetaplah makruh; dan yang sunnah tetaplah sunnah. Kedaulatan rakyat berlaku di urusan-urusan luar dari yang tesebut. Dalam pemerintahan dengan cara Islam, maksiat tidak dapat menjadi perkara biasa, sedangkan dalam sistem pemerintahan demokrasi tulen, yang haram bisa jadi halal, yang wajib bisa jadi haram, asal dikehendaki oleh rakyat. Dari sini, tuan bisa tahu mana yang lebih baik,” jawab Ahmad Hassan.

Ketegasan ide Ahmad Hassan dalam memperjuangkan syariah Islam agar menjadi pondasi pemerintahan juga tampak dalam pergulatan ide dengan Soekarno. Soekarno menghendaki pemisahan agama dari struktur pemerintahan serta bercermin pada undang-undang Swiss dan sekularisme Turki. Namun, pandangan ini dibantah keras oleh sejumlah tokoh Islam, termasuk di antaranya A. Hassan dan M. Natsir yang sama-sama tidak menghendaki adanya upaya memisahkan agama dari urusan pemerintahan. Sebab, menurutnya, Islam memiliki nilai universal yang sempurna yang tidak dimiliki oleh sejumlah agama lain.

Dari pergulatan ini, Ahmad Hassan juga memberikan penjelasan tentang syarat-syarat dalam memilih pemimpin negara antara lain:
1. Seorang pemimpin harus Muslim dan dari kalangan Muslim itu sendiri, sebagaimana yang tercantum dalam QS Ali Imran [3]: 118-119, QS at-Taubah[9]: 8, QS al-Maidah [5]: 57.
2. Seorang pemimpin/kepala negara hendaknya dari kaum laki-laki berdasar pada keterangan QS an-Nisa’ [4]: 34, QS an-Nahl [16]: 43 serta HR al-Bukhari yang berisi, “Tidak akan jaya suatu negeri yang menyerahkan urusan (kepemimpinannya) kepada kaum wanita.”
3. Memiliki profesioanlisme. Dalam hal ini ditegaskan oleh Nabi Muhammad saw., “Apabila sebuah urusan diserahkan bukan kepada ahlinya maka tunggulah saat kehancuran.” (HR al-Bukhari).

Ahmad Hassan adalah seorang pemikir yang teguh dalam memperjuangkan tegaknya syariah Islam. Ahmad Hassan ingin mengubah masyarakat Islam sampai ke akar-akarnya dan ingin menghancurkan penyakit umat Islam dengan cara yang radikal secara revolusioner, secara jelas, tanpa samar-samar dan penuh kepastian. Suka atau tidak suka, menurut Ahmad Hassan, seorang Muslim harus mengunakan hukum Islam di setiap tempat dan setiap hal. [Gus Uwik]
















DAFTAR PUSTAKA

Adz-Dzahabi, Abu, Debat A. Hassan vs Soekarno, Seputar Negara, Hukum dan Sekularisme, Pustaka Umat, Bandung, 2003 dalam http://dian89.multiply.com/reviews/item/12

A. Mughni, Syafiq, Hasan Bandung: Pemikir Islam Radikal, (Surabaya: Bina Ilmu, 1994

Ashrohah, Hanun, Sejarah Pendidikan Islam, (Ciputat: PT Logos Wacana Ilmu, 2001

Burhanudin, Jajat, Mencetak Muslim Modern, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2006

H.M. Bibit Suprapto, Ensiklopedia Ulama Nusantara, (Jakarta: Gelegar Media Indonesia, 2009

IAIN Syarif Hidayatullah, ket: Harun Nasution, Ensiklopedia Islam Indonesia, Jakarta: IKAPI, 1992

Noer, Deliar, Gerakan Modern Islam di Indonesia, Jakarta: LP3ES, 1982

Rifa’i, Muh., Pemikiran Politik Islam Menurut Ahmad Hassan dalam Perspektif Politik Islam Indonesia, Siyasah Jinayah, IAIN Sunan Ampel, 2009.

Yunus, Mahmud, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia, (Jakarta: Hidakatya Agung, 1982

Zuhairini, Sejarah Pendidikan Islam, Jakartata: Bumi Aksara, 2004

http://muftialy.wordpress.com/2009/07/17/islam-vs-demokrasi/

http://hizbut-tahrir.or.id/2010/04/17/ahmad-hassan-penentang-demokrasi-dan-sekularisme/

Disarikan dari Ensklopedi Tokoh Muhammadiyah, http://www.pkesinteraktif.com/edukasi/sosok/375-ahmad-hasan-ulama-dan-guru-besar-persis-1887-1958-.html

Tidak ada komentar: