Mengenai Saya

Foto saya
Aku hanyalah seoarang manusia yang bisa saja salah dalam setiap kata yang telah aku ucapkan, tulisan yang telah aku buat.jika terdapat kesalahan kata, tanda baca, nama, dsb harap dimaklumi, Sungguh, Allahlah yang maha sempurna dengan segala sesuatu, dan aku hanyalah manusia yang terkadang alfa atas setiap hal yang telah kulalui.

Sabtu, 24 Oktober 2009

HAJIB MAHJUB DAN DZAWIL ARHAM

PEMBAHASAN

1. HAJIB MAJHUB

Dalam pembagian harta warisan, para ahli waris, baik ahli waris dzawil furud maupun ashabah, terkadang menerima bagia, terkadang pula tidak menerimnya (kecuali lima orang ahli waris yang selalu menerima bagian, yakni anal laki-laki, anak perempuan, bapak, ibu, suami atau istri).
Ahli waris yang tidak menerima bagian adalah ahli waris yang terkena ‘mawani’ul irtse, disebut mahrum atau mamnu’, atau ahli waris yang karena ada ahli waris lain ia tidak dapat menerima bagian, disebut mahjub (terkena hijab).
Ahli waris yang mempunyai kekuatan menutup ahli waris yang lain itu yang disebut hajib dan yang karena ada penutupan itu terkena akibatnya disebut mahjub.
Di dalam bahasa Arab, hijab artinya adalah mencegah, menutup dan menghalangi. Sedangkan orang yang menjadi penghalang disebut hajib, dan yang dicegah atau dihalangi disebut mahjub.
Hijab menurut para ulama mawaris artinya mencegah atau menghalangi orang-orang tertentu dari menerima harta warisan, baik semua maupun sebagian.
Penghalang warisan ada dua:
Hijab adalah menghalangnya seorang ahli waris yang mempunyai sebab-sebab pewarisan atau ahli wris lain yang mempunyai sebab-sebab pewarisan, apakah seluruh atau sebagian, baik itu dalam keadaan menerima bagian maupun dalam keadaan terhijab pula.
Penghalang warisan ada dua:
1. Hajb bi Washfin
Adalah ahli waris yang terhalang mendapat warisan karena adanya salah satu penghalang yang telah disinggung, yaitu penghambaan, pembunuhan dan perbedaan agama. Jenis ini mungkin terjadi pada semua ahli waris. Masing-masing ahli waris mungkin menjadi budak, pembunuh atau berbeda agama dengan si mayit. Keberadaan ahli waris yang terhalang dengan hajb washfin ini dianggap tidak ada. Oleh karena itu, mereka tidak dapat menghalangi ahli waris lain dan tidak juga membuat ahli waris mendapatkan ‘ashabah.

2. Hajb bi Syakhsin
Adalah sebagian ahli waris terhalang mendapatkan warisan karena adanya ahli waris lain.
Penghalang ini ada dua macam:
a) Hajb Nuqshaan
Hajb Nuqshan adalah berkurangnya warisan salah seorang ahli waris karena adanya orang lain. Hajb Nuqshaan ini terjadi pada lima orang.
 Suami terhalang dari separoh menjadi seperempat di waktu ada anak laki-laki.
 Istri terhalang dari seperempat menjadi seperdelapan menjadi di waktu ada anak laki-laki.
 Ibu terhalang dari sepertiga menjadi seperenam di waktu ada keturunan yang mewarisi.
 Anak perempuan dari anak laki-laki.
 Saudara perempuan seayah.
b) Hajb Hirmaan
Hajb Hirman adalah terhalangnya semua warisan bagi seseorang karena adanya orang lain, seperti terhalangnya warisan bagi saudara laki-laki di waktu adanya laki-laki. Hajb Hirman ini tidak termasuk ke dalam warisan dari enam orang pewaris, sekalipun mereka bisa terhalang oleh hajb nuqshaan. Mereka itu adalah:
a. Kedua orang tua yaitu ayah dan ibu.
b. Kedua orang anak, yaitu anak laki-laki dan anak perempaun
c. Dua orang suami istri.
Hijb hirman itu masuk ke dalam ahli waris selain dari keenam ahli waris tersebut di atas.
Hijb hirman itu ditegakan pada dua asas:
a. Bahwa setiap orang yang mempunyai hubungan dengan mayit karena ada orang lain itu, dia tidak mewarisi bila orang tersebut ada. Misalnya anak laki-laki dari anak laki-laki itu tidak mewarisi bersama dengan adanya anak laki-laki, kecuali anak laki-laki dari ibu, padahal mereka mempunyai hubungan dengan si mayit karena dia.
b. Orang yang lebih dekat itu didahulukan atas orang yang lebih jauh, maka anak laki-laki menghalangi anak laki-laki dari saudara laki-laki. Apabila mereka sama dalam derajat, maka ditarjih (diseleksi) dengan kekuatan hubungan kekerabatannya, seperti saudara laki-laki sekandung menghalangi saudara laki-laki seayah.
Perbedaan antara mahrum dan mahjub adalah bahwa mahrum sama sekali tidak berhak untuk mewarisi dan orang yang mahrum dari warisan itu tidak mempengaruhi orang lain, maka ia tidak menghalanginya sama sekali bahkan ia dianggap tidak ada. Sedangkan mahjub berhak mendapatkan warisan, tetapi ia terhalang oleh orang yang lebih utama darinya. Orang yang mahjub juga mempengaruhi orang lain, baik hajb nuqshan maupun hajb hirman.
Masalah hajib dan mahjub sebagai aturan kewarisan yang dibenarkan menurut syariat Islam karena diperoleh kajian dari ayat al-Qur’an dan juga dari sabda Nabi saw. Allah berfirman:

….. dan saudaranya yang laki-laki mempusakai (seluruh harta saudara perempuan), jika ia tidak mempunyai anak. (Q.S. An-Nisa:176)

Ayat ini dapat dipahami dengan ungkapan kalimat sebaliknya, tapi dalam maksud yang masih utuh demikian bunyinya: Sebagai ahli waris, saudara lelaki itu tidak mendapat warisan bagian selagi masih ada anak. Dengan demikian, kedudukan saudara adalah mahjub sedang kedudukan anak adalah hajib. Dalam firman lain kata bukan “lam yakun laha walad” tetapi dengan kata “kalalah” demikian bunyinya:

“ Jika seseorang mati, baik laki-laki maupun perempuan yang tidak meninggalkan ayah dan tidak meninggalkan anak, tetapi mempunyai seorang saudara laki-laki (seibu saja) atau seorang saudara perempuan (seibu saja), Maka bagi masing-masing dari kedua jenis saudara itu seperenam harta”Q.S. An-Nisaa:12)

Ayat ini juga dipahami bisa juga dengan ungkapan lain yang masih utuh maksudnya demikian: Saudara lelaki atau perempuan yang seibu mendapat seperenam kalau tidak ada ahli waris yang menutupnya yaitu ayah dan anak. Dengan demikian menurut ayat ini saudara seibu itu mahjub oleh hajib yang terdiri dari ayah dan anak.
Kedua ayat tersebut di atas mengatur tentang penutupan hak kewarisan yang penuh, sehingga saudara memang tertutup sepenuhnya sampai tidak mendapat sama sekali dan oleh karenanya untuk aturan ini digunakan istilah hajbun-nuqsan, menutup tapi hanya sebagian misalnya dari setengah menjadi seperempat.

Ayat-ayat berikut ini adalah yang mengatur tentang hajbun-nuqsan. Allah berfirman:

jika orang yang meninggal tidak mempunyai anak dan ia diwarisi oleh ibu-bapanya (saja), Maka ibunya mendapat sepertiga…(Q.S.An-nisa:11).

Diantara isi kandungan ayat ini menetapkan ibu mendapat sepertiga bila tidak ada anak,tetapi di dalam bunyi sebelumnya ibu mendapat seperenam dikarenakan ada anak. Dengan demikian maka dapat dikatakan bahwa ibu sebagai ahli waris mendapat hijab-nuqsan karena adanya anak yaitu dari sepertiga menjadi hanya seperenam.
Firman Allah tentang hak waris suami:

Dan bagimu (suami-suami) seperdua dari harta yang ditinggalkan oleh isteri-isterimu, jika mereka tidak mempunyai anak. jika Isteri-isterimu itu mempunyai anak, Maka kamu mendapat seperempat dari harta yang ditinggalkannya … (Q.S. An-Nisa:12).

Kandungan ayat ini juga menunjukkan adanya aturan hijab nuqsan yaitu buat suami seperdua menjadi hanya seperempat dikarenakan adanya anak. Bunyi ayat selanjutnya juga mengandung aturan tersebut tapi untuk istri dari seperempat menjadi hanya seperdelapan dikarenakanan anak. Adapun firman yang berikut ini malah menunjukkan bahwa yang menjadi hajib-nuqsan tidak hanya anak namun bias juga saudara.

jika yang meninggal itu mempunyai beberapa saudara, Maka ibunya mendapat seperenam. (Q.S An-Nisa:11).

Dengan bunyi ayat inimenunjukkan bahwa ibu sebagai ahli waris kecuali mendapat hijab-nuqsan karena adanya anak juga karena adanya dua orang saudara atau lebih.
Dari sejumlah firma Allah yang telah dikutip di atas terdapat sekian ketentuan bahwa hak menjadi hajib baik yang hirman maupun yang hanya nuqsan, kemudian ada ketentuan pula ayah yang menjadi hajib hirman dan menyusul ketentuan bahwa saudara pun bisa menjadi hajib walaupun dalam menutup ibu yang tersebut dalam ayat sebagai hajib nuqsan saja.

2. Dzawil Arham

Dzawil Arham berasal dari bahasa Arab, dzawu dan al-arham. Semula istilah dzawil arham mempunyai arti yang luas, yakni mencakup seluruh keluarga yang mempunyai hubungan kerabat dengan orang yang meninggal.
Arti kata dzawil arham tersebut diambil dari pengertian lafaz al-arham pada firman Allah SWT Al-Anfal 75 :

Orang-orang yang mempunyai pertalian kerabat, sebagian adalah lebih berhak daripada sebagian mereka (orang lain di dalam ketetapan Allah. (Q.S. al-Anfal 75)

Arti kata dzul arhaam juga bisa berarti “orang yang mempunyai hubungan darah dengan pewaris melalui pihak wanita saja”.
Kata Al-Arham sendiri merupakan bentuk jamak dari kata Rahmun, yang menurut bahasa artinya tempat terbentuknya janin dalam perut ibunya. Pengertian tersebut kemudian diperluas sebagai sebutan untuk setiap orang yang dihubungkan nasabnya kepada seseorang akibat adanya hubungan darah.
Dzawil-arham adalah golongan yang tidak termasuk golongan ashcababul-furudh dan ashabah. Kerabat golongan ini baru mewarisi jika tidak ada kerabat yang termasuk kedua golongan ini. Di kalangan ulama Ahlu al-sunnah kata dzaul arham ini dikhususkan penggunaannya dalam kewarisan pada orang-orang yang mempunyai hubungan keturunan yang tidak disebutkan Allah furudhnya dalam al-Qur’an dan tidak pula kelompok orang-orang yang berhak atas sisa harta sebagaimana yang dijelaskan Nabi dengan sunnahnya.
Ahli waris yang berhak atas sisa yang dinamakan ashabah itu dinyatakan oleh Nabi yaitu laki-laki yang dihubungkan kepada pewaris melalui jalur laki-laki. Kalau dzaul arham itu adalah orang yang berhubungan keturunan selain yang disebutkan dalam al-Qur’an dan selain dari laki-laki melaui garis laki-laki, tentunya ia adalah perempuan, baik ia laki-laki atau perempuan. Dengan demikian secara sederhana dikatakan ahli waris ashabah adalah laki-laki dan dzaul arham adalah perempuan (atau memalui perempuan).
Orang-orang yang menolak dan menerima dzawil arham :
Zaid bib Tsabit menolak adanya hak kewarisan golongan zdawil arham. Menurut beliau, apabila tidak ada dzawil furud dan asabah bahkan apabila ada kelebihan dari dzawil furud, warisan itu diserahkan kepada bait al-mal, bukan kepada dzawil al-arham. Pendapat ini diikuti oleh Imam Malik, Imam ady-Syafi’I dan Ibn Hazm.
Sahabat-sahabat lain, yaitu Abu Bakr, ‘Umar, ‘Usman, ‘Ali, Ibn Mas’ud, Mu’az Bin Jabal dan Ibn Abbas (dalam satu riwayat) menetapkan bahwa zawi al-arham berhak mewarisi apabila ahli waris asabah dan zawi al-furud an-nasabiyah sudah tidak ada. Pendapat ini diikuti oleh Imam Abu Hanifah, Abu Yusuf, Muhammad asy-Syaibini, Imam Ahmad dan ulama-ulama muta’akhirin dalam mahzab Syafi’iyah dan Malikiyah.
a. Golongan-golongan dzawil arham
Dzawil Arham terdiri dari empat golongan, sebagiannya didahulukan atas sebahagiaan yang lain di dalam pewarisan, menurut tertib berikut:
1. Golongan yang pertama, yaitu, cucu laki-laki dan perempuan dari anak perempuan dan seterusnya ke bawah, anak laki-laki dari anak perempuan dan dari anak laki-laki dan seterunaya (cicit).
2. Golongan yang kedua, yakni kakek dan nenek yang tidak shahih ke atas.
3. Golongan yang ketiga, yaitu anak dari saudara perempuan kandung atau sebapak walaupun derajat mereka telah jauh, baik anak laki-laki maupun anak perempuan (keponakan), anak-anak perempuan dari saudara laki-laki kandung sebapak atau seibu, anak perempuan dari anak lelaki saudara lelaki kandung, sebapk atau seibu, dan anak lelaki dari saudara laki-laki seibu dan cucu dari saudara laki-laki seibu.
4. Golongan keempat, yakni paman dari si mayit, bibi (dari ayah), paman dan bibi dari ibu, baik sekandung, seayah maupun seibu. Anak perempuan dari paman, basic kandung maupun seayah saja. Paman dari ayah si mayit dan bibinya yang seibu. Paman dan bibi dari ibu, baik kandung, seayah atau seibu. Paman dari kakek yang seibu, paman dari nenek dan bibi-bibi dari keduanya.

b. Syarat-Syarat Pusaka Dzawil Arham
Jumhur fuqaha yang menyetujui kewarisan dzawil arham menetapkasn dua syarat agar mereka dapat menerima harta peninggalan kekerabatannya, yaitu beriku ini:
1) Tidak ada ashabul furud atau ashabah
Apabila masih terdapat ashabul furud dan ashabah walaupun hanya seorang, dzawil arham tidak menerima bagian waris sama sekali. Hal ini karena apabila bagian ashabul furud tidak sampasi habis, maka harus dikembalikan (di-radd) kepada ashabul furud kembali sampai tidak ada sisa harta peninggalan yang bakal diterimanya. Radd kepada ashabul furud harus didahulukan dari pada mewariskan kepada dzawil arham. Apabila kalau fard ashabul furud dapat menghabiskan semua harta peninggalan, atau jumlah saham mereka lebih besar daripada asal masalah hingga sal masalah itu perlu di-aul-kan sehingga tidak ada sisa lebih.
Begitu juga, mereka tidak dapat menerima warisan sama sekali, bila masih ada ashabah baik sendirian maupun bersama-sama dengan ashabul furud sebab sisa lebih itu akan diterima semuanya oleh ashabah sebagai pewaris semua sisa.
2) Bersama salah seorang suami istri
Apabila ashabul furud yang mewarisi bersama-sama dengan dzawil arham itu salah seorang suami istri, salah satu dari suami istri itu mengambil bagian (farad)-nya lebih dahulu kemudian sisanya baru diberikan kepada mereka, tidak boleh di-radd-kan kepada salah seorang suami istri tersebut. Ini karena me-radd-kan sisa lebih kepada salah seorang suami istri harus dikemudiankan daripada menerimakan kepada dzawil arham. Ketiadaan salah seorang suami istri menerima radd tetap berlaku sepanjang masih ada ashabul furud selain dia sendiri atau dzawil arham.
c. Cara Dzawil Arham menerima waris
Para fuqaha yang berpendapat bahwa dzawil arham menerima bagian waris apabila mereka lebih dari seorang yang berlainan rumpun mereka atau bersamaan rumpun, tetapi berbeda kelompok, kekuatan kekerabatan mereka, maka para fuqaha berbeda pendapat tentang cara membagikan harta kepada mereka. Dalam hal ini terdapat tiga golongan.
1. Mazhab Ahlul Qarabah
Adalah asas dalam membagikan harta peninggalan kepada dzawil arham dengan mengutamakan dari keluarga yang terdekat terlebih dahulu dari si mayit.
2. Mazhab Ahlul Tanzil
Adalah asas dalam membagikan harta peninggalan kepada dzawil arham dengan mengutamakan dari garis keturunan secara turun temurun.
3. Mazhab Ahlur Rahim
Adalah suatu asas dalam membagikan harta peninggalan kepada dzawil arham atas dasar pengertian kerabat secara umum yang dapat ditetapkan dan mencakup kepada seluruh dzawil arham tanpa membedakan satu dengan yang lainnya dan tidak mengutamakan salah satu rumpun dari rumpun lainnya karena dekatnya atau kuatnya kekerabatan mereka.



KESIMPULAN
Hijab adalah menghalangnya seorang ahli waris yang mempunyai sebab-sebab pewarisan atau ahli wris lain yang mempunyai sebab-sebab pewarisan, apakah seluruh atau sebagian, baik itu dalam keadaan menerima bagian maupun dalam keadaan terhijab pula.
Penghalang ada dua macam:
a) Hajb Nuqshaan
b) Hajb Hirmaan
Dzawil-arham adalah golongan yang tidak termasuk golongan ashcababul-furudh dan ashabah. Kerabat golongan ini baru mewarisi jika tidak ada kerabat yang termasuk kedua golongan ini.
d. Golongan-golongan dzawil arham
1. Golongan yang pertama, yaitu, cucu laki-laki dan perempuan dari anak perempuan dan seterusnya ke bawah, anak laki-laki dari anak perempuan dan dari anak laki-laki dan seterunaya (cicit).
2. Golongan yang kedua, yakni kakek dan nenek yang tidak shahih ke atas.
3. Golongan yang ketiga, yaitu anak dari saudara perempuan kandung atau sebapak walaupun derajat mereka telah jauh, baik anak laki-laki maupun anak perempuan (keponakan), anak-anak perempuan dari saudara laki-laki kandung sebapak atau seibu, anak perempuan dari anak lelaki saudara lelaki kandung, sebapk atau seibu, dan anak lelaki dari saudara laki-laki seibu dan cucu dari saudara laki-laki seibu.
4. Golongan keempat, yakni paman dari si mayit, bibi (dari ayah), paman dan bibi dari ibu, baik sekandung, seayah maupun seibu. Anak perempuan dari paman, basic kandung maupun seayah saja. Paman dari ayah si mayit dan bibinya
yang seibu. Paman dan bibi dari ibu, baik kandung, seayah atau seibu. Paman dari kakek yang seibu, paman dari nenek dan bibi-bibi dari keduanya.










DAFTAR PUSTAKA

Abu Bakar, Al Yasa, Ahli Waris Sepertalian Darah : Kajian Perbandingan terhadap Penalaran Hazairin dan Penalaran Fikih Mazhab, Jakarta : INIS, 1998

As-Sidieqy, Hasbi, Fiqh Mawaris, Jakarta: Bulan Bintang, 1973.

Fathurahman, Ilmu Mawaris, Bandung: PT. Al-Ma’arif, 1987.

Kuzari, Achmad, Sistem Asabah: Dasar Hak Milik Atas Harta Tinggalan, Jakarta: PT.Rajagrafindo Persada, 1996.

Muhammad bin Shalih al-Utsaimin, Panduan Praktis Hukum Waris’ , Bogor: Pustaka Ibnu Katsir, 2006

Sabiq, Sayyid ,Fiqh Sunnah, Bandung: PT. Al-Ma’arif, 1987.

Salman, Otje dan Mustofa Haffas, Hukum Waris Islam, Bandung, PT Refika Aditama, 2006.

Suparman, Eman, Hukum Waris Indonesia, Bandung, PT Refika Aditama, 2007.

Syarifuddin, Amir, Hukum Kewarisan Islam, Jakarta : Prenada Media, 2004.

Usman, Suparman dan Yusuf Somawinata, Fikih Mawaris Hukum Kewarisan Islam, Jakarta : Gaya Media, 1997.


.

Tidak ada komentar: