Mengenai Saya

Foto saya
Aku hanyalah seoarang manusia yang bisa saja salah dalam setiap kata yang telah aku ucapkan, tulisan yang telah aku buat.jika terdapat kesalahan kata, tanda baca, nama, dsb harap dimaklumi, Sungguh, Allahlah yang maha sempurna dengan segala sesuatu, dan aku hanyalah manusia yang terkadang alfa atas setiap hal yang telah kulalui.

Sabtu, 24 Oktober 2009

PERJANJIAN PERKAWINAN

I PEMBUKAAN

Perjanjian perkawinan adalah persetujuan yang dibuat oleh calon mempelai pada waktu atau sebelum perkawinan dilangsungkan, dan masing-masing berjanji akan menaati apa yang tersebut dalam persetujuan itu, yang disahkan oleh pencatat nikah. perjanjian nikah tersebut mempunyai syarat dan hukum.

Muatan perjanjian tidak boleh bertentangan dengan al-Qur’an, karena perjanjian yang bertentangan dengan ketentuan hukum al-Qur’an, meskipun seratus syarat, hukumnya batal. Demikian juga perjanjian yang tidak bertujuan menghalalkan yang haram atau mengharamkan yang halal.

II PEMBAHASAN

PERJANJIAN PERKAWINAN

1. Pengertian, Syarat, dan Hukum Perjanjian Perkawinan.

Perjanjian perkawinan yaitu “persetujuan yang dibuat oleh kedua calon mempelai pada waktu atau sebelum perkawinan dilangsungkan, dan masing-masing berjanji akan menaati apa yang tersebut dalam persetujuan itu, yang disahkan oleh pegawai pencatat nikah[1].

Perjanjian perkawinan (mithaq az-zauziyyah) dalam at-tanjil al-hakim terdapat dalam firman Allah SWT: “Dan jika kamu ingin mengganti istrimu dengan isteri yang lain, sedang kamu telah memberikan kepada seseorang di antara mereka harta yang banyak, maka janganlah kamu mengambil kembali dari padanya barang sedikit pun. Apakah kamu akan mengambilnya kembali dengan jalan tuduhan yang dusta dan dengan menanggung dosa yang nyata? Bagaimana kamu akan mengambilnya kembali, padahal sebagian telah bergaul dengan yang lain sebagai suami-isteri. Dan mereka (isteri-isterimu) telah mengambil dari kamu perjanjian yang kuat”(QS. An-nisa [4]: 20-21).

Dalam ayat diatas nampak, bahwa dalam perkawinan terdapat sebuah perjanjian yang kuat yang diambil oleh para isteri dari para suami mereka[2].

Muatan perjanjian tidak boleh bertentangan dengan al-Qur’an, karena perjanjian yang bertentangan dengan ketentuan hukum al-Qur’an, meskipun seratus syarat, hukumnya batal. Demikian juga perjanjian yang tidak bertujuan menghalalkan yang haram atau mengharamkan yang halal[3].

Perjanjian perkawinan mempunyai syarat, yakni perjanjian yang dibuat itu tidak bertentangan dengan syari’at islam atau hakikat perkawinan. “Jika syarat perjanjian yang dibuat bertentangan dengan syari’at islam atau hakikat perkawinan apapun bentuk perjanjian itu maka perjanjian itu tidak sah, tidak perlu diikuti, sedangkan akad nikahnya sendiri sah”. Jadi, jika syarat perjanjian perkawinan yang dibuat tidak bertentangn dengan syari’at islam atau hakikat perkawinan, maka hukumnya boleh (sah), tetapi jika syarat itu bertentangan dengan syari’at islam atau hakikat perkawinan maka hukum perjanjian itu tidak boleh (tidak sah).

Contoh syarat yang tidak sesuai dengan syari’at islam, misalnya, dalam perkawinan itu si istri tidak akan kawin lagi. Perkawianan itu sendiri sah, tetapi syaratnya tidak sah. Berdasarkan sabda Nabi SAW:

كل شرة ليس في كتا ب الله فهو باطل و ان كا ن ما ئة شرط

“Segala syarat yang tidak terdapat dalam Kitabullah adalah batal, sekalipun 100 kali syarat”.

Sabdanya pula:

االمسلمون علئ شروطهم الا شر طا احل حراماوحلا لا

“Orang-orang islam itu menurut syarat mereka, kecuali apabila berupa syarat yang menghalalkan yang haram dan mengharamkan yang halal.”[4]

Tentang perjanjian ini, Kholil Rahman menyebutkan macam-macam sifat perjanjian :

a. Syarat-syarat yang menguntungkan istri, seperti syarat untuk tidak dimadu. Para ulama berbeda pendapat dalam masalah ini, ada yang mengatakan sah, dan ada yang mengatakan tidak sah. Sayid Sabiq misalnya, membolehkan si istri menuntut fasakh apabila suami melanggar perjanjian tersebut.

b. Syarat-syarat yang bertentangan dengan apa yang dikehendaki oleh maksud akad itu sendiri. Seperti, tidak boleh mengadakan hubungan kelamin, tidak ada hak waris-mewarisi di antara suami dan istri, tidak boleh berkunjung kepada kedua orang tua, dan lain-lain. Syarat-syarat semacam ini tidak sah, dan tidak mengikat.

c. Syarat-syarat yang bertentangan dengan ketentuan syara’ seperti jika akad nikah sudah dilangsungkan, agar masing-masing pindah agam, harus mau makan daging babi, dan sebagainya. Perjanjian semacam ini tidak sah, dan bahkan akad nikahnya juga tidak sah[5].

2. Bentuk-Bentuk Perjanjian Perkawinan

Bentuk-bentuk perjanjian perkawinan adalah:

1. Ta’lik talak.

2. Perjanjian lain yang tidak bertentangan dengan hukum islam[6].

C. Hukum Perjanjian Perkawinan

Dalam Undang-undang nomor 1 tahun 1974 tentang perkawinan diatur masalah perjanjian perkawinan dalam pasal 29. Bunyi selengkapnya adalah sebagai berikut:

1. Pada waktu atau sebelum perkawinan dilangsungkan, kedua pihak atas persetujuan bersama dapat mengadakan perjanjian tertulis yang disahkan oleh pegawai pencatat perkawina. Setelah masa isinya berlaku juga terhadap pihak ketiga sepanjang pihak ketiga tersangkut.

2. Perjanjian tersebut tidak dapat disahkan bilamana melanggar batas-batas hukum, agama, dan kesusilaan.

3. Perjnajian tersebuat brlaku sejak perkawinan dilangsungkan.

4. Selama perkawinan berlangsung perjanjian tersebut tidak dapat diubah,

kecuali bila dari kedua belah pihak ada persetujuan untuk mengubah dan

perubahan tidak merugika pihak ketiga.

Penjelasan pasal 29 tersebut menyatakan bahwa perjanjian dalam pasal ini tidak termasuk taklik talak. Namun dalam Peraturan Menteri Agama Nomor 3 Tahun 1975 pasal 11 menyebutkan satu aturan yang bertolak belakang.

1. Calon suami isteri dapat mengadakan perjanjian sepanjang tidak bertentangan dengan hukum islam.

2. Perjanjian yang berupa taklik talak dianggap sah kalau perjanjian itu diucapkan dan ditandatangani suami setelah akad nikah dilangsungkan.

3. Sighat taklik talak ditentukan oleh Menteri Agama.

Yang menarik adalah kompilasi menggaris bawahi pasal 11 Peraturan Menteri Agama tersebut. Kompilasi sendiri memuat 8 pasal tentang perjanjian perkawinan yaitu pasal 45 sampai dengan pasal 52.

Kedua calaon mempelai dapat mengadakan perjanjian perkawinan dalam bentuk:

1. Taklik talak, dan

2. Perjanjian lain yang tidak bertentangan dengan hokum islam.

Jadi praktis perjanjian perkawinan seperti dijelaskan dalam penjelasan pasal 29 Undang-undang No. 1 tahun 1974, telah diubah atau setidaknya diterapkan bahwa taklik talak termasuk salah satu macam perjanjian perkawinan, dalam kompilasi dan detail-detailnya dikemukakan.

Pasal 46 kompilasi lebih jauh mengatur:

1. Isi taklik talak tidak boleh bertentangan dengan hukum islam.

2. Apabila keadaan yang disyaratkan dalam taklik talak betul terjadi kemudian tidak dengan sendirinya talak jatuh. Supaya talak sungguh-sungguh jatuh, isteri harus mengjukan persoalannya ke Pengadilan Agama.

3. Perjanjian taklik talak bukan perjanjian yang wajib diadakan pada setiap perkawinan, akan tetapi sekali talak talik sudah diperjanjikan tidak dapat dicabut kembali.

Ayat 3 diatas sepintas bertentangan dengan pasal 29 Undang-undang perkawinan ayat 4 yang mengatur bahwa selama perkawinan berlangsung perjanjian tidak dapat diubah kecuali ada persetujuan kedua belah pihak, dan tidak merugikan pihak ketiga. Dari sinilah maka dalam penjelasannya disebutkan tidak termasuk talik talak. Karena naskah yang sudah ditandatangani suami. Oleh karena itu pula, perjanjian talik talak sekali sudah diperjanjikan tidak dapat dicabut kembali.

Karena itu sebslum akad nikah dilakakukan Pegawai Pencatat perlu meneliti betul perjanjian perkawinan yang dibuat oleh kedua calon mempelai, baik secara material atau isi perjanjian itu, maupun teknis bagai mana perjanjian itu telah disepakati oleh mereka bersama. Sejauh perjanjian itu berupa taklik talak. Menteri agama telah mengaturnya. Adapun teks. (sighat) taklik talak yang diucapkan suami sesudah dilangsungkan akad nikah adalah sebagai berikut:

Sesudah akad nikah, saya…..bin….berjanji dengan sesunguh hati, bahwa saya akan menepati kewajiban saya sebagai seorng suami, dan saya akan pergauli istri saya bernama….binti….dengan baik (mu’asyarah bil ma’ruf) menurut ajarn syari’at Islam.

Selanjutnya saya mengucapkan sighat tklik talak atas isteri saya itu seperti berkut:

Sewaktu-waktu saya:

1. meninggalkan isteri saya tersebut dua tahun berturut-turut,

2. atau saya tidak memberi nafkah wajib kepadanya tiga bulan lamanya,

3. atau saya mengikuti badan/jasmani isteri saya itu,

4. atau saya membiarkan (tidak memperdulikan) isteri saya itu enam bulan lamanya.

Kemudian isteri saya tidak ridha dan mengadukan halnya kepada Pengadilan Agama atau petugas yang diberi hak mengurus pengaduan itu, dan pengaduan dibenarkan serta diterima oleh pengadilan atau petugas tersebut, dan isteri saya itu membayar uang sebesar Rp. 1.000,- (seribu rupiah) sebagai iwadl (pengganti) kepada saya, maka jatuhlah talak saya satu kepadanya. Kepada pengadilan atau petugas tersebut tadi saya kuasakan untuk menerima uang iwadl (pengganti) itu dan kemudian memberikanya untuk ibadah sosial.

Demikian juga menjadi tugas Pengadilan Agama ketika menerima gugatan perceraian dari pihak isteri dengan alasan pelanggaran perjanjian dalam taklik talak atau tidak, haruslah benar-benar meneliti apakah si suami menyetujui dan mengusapkan sighat taklik talak atau tidak. Secara yuridis formal, persetujuan dan pembacaan sighat taklik talak dapat dilihat pada Akta Nikahnya, meski atau belum sepenuhnya dapat dijamin kebenarannya.apabila si suami menandatangani di bawah sight taklik talak, ia dianggap menyatujui dan membaca sight tersebut, kecuali ada keterangan lain.

Memperhatikan muatan sighat taklik talak tersebut, kandungan maksudnya cukup baik dan positif, yaitu melindungi peremuan dari kewenang-wenangan suami dalam memenuhi kewajibannya, sebagai hak-hak yang seharusnya diterima si isteri, meskipun sesungguhnya isteri, telah mendapatkan berupa khulu’ (gugat cerai) maupun hak fasakh. Karena itu sekali lagi, yang perlu diperhatikan adalah pencatatan apakah suami benar-benar menyetujui dan membaca dan menandatangani sighat taklik talak tersebut atau tidak. Ini dimaksudkan agar terjadi keliruan dan kesulitan dalam menyelesaikan persoalan yang timbul[7].

Persoalan harta benda merupakan pokok pangkal yang dapat menimbulkan berbagai perselisihan dan ketegangan rumah tangga atau malahan menghilangkan kerukunan di dalamnya, maka undang-undang Perkawinan memberi peluang ataupun petunjuk mengenai perbuatan perjanjian untk pengaturan hak atas harta benda bersama antara suami dan istri, tercantum dalam pasal 35 sampai dengan pasal 37. isi ketentuan dari pasal-pasal ini ada kaitan atau pengaruh dari prinsip mengenai kecakapan wanita yang telah nikah yang dianut oleh kitab Undang-undang Hukum Perdata. Hanya saja terdapat perbedaan yang bertolak belakang antara kedua sumber hukum itu dan untuk lebih jelasnya bias dibandingkan dua pasal berikut ini. Pasal 119 Kitab Undang-undang Hukum Perdata berbunyi :

Mulai saat perkawinan dilangsungkan, demi hukum berlakulah persatuan bulat antara harta kekayaan suami dan istri, sekedar mengenai itu dengan perjanjian kawin tidak diadakan ketentuan lain. Persatuan itu sepanjang perkawinan tidak boleh ditiadakan atau diubah dengan sesuatu persetujuan antara suami dan istri.

Sedangkan pasal 35 Undang-undang Perkawinan berbunyi :

Harta bawaan dari masing-masing suami dan istri dan harta benda yang diperoleh masing-masing sebagai hadiah atau warisan, adalah di bawah penguasaan masing-masing sepanjamg tidak menentukan lain.

Jadi bertolak belakang yang tampak dari dua pasal tersebut mengenai keadaan bila akad nikah tidak diikuti dengan perjanjian harta benda bersama, yakni pasal awal dikutip menentukan harta di bawah penguasaan bulat dalam satu kesatuan demi hukum, sedangkan pasal berikutnya harta benda tetap di bawah penguasaan masing-masing[8].

Kompilasi yang mengatur perjajian harta bersama dan perjanjian yang berkaitan dengan masalah poligami :

Pasal 47 [9]

1. Pada waktu atau sebelum perkawinan dilangsungkan kedua calon mempelai dapat membuat perjanjian tertulis yang disahkan Pegawai Pencatat Nikah mengenai kedudukan harta dalam perkawinan.

2. Perjanjan tersebut pada ayat (1) dapat meliputi pencampuran harta pribadi dan pemisahan harta pencarian masing-masing sepanjang hal itu tidak bertentangan dengan hukum Islam.

3. Disamping ketentuan dalam ayat (1) dan (2) diatas, boleh juga isi perjanjian itu menetapkan kewenangan masing-masing untuk mengadakan ikatan hipotek atas harta pribadi dan harta bersama atau harta syarikat.

Pasal 48

2. Apabila dibuat perjanjian perkawinan mengenai pemisahan harta bersama atau harta syarikat, maka perjanjian tersebut tidak boleh menghilangkan kewajiban suami untuk memenuhi kewajiban rumah tangga.

3. Apabila dibuat perjanjian perkawinan tidak memenuhi kebutuhan tersebut pada ayat (1) dianggap tetap terjadi pemisahan harta bersama atau harkat syarikat dengan kewajiban suami menanggung kebutuhan rumah tangga.

Pasal 49

1. Perjanjian pencampuran harta pribadi dapat meliputi semua harta, baik yang dibawa masing-masing ke dalam perkawinan maupun yang diperoleh masing-masing selama perkawinan.

2. Dengan tidak mengurangi ketentuan tersebut pada ayat (1) dapat juga diperjanjikan bahwa pencmpuran harta pribadi hanya terbatas pada harta pribadi yang dibawa pada saat perkawinan dilangsungkan, sehingga pecampuran itu tidak meliputi harta pribadi yang diperoleh selama perkawinan atau sebaliknya.

Pasal 50

  1. Perjanjian perkawinan mengenai harta mengikat kepada para pihak dan pihak ketiga terhitung mulai tanggal dilangsungkan perkawinan di hadapan Pegawai Pencatat Nikah.
  2. Sejak pendaftaran tersebut, pencabutan telah meningkat kepada suami istri, tetapi terhadap pihak ketiga pencabutan baru meningkat sejak tanggal pendaftaran itu diumumkan oleh suami isri dalam suatu surat kabar setempat.
  3. Apabila dalm tempo 6 (enam) bulan pengumuman tidak dilakukan bersangkutan, pencabutan dengan sendirinya gugur dan tidak mengikat pada pihak ketiga.
  4. Pencabutan perjanjian perkawinan mengenai harta tidak boleh merugikan perjanjian yang telah diperbuat sebelumnya dengan pihak ketiga.

Pasal 51

Pelanggaran terhadap perjanjian perkawinan memberikan hak kepada istri untuk meminta pembatalan nikah atau mengajukannya sebagai alasan gugatan perceraian ke Pengadilan Agama.

Pasal 52

Pada saat dilangsungkan perkawinan dengan istri kedua, ketiga atau keempat, boleh diperjanjikan mengenai tempat kediaman, waktu giliran dan biaya rumah tangga bagi istri yang akan dinikahinya itu.

Akan halnya mengenai perjanjian perkawinan, apabila telah disepakati oleh kedua mempelai, maka masing-masing wajib memenuhinya. Sepanjang dalam perjanjian tersebut tidak ada pihak-pihak lain yang memaksa. Ini sejalan dengan hadist riwayat al-Bukhori:

من شرط عل نفسه طا ئعا غير مكره فهو عليه

“Barangsiapa mensyaratkan pada dirinya sendiri untuk maksud taat (kepada Allah dan Rosul-Nya), dalam keadaan tidak terpaksa, maka ia wajib memenuhinya” (Riwayat al-Bukhori)

Kata Umar bin al-Khattab

اان مق طع الحقوق الشروط و لك ما شر طت

“Sesunguhnya keputusan hak terletak pada syarat-syarat yang ditetapkan, dan pada kamu apa yang kamu syaratkan” (Riwayat al-Bukhori).

Apabila perjanjian yang telah disepakati bersama antara suami dan istri, tidak dipenuhi oleh salah satu pihak, maka pihak lain berhak mengajukan persoalannya ke Pengadilan Agama untuk menyelesaikannya. Dalam hal pelanggaran dilakukan suami misalnya, istri berhak meminta pembatalan nikah atau sebagai alasan perceraian dalam gugatan. Demikian juga sebaliknya, jika istri yang melanggar perjanjian di luar taklik talak, suami berhak mengajukan perkaranya ke Pengadilan Agama[10].

III PENUTUP

Perjanjian perkawinan adalah persetujuan yang dibuat oleh calon mempelai pada waktu atau sebelum perkawinan dilangsungkan, dan masing-masing berjanji akan menaati apa yang tersebut dalam persetujuan itu, yang disahkan oleh pencatat nikah. perjanjian nikah tersebut mempunyai syarat dan hukum. Bentuk perjanjian ada dua yaitu Ta’lik talak dan perjanjian lain yang tidak bertentangan dengan hukum islam. Hukum mengenai perjanjian di tulis dalam kompilasi hukum islam .

DAFTAR PUSTAKA

Ahmad Rofiq, Hukum Islam di Indonesia, Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 1995.

Abd. Rahman Ghazaly, Fiqih Munakahat, Jakarta : Kencana Prenada Media Group, 2003, cet. ke-2.

Achmad Kuzari, Nikah Sebagai Perikatan, Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 1995, cet ke-1

Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, Departemen Agama RI Deriktorat Jendral Pembinaan Kelembagaan Agama Islam 1997/1998.

Muhammad Shahrur, Metodologi Fikih Kontemporer, Yogyakarta : Eisaq Press, 2004.



[1] Abd. Rahman Ghazali, Fiqih Munakahat, (Jakarta : Kencana Media Group, 2003), hlm. 119

[2] Muhammad Shahrur, Metodologi Fiqih Islam Kontemporer, (Yogyakarta : Eisaq Press, 2004), hlm. 438

[3] Ahmad Rofiq, Hukum islam di Indonesia, (Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 1995), hlm. 160

[4] Abd. Rahman Ghazali, op..cit,. hlm 120

[5] Ahmad Rofiq, op.cit,.hlm. 161

6 Abd. Rahman Ghazali, op..cit,. hlm. 120-121

[7] Ahmad Rofiq, op.cit,.hlm154-157

[8] Achmad Kuzari, Nikah Sebagai Perikatan, (Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 1995) hlm.15

[9] Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, Departemen Agama RI DEriktorat Jendral Pembinaan

Kelembagaan Agama Islam 1997/1998

[10] Ahmad Rofiq, op.cit,.hlm.162-163

Tidak ada komentar: